This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 15 September 2014

MAKALAH PENDEKATAN STUDI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan bertanya: kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa juga terjadi di Barat. Dalam pendahuluan bukuSeven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemumgkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan nilai serta antara ilmu dan agama (kepercayaan), tidak bisa disinkronkan. 
Namun gelombang perhatian terhadap agama belakangan ini meningkat tajam. Agama yang dalam kerangka positivisme disertakan dengan “mitos” dan karenanya diramalkan akan tenggelam dilibas kekuatan “ideologi” dan “ilmu pengetahuan”, kini kian menunjukkan nyalanya. 
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Al Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam, misalnya dijumpai ayat-ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat-ayat yang berkenaaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian.
Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita perlu mengetahui dengan jelas pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam memahamai agama. Hal ini perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan oleh penganutnya.  Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Ditinjau dari perspektif pendekatan yang digunakan, studi Islam menggunakan berbagai macam pendekatan. Hal ini sangat menarik untuk dikaji untuk mengetahui pendekatan apa saja yang digunakan untuk mengkaji islam. Namun apa yang dipaparkan dalam makalah ini bukanlah sebuah uraian yang utuh, melainkan hanya sebagian dari aneka pendekatan yang digunakan dalam mengkaji Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada malah ini adalah :
1.Apa pengertian dari pendekatam dalam kaitannya dengan studi agama?
2.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Antropologis?
3.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Feminis?
4.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Fenomenologis?
5.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Filologi?
6.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Filosofis?
7.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Hermeneutik?
8.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Historis?
9.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Psikologis?
10.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Sosial-Budaya?
11.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Sosiologis?
12.Bagaimana pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Teologis?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi dari  agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalisti, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya. 

B. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, neka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkkaji masalah manusia dan budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa lampau maupun masa sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk memahami keseluruhan pengalaman sosialnya. Maka hasil maksimum yang diperoleh dari antropologi adalah fenomena yang menunjukkan adanya Tuhan. 
Pendekatan antropologis dan studi agama membuahkan antropologi agama yang dapat dikatakan sebagian dari antropologi budaya, bukan antropologi sosial. Metode antropologi pada umumnya adalah objek sekelompok manusia sederhana dalam kebudayaan hidupnya. Jadi, studi antropologis terhadap agama saat ini tidak didasarkan pada data penentuan laporan, melainkan hanya berdasarkan dari tulisan dan laporan kisah perjalanan ahli antropolog. 
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh berkembang dimasyarakat. Melalui perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai penelitian antropologi, agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang kurang mampu. Pada umumnya mereka lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang menjanjikan perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada daratan empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi di masyarakat.  
Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaan. Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian.
Salah satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan politik, magic dan pengobatan secara bersama-sama, maka agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. 
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :
• Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya,          semacam soal totem.
• Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
• Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
• Praktik ritual sampingan seperti soal magic, ekstase dan orakel.
Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran dalam antropologi agama, diantaranya :
a. Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
 
b. Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi historis ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
•Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
•Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
•Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda. Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitif sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial. 
      
c. Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi struktural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif. Jadi antropologi struktural yaitu pemikiran-pemikiran yang mendasari semua tingkah laku dan agama masyarakat primitif.
Melalui pendekatan antropologi terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dn fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan antropologi seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak berbagai hal dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi. Artinya manusia dalam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dan cabang-cabangnya.

C. Pendekatan Feminis
Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Sebagaimana agama, feminis memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara satu dengan yang lain.
Perkebangan teoretis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menunjukkan bahwa disamping mencari asal status inspirasional seluruh perepuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan yang perlu dijawab mengenai dinamika historis agama, gender, dan kekuasaan.
Sebagai hasilnya, pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama dalam mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralitas kontemporer dan menghadapi tantangan postmodernitas.  

D. Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan yang unik diantara banyak pendekatan dalam studi islam. Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Namun jika ditinjau dari segi sejarah, fenomenologi sebenarnya telah lama digunakan.
Sejak zaman Edmund Husserl (1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam pandangan Husserl, fenomenologi adalah suatu disiplin filsafat yang solid dengan tujuan membatasi dan melengkapi penjelasan psikologis murni tentang proses pikiran.
Objek studi fenomenologi adalah perbedaan berbagai bidang objek, yang disebut neomata, yaitu cirri-ciri yang membuat kesadaran orang menjadi kesadaran terhadap objek. Untuk memahami fenomenologi Husserl, orang harus paham istilahneoma. Neoma adalah kumpulan semua sifat objek, neoma ini tidak lain hanyalah sebuah generalisasi ide tentang makna mengenal lapangan segala tindakan.
Orientasi fenomenologi adalah bahwa pengertian yang benar adalah pengertian yang asli dan bersih, yang ditempuh dengan jalan reduksi. Sifat pokok dari fenomenologi adalah realitas atau fakta berbicara dalam suasana intention. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu:pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga,meneliti tingkah laku keagamaan. 
Sedangkan bidang garap fenomenologi adalah: pertama, menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, tetapi dengan caranya sendiri.Kedua,  fenomenologi berusaha menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga faktor penamaan dari semua agama. Ketiga, fenomenologi tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah bernilai, dan bagaimana dapat menjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau kecilnya nilai keagamaan mereka. 
                                                                          
E. Pendekatan Filologis
Tampaknya penelitian agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. Sesungguhnya pengertian bahasa amat luas dan beragam seperti bahasa isyarat, bahasa tanda, bahasa bunyi, bahkan bahasa manusia, bahasa binatang dan bahasa alam. Melalui bahasa manusia dan makhluk-makhluk lain dapat berkomunikasi.
Pembahasan berikut ini mengenai pengertian bahasa yang dipersempit dan diartikan sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau memerintah. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa merasakan perbedaan antara bahasa iklan, bahasa politik, bahasa ilmu pengetahuan maupun bahasa obrolan penuh persahabatan. Jika kita memahami sebuah wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya disebut orang jujur dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif sebagai makna sebuah kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa agama, karena di dalam bahasa agama banyak digunakan bahasa simbolik dan metaforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap pesan dasarnya mudah terjadi. Sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman, sebaiknya kita sepakati lebih dahulu apa pengertian bahasa agama serta apa saja cakupan masalahnya. Istilah bahasa agama menunjuk pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan  yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat metafisi, terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur'an dan Ketiga bahasa ritual keagamaan.

F. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis dalam studi agama saat ini sedang mengalami krisis identitas. Dua pertanyaan berikut akan memperjelas watak krisis ini. Pertama, “di mana” pendekatan filosofis dalam studi agama dapat ditemukan? Pertanyaan ini penting karena dalam menjawabnya kita dipaksa berpikir. Akan tetapi pertanyaan ini tampaknya tidak menemukan jawaban yang jelas. Kita dapat menemukan orang yang menggunakan pendekatan filosofis dalam studi agama di departemen filsafat, departemen studi keagamaan, departeen teologi, dan departemen kemanusiaan.
Kedua, mengapa banyaknya tempat atau  konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis identitas? Lagi-lagi, tidak mengherankan tampak tidak ada jawaban tunggal yang dikemukakan atau kesepakatan yang dicapai. Terdapat suatu kesepakatan bahwa kita menghadapi wilayah kepentingan yang luas, sehingga secara natural akan terjadi ketidaksepakatan bahkan perpecahan.
Maka ada dua hal yang muncul ke permukaan yaitu: pertama, tidak mungkin membicarakan pendekatan filosofis terhadap agama, karena terdapat banyak pendekatan filosofis dan sejak awal harus berhati-hati dalam mengidentifikasi secara pasti bentuk pendekatan mana yang digunakan. Kedua, pendekatan yang digunakan akan bergantung pada konteks di mana orang itu melakukan penelitian. Pada tingkat yang luas, konteks akan menentukan apa yang dipahami seseorang untuk dilakukan. Dan adalah penting bagi siapa pun yang menggunakan pendekatan filosofis yang distingif dalam studi agama berarti menyadari apa konteksnya dan apa konsekuensinya yang akan mereka dapatkan.
Dalferd menyatakan ketika kita mengkaji agama, tidak mungkin menghindari penggunaan filsafat. Suatu pendekatan filosofis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan prateologis dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata lain, tugas filsafat adalah melihat persoalan-persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman religius, dan membahas bahasa yang digunakan umat beriman dalam membicarakan keyakinan mereka. Bagi Dalferd rasionalitas kerja reflektif agama dalam proses keimanan yang menuntut pemahaman itulah yang meniscayakan adanya hubungan antara agama dengan filsafat.
Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional. Yang dimaksud proses rasional disini mencakup dua hal, yaitu: menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu tradisi keagamaan serta dalam menunjukkan keimanan, tradisi keagamaan harus dapat menggunakan akal dalam membuat argumenlogis yang dapat dibenarkan.
Pada akhirnya, tujuan berbagai pendekatan filosofis dalam studi agama adalah memberikan perangkat-perangkat berfikir tentang sesuatu dan berbincang-bincang dengan orang lain. Anda berfilsafat hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, menguji ide-ide, ingin tahu ke mana alur pemikiran berjalan. Suatu pendekatan filosofis terhadap agama tidak perlu dibedakan, ini adalah eksperimentasi. 

G. Pendekatan Hermeneutik
Kata hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneunien yang berarti mengartikan, menafsirkan, menrjemahkan, bertindak sebagai penafsir.[14]Munculnya hermeneutik bertujuan untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan sebuah teks dari masa lampau, khususnya teks kitab suci dan teks klasik. Hermeneutik dibutuhkan karena teks merupakan simbol yang mengandung makna ketika dilihat oleh pembaca, karena pada saat itu pembaca disudutkan pada dua kondisi yang berbarengan yaitu akrab atau kenal kdan asing dengan teks.
Dalam perkembangannya hermeneutik hingga sekarang ini, hermeneutik minimal mempunyai tiga pengertian. Pertama, dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu yang relative abstrak ke dalam bentuk ungkapan yang konkret. Kedua,terdapat usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca. Ketiga,seseorang sedang memindahkan suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas. 
Dalam studi hermeneutik, unsur interpretasi merupakan kegiatan yang paling penting. Sebab interpretasi merupakan landasan bagi metode hermeneutik. Cara kerja interpretasi bukanlah dilakukan secara bebas melainkan bertumpu pada evidensi objektif. Semua interpretasi mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Mengerti dan interpretasi menimbulkan “lingkaran hermeneutik”.
Aspek lain dalam hermeneutik yang sangat penting adalah bagaimana mengungkap makna sebuah teks yang asing. Dalam memperoleh makna yang sebenarnya dari sebuah teks, dibutuhkan perhatian khusus untuk mempertimbangkan berbagai variable yang ada. 
Dalam konteks studi islam, hermeneutik biasanya dipahami sebagai sebentuk ilmu tafsir yang mendalam bercorak filosofis. Contoh pendekatan hermeneutik dalam studi islam adalah analisis operasional hermeneutik dalam Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Tafsir Al Azhar karya Hamka yang dilakukan oleh Fakhruddin Faiz. Dalam kajiannya, Faiz mengatakan bahwa cara Tafsir Al Manar dan Tafsir Al Azhar dalam mengolah teks yang berupa kata, kalimat ataupun ayat secara umum adalah dengan menggali dan melacak makna yang ada di balik apa yang disimbolkan oleh teks.
Pendekatan hermeneutik ini nampaknya sedang banyak diminati dan dikembangkan dalam studi islam. Walaupun pendekatan ini tidak diterima oleh seluruh kalangan islam, sebab ada yang melarang, bahkan mengharamkan penggunaan hermeneutik. Tetapi jika dilakukan analisis secara cermat, ada banyak kontribusi positif yang dapat dikembangkan dalam mengkaji, mengembangkan dan menggali khazanah islam dengan pendekatan ini. 

H. Pendekatan Historis
Ditinjau dari sisi etomologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah(pohon) dan dari kkata history dalam bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia, yang bersifat kronologis.
Pengertian sejarah itu juga bisa mengacu kepada dua konsep terpisah. Pertama,sejarah yang tersusun dari  serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengaaman manusia. Kedua, sejarah sebagai suatu cara yang  dengannya fakta-fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis. Konsep sejarah dengan pengertiannya yang pertama memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai suatu aktualisasi atau sebagai peristiwa itu sendiri. Adapun pemahaman atas konsep kedua, sejarah menunjukkan maknanya yang subjektif, seebab masa lampau itutelah menjadi sebuah kisah atau cerita. Subjektivitas di dalam proses pengisahan itu, antara lain, terdapat kesan yang disarankan oleh sejarawan berdasarkan pengalaman dan lingkungan pergaulannya yang menyatu dengan gagasan tentang peristiwa sejarah.
Melalui  pendekatan ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu  terbagi menjadi dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah atau perumpamaan.
Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang dan akan diiringi secara sepintas lalu mengenai problematik metodologi itu. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Apabila sejarah digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk studi islam, maka aneka ragam peristiwa keagamaan pada masa lampau umatnya akan dapat dibidik. Sebab sejarah sebagai suatu pendekatan dan metodologi akan dapat mengembangkan pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu, dalam hal ini aspek kronologis merupakan ciri khas dalam mengungkap suatu gejala keagamaan. Konsekuensi pendekatan sejarah di dalam penelitian agama haruslah dilihat segi prosesual, perubahan, dan aspek diakronis.  
Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan gejala-gejala agama dengan menelusuri sumber di masa silam, maka pendekatan ini bisa didasarkan kepada personal historis atau atas perkembangan kebudayaan pemeluknya. Pendekatan semacam ini berusaha untuk menelusuri awal perkembangan tokoh keagamaan secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan sesuai dialog dengan dunia sekitarnya, serta mencari pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan tipologi kelompok-kelompok keagamaan. 

I. Pendekatan Psikologis
Psikologis adalah ilmu jiwa yang menyelididki tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan cara pikir, tindakan serta perilaku orang tersebut. Psikologi secar harfiah berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi ringkasnya, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu yang tidak dapat terlepas dengan lingkungannya.
Pendekatan yang digunakan dalam membangun psikologi islam meliputi tiga aspek, yaitu :
•Aspek skriptualistis, yaitu pendekatan pengkajian islam yang didasarkan pada teks Al Qur’an dan hadits secara literal.
•Aspek filosofis, yaitu pendekatan pengkajian psikologi islam yang didasarkan atas prosedur berfikir spekulatif.
•Asas sufistik tasawuf, yaitu pendekatan pengkajian psikologi islam yang didasarkan pada prosedur intuitif, ilham, dan cita rasa.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.

J. Pendekatan Sosial-Budaya
Budaya adalah pikiran dan akal budi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,kebudayaan adalah sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan kegiatan batin untuk menciptakan sesuatu. Kebudayaan juga diartikan sebagai hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimiliki.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada data dan empirisnya atau agama yang tampil dalam bentuk  formal di masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuk tersebut berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut kita dapat  memahami ajaran agama tersebut.

K. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai  bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :
•Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).

•Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusanmuamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
 
•Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
 
•Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya(tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
 
•Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. 

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong di tetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
•Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
•Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.
•Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran, dan birokrasi.
•Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. 
 
Proses bagaimanapun tentang agama tidak pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologinya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai praktiknya benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian bagi individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan membela manusia yang beradab.
Pendekatan sosiologis  memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.

L. Pendekatan Teologis
Hubungan antara teologi dan studi keagamaan sangatlah kompleks, dan sulit untuk memabahas topik ini, karena menurut sebagian orang “pendekatan teologis dalam studi agama” bersifat meragukan bahkan debatable. Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi adalah pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan dan tuhan-tuhan dalam dalam sebuah konsep nilai-nilai ketuhanan yang terkontruksi dengan baik sehingga pada akhirnya menjadi sebuah agama/aliran kepercayaan.
Teologi sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad.
Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak memiliki makna.
Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya. Secara ringkas, pendekatan  teologi dibagi menjadi tiga, yaitu :
•Normatif/Apologis
Pendekatan Teologi Normatif adalah sebuah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang menimbulkan keyakinan bahwa agama yang dianutnya dianggap paling benar dibandingkan yang lain.
 
•Teologi Dialogis
Pendekatan Teologi Dialogis adalah mengkaji agama tertentu dengan menggunakan perspektif agama lain. Teologi ini bertolak dari perspektif teologi kristen. Bahkan banyak digunakan orientalis dalam mengkaji Islam.
 
•Teologi Konvergensi
Pendekatan Teologi Konvergensi adalah metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama/aliran, untuk mempersatukan unsur esensial dalam agama-agama sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial.
 
Di akhir ulasan tentang hubungan antara teologi dengan studi keagamaan, dan pendekatan teologis dalam studi agama ini, dinyatakan bahwa tujuan hubungan dan pendekatan  ini adalah memahami agama, memahami sistem konseptual agama,memahami berbagai pendekatan teologis yang diterapkan tradisi keagamaan terhadap agama-agama lain. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.Yang dimaksud dengan pendekatan dalam konteks studi islam adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

2.Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh berkembang dimasyarakat. Melalui perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
 
3.Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya.
 
4.Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.  Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.
 
5.Tampaknya penelitian agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. Istilah bahasa agama menunjuk pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan  yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat metafisi, terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur'an dan Ketiga  bahasa ritual keagamaan.
 
6.Suatu pendekatan filosofis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan prateologis dan dalam wacana keyakinan, pendedakatan ini sangat erat kaitannya dengan filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional. Pada akhirnya, tujuan berbagai pendekatan filosofis dalam studi agama adalah memberikan perangkat-perangkat berfikir tentang sesuatu dan berbincang-bincang dengan orang lain.
 
7.Dalam konteks studi islam, hermeneutik biasanya dipahami sebagai sebentuk ilmu tafsir yang mendalam bercorak filosofis. Contoh pendekatan hermeneutik dalam studi islam adalah analisis operasional hermeneutik dalam Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Tafsir Al Azhar karya Hamka yang dilakukan oleh Fakhruddin Faiz. Pendekatan hermeneutik ini nampaknya sedang banyak diminati dan dikembangkan dalam studi islam. Walaupun pendekatan ini tidak diterima oleh seluruh kalangan islam, sebab ada yang melarang, bahkan mengharamkan penggunaan hermeneutik.
 
8.Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apabila sejarah digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk studi islam, maka aneka ragam peristiwa keagamaan pada masa lampau umatnya akan dapat dibidik.
 
9.Psikologis adalah ilmu jiwa yang menyelididki tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan cara pikir, tindakan serta perilaku orang tersebut. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya.
 
10.Kebudayaan diartikan sebagai hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimiliki. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada data dan empirisnya atau agama yang tampil dalam bentuk formal di masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuk tersebut berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat.
 
11.Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi. Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat  memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.
 
12.Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.

B. Saran
Studi ini merupakan studi yang dangkal mengenai pendekatan dalam memahami agama islam. Untuk itu disarankan kepada para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap persoalan tersebut. Pada tatanan praktis  disarankan kepada para generasi muslim cerdas, agar memperkaya ilmu tentang agama islam.


DAFTAR PUSTAKA
 
Abbudin,Nata. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja grafindo persada,  2004
Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990.
Abdullah, Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.
Abdurrahman, Dudung. Pendekatan Sejarah.
Conolly, Peter.  Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: Lkis, 2002.
Daradjat, Zakiah. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta:  Bulan Bintang, 1996.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
E. Sumaryono. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian. Jakarta: Paramadina, 1996.
Koentjaraningrat, Budi Santoso. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka, 1978/1979.
Mudzahar, Atho. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2007.
Mujadid Abdul Munif. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:Teras, 2009.
Sayyed Hosein Nasr. Islamic Studies: Essays on Law and Society, the Science, and Philophy and Sufism. Beirut: Librairie Du Liban, 1967.

Minggu, 14 September 2014

MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.

B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi Pendidikan di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.

2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.

BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.

Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
- Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
- Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka di sinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.