Umumnya,
konflik termanifestasi ke dalam dua bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung
damai tanpa menyita cost material dan spiritual seperti kerusuhan, kehilangan
jiwa, cedera fisik, terputusnya hubungan antarkeluarga dan sejenisnya. Konflik
semacam ini sifatnya negosiatif dan justru inheren bahkan dianjurkan dalam
kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua,
konflik yang berwujud vandalistik dan violence. Konflik-konflik seperti ini
yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin
Indonesia. Maka dalam hal ini penulis memberi judul makalahnya yaitu “Makalah
Konflik Di Indonesia (Konflik Horisontalnya)”. Semoga Makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan para pelajar.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan tema “Konflik Horisontal Di Indonesia”.
Makalah ini bertujuan khususnya untuk memenuhi tugas agama. Selain itu juga
untuk memberikan informasi atau gambaran umum mengenai konflik antar agama yang
telah terjadi di Indonesia. Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada dosen pembimbing Bapak Andi Sopandi, M.Si dan semua pihak terkait yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangannya dan perlu disempurnakan. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati kami menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun kesempurnaan makalah ini. Besar harapan, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami dan para pembacauntuk memberikan tambahan pengetahuan dan
wawasan khususnya mengenai konflik yang terjadi di negara kita Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Agama mengemban
fungsi memupuk persaudaraan. Walaupun
fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta konkrit dari zaman
ke zaman, namun disamping fakta yang positif itu terdapat pula fakta yang
negatif, yaitu fakta perpecahan antar manusia yang kesemuaannya bersumber pada
agama. Perpecahan tidak akan terjadi jikalau tidak ada konflik (bentrokan)
terlebih dulu. Lebih lanjut secara sepintas telah disoroti pula masalah
perpecahan dalam konteks krisis kewibawaan agama. Demikian pun dijabarkan juga
masalah bentrokan (konflik) antara agama dan ilmu pengetahuan, meskipun hanya
secara singkat.
Dalam pembicaraan sekarang ini, kita sering mendengar beberapa konflik
sosial yang bersumber dari agama. Seperti perbedaan doktrin dan sikap,
perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat kebudayaan, dan masalah
mayoritas dan minoritas pemeluk agama. Dari berbagai diskusi dan
pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar konflik atau kekerasan yang
ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu konflik horizontal
dan konflik vertikal. Konflik horisontal adalah konflik
antar sesama masyarakat (seperti garis horizontal yang sejajar), sedangkan
konflik vertikal adalah konflik antara pengusa dan rakyat/masyarakat (seperti
garis vertikal yang tegak lurus). Kedua akar konflik tersebut setidaknya
bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah social yang
melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial,
konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan politik Dan konflik horisontal dan vertikal, saling memberikan amunisi. Ketika konflik horisontal terjadi, konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horisontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya, demikian seterusnya.
Konflik horisontal yang ada di
Indonesia sering disebabkan dan bernuanasa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan). Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen
dan pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan.
Contoh konflik antar suku seperti perang antar suku di papua beberapa bulan
yang lalu. Konflik antar agama sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso
beberapa tahun yang lalu Islam Vs Kristen) atau antara umat satu agama seperti
konflik antara NU dan HTI beberapa bulan lalu atau antara Islam dan Ahmadiyyah
(jika Ahmadiyyah dianggap Islam seperti pengakuan para pengikutnya) atau antara
Sunni dan Syi’ah. Konflik antar Ras, misalnya perang antara etnis Melayu dan
Dayak di Sambas beberapa tahun lalu. Adapun contoh konflik antar golongan
seperti tawuran dua desa di Jawa Barat atau di Nusa Tenggara. Dan masih banyak
contoh lagi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas , maka dirumuskan permasalahan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimanakah fakta yang terjadi yang menyebabkan konflik dalam beragama?
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya konflik dalam beragama?
Bagaimana strategi penanggulangan dalam mengatasi konflik antar beragama?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, adalah:
Menganalisa fakta yang terjadi penyebab terjadinya konflik beragama?
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam
beragama?
Mengkaji strategi penanggulangan konflik horizontal dalam beragama?
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dari 3 (tiga) bab. Pada bab pertama
berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan
sistematika penulisan.
Selanjutnya, bab kedua faktor penyebab terjadinya konflik antar agama
yang berisi perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras agama
dan perbedaan tingkat agama.
Pada bab ketiga mengenai strategi penanganan konflik berisikan tentang
cara mengatasi konflik dan lima strategi untuk mengatasi konflik. Pada bagian
akhir, dilampirkan daftar pustaka.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK ANTAR AGAMA
Perbedaan Doktrin dan
Sikap Mental
Konflik sebagai
kategori sosiologi bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses assosiatif, sedangkan
yang pertama dari proses dissosiatif. Proses assosiatif adalah proses yang
mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan atau memecah. Fokus
kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar pada agama.
Dalam konteks ini konflik sebagai fakta social melibatkan minimal dua pihak
(golongan) yang berbeda agama bukannya sebagai konstruksi kayal (konsepsional)
melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada zaman sekarang
juga. Misalnya; bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba, benturan umat
Kristen dengan penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama
sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan
sekarang ini kita hanya ingin mengkhususkan pada satu sumber bentrokan saja,
yaitu: perbedaan iman. Berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat beragama. (Sumber :
Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Bahwa perbedaan iman
(dan doktrin) de facto menimbulkan bentrokan tidak perlu kita persoalkan,
tetapi kita menerimanya sebgai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil
hikmahnya. Semua pihak umat beragama yan g sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi
penyebab utama dari benturan itu. Sadar atau tidak setiap pihak mempunyai
gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan,
memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan (reference group), sedangkan lawan
dinilai menurut patokan itu. Skala fiktif kurang lebih sebagai berikut.
Agama A (agama yang
saya anut) adalah paling benar dan paling lengkap.
Agama B (agama lawan)
mempunyai unsur-unsur kebenaran (tidak lengkap).
Agama C (agama lain)
mempunyai sedikit kebenaran (amanat tak lengkap).
Agama D adalah agama
kafir (tiada punya kebenaran).
(Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Skema penilaian di
atas, kendali lokasinya ada dalam alam pikiran namun tidak jarang terungkap
dalam kata-kata dan tulisan. Bukan saja dari pihak agama A, tetapi agama B pun
tidak akan tinggal diam dan akan menempatkan agama sendiri (B) pada jenjang
yang paling atas dan lainnya ada ditingkat bawah. Mudah diterka bahwa
pernyataan diatas tidak bebas dari salah paham, praduga, dan argumentasi yang
bernada emosi. Bentuk bentrokan pada tingkat kongnitif-evaluatif ini dikenal
sejak dahulu dengan istilah “apologia dan
apologetika”, menurut tingkat keilmiahannya. Apologetika adalah suatu
bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang
diimaninya, terhadap serangan yang datang dari dalam maupun dari luar. Ciri
konfrontatif dari apologetika tampak jelas jika dipakai metode antitetis. (Sumber : Puspito hendro,
Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Karena dalam metode
itu ditonjolkan kekurangan dan kelemahan
agama lain. Yang menggunakan metode
simpatetis sifatnya lain lagi. Apologetika yang demikian itu tidak
menunjukkan batas pendirian yang tegas, berbau kompromistis, mengatakan bahwa
agama-agama itu sama saja, perbedaannya sedikit sekali. Dengan demikian batas
perbedaan yang secara tegas memang ada menjadi kabur. Metode lain lagi ialah
yang disebut metode positive-tetis. Uraian di atas menunjukkan kebenaran dan
pernyataan-pernyataan Allah yang terkandung dalam kitab suci yang
dipercayainya, tanpa menjelekkan agama lain dengan menyerang kitab suci dan
demikian tidak melukai hati orang lain. (Sumber : Puspito hendro, Sosiologi
agama, Yogyakarta, 1983).
Perbedaan Suku dan
Ras Pemeluk Agama
Bahwa perbedaan suku
dan ras berkat adanya agama bukan menjadi penghalang untuk menciptakan hidup
persaudaraan yang rukun hal itu sudah terbukti oleh kenyataan yang
menggembirakan dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang menjadi masalah
disini ialah, apakah perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama
menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar umat manusia.
Khususnya apakah dalam satu Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan
yang menerima adanya agama yang berbeda-beda bukannya membina dan memperkuat
unsur penyebab yang lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan bangsa dan Negara
itu.
Bahwa faktor ras itu
sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan
pencarian jalan keluarnya, dan kesemuannya itu menjadi bahan menarik dalam
diskusi ilmiah maupun dalam kalngan kaum politisi, adalah merupakan masalah
yang tetap actual yang tidak dijadikan sasaran dari pembicaraan kita sekarang
ini. Masalah itu telah menjadi bahan pembicaraan ilmiah dari ilmu biologi dan politik namun demi
lebih jernihnya masalah yang kita
bicarakan ada satu hal sangat menarik dari kalangan sarjana biologi, perlu kita
tampilkan disini. Asumsi yang terkenal itu dan telah mengundang banyak sanggahan
yang gigi ialah dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik
“Essai sur I’negalite des races humaines, tahun 1853-1855. Asumsi itu pada
intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa
manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawakan obor kemajuan di dunia
ini dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat
menhasilkan sesuatu yang yang berarti dalam bidang kemajuan.
Kesombongan rasial
itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian bangsa Jerman bahwa bangsa
itu merupakan “manusia super”, yang
mendapat tugas di dunia ini dari kekuasaan ilahi, untuk menghancurkan jenis ras
yang lebih rendah. Patut disayangkan bahwa ilusi congkak itu telah diwujudkan
oleh regim Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia dari suku bangsa
Yahudi. Namun dalam keseluruhan perbuatan anti rasial yang tak mengenal
perikemanusiaan itu tidak ditemkan unsurperbedaan agama sebagai dasar
pertimbangannya. Kebenaran asumsi akan lebih penuh bagi sekelompok bangsa yang
berpendirian bahwa setiap bangsa mempunyai agamanya sendiri.Misalnya; agama
Islam untuk bangsa arab, agama hindu dan budha untuk India, agama jawa untuk
bangsa jawa.
Contoh lain yang
memperkuat pendirian mengenai situasi konfliktual atas dasar perbedaan agama
dan ras bersama-sama, dapat dilihat dalam wilayah Negara Indonesia tersendiri.
Suku bangsa aceh yang beragama islam dan suku bangsa batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir
selalu hidup dalam ketegangan, bahkan
dalam konfik fisik (sering terjadi) yang
merugikan ketentraman dan keamanan. Demikian pula suku Flores yang beragam
katolik dan suku bali yang memeluk agama hindu-bali hidup dalam jarak sosial
yang kurang lancer. Masalah suku dan agama yang merupakan bagian dari apa yang
disebut “SARA’’ itu belum ditangani oleh penelitian sosiologis. Yang perlu
dicari jawaban ilmiahnya ialah soal sejauh mana perbedaan suku dan agama
merupakan penghambat kesatuan nasional yang kuat.
Perbedaan Tingkat
Kebudayaan
Fenomena agama
sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan bahwa tingkat
kemajuan budaya berbagai bangsa didunia ini tidak sama. Demi mudahnya
pendekatan kita bedakan saja dua tingkat kebudayaan, yaitu kebudayaan tinggi
dan kebudayaan rendah, meskipun pembagian dikhotomis dan simplistic ini
menanggelamkan nuansa kekayaan kultural yang memang ada diantara ujung yang
tinggi dan rendah. Tolak ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua
kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan
positif dan teknologis disatu pihak dan
hasil pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan
motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan.
Dari asumsi tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang
berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari
masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggung jawaban
agama-agama yang dianut oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan. Secara moral
agama-agama tidak bisa cuci tangan atas terjadinya jurang (dan garis)
diskriminatif antara bangsa yang maju dan bangsa yang terbelakang. Keterlibatan
agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak terelakan,
bila kita berpegangan pada asumsi bahwa ilusi keunggulan ras (kulit putih)
sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Agama
mengamankan masyarakat manusia dan menampilkannya didepan mata manusia dalam
istilah nilai-nilai, dan mengajak manusia untuk menghargai dan menghormatinya.
(Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Berbicara tentang
pembaharuan metodologis pemahaman agama sesungguhnya bukanlah kompetensi
sosiologi, apalagi memberikan resep untuk menggunakan metode tertentu. Namun
apabila suatu metode yang telah dipakai ilmu diluar sosiolagi yang telah
membuktikan keberhasilannya dalam mengubah wajah masyarakat, sosiologi pun
dapat menerimanya sebagai “postulat” dan menganjurkannya kepada ilmu sejenis
untuk mencobanya. Kemajuan suatu bangsa tergantung pula untuk sebagian besar
dari jenis system sosialisasi (pendidikan) yang diikuti dan jenis system ini
pula mendatangka hasil yang berbeda dan oleh karenanya juga perbedaan tingkat
kemajuan bangsa yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini, seperti telah
ditekankan di muk, agama ikut memainkan perannya baik ke arah yang baik maupun
yang buruk. Ke arah yang baik bila agama berkat visi religiusnya sanggup
memberikan kepada pemeluk-pemeluknya suatu kerangka gambaran nilai-nilai yang
luhur dari eksistensi dan esensi jagat raya ini yang patut dikejar untuk
dicapai. (Sumber : Puspito hendro, Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
Pada dasarnya secara
teoretis agama memiliki kesanggupan itu karena agama dipanggil untuk melihat
dan menilai dunia ini dengan kaca mata “supra-empiris” dan menimbang dengan
timbangan adikodrati sehingga dengan demikian alam semesta yang pada dirinya
mungkin tidak berarti, menjadi sesuatu yang berarti tinggi. Agama merangkum
jangkauan yang paling jauh dari eksternalisasi diri manusia, untuk mencurahkan
dirinya dalam realitas sesuai den gan arti yang diberikan olehnya. Agama
mengandung arti bahwa pranata manusia diproyeksi kedalam totalitas “yang ada”.
dengan kata tersendiri, agama adalah usaha manusia yang berani untuk menangkap
jagat raya sebagai suatu yang berarti bagi manusia. (Sumber : Puspito hendro,
Sosiologi agama, Yogyakarta, 1983).
BAB III
STRATEGI PENANGANAN KONFLIK
Cara Mengatasi
Konflik
Adapun cara mengatasi konflik dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:
Mempelajari penyebab
utama konflik.
Memutuskan untuk
mengatasi konflik
Memilih strategi
mengatasi konflik (Hunsaker,2003)
Menghilangkan
faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik di suatu wilayah
Menguatkan ideologis nasionalis sebagai bangsa yang sama dan negara yang
sama.
Pembauran alami dan sistematis dalam pengawasan ketat berfasilitas
kesamaan kultur.
Pembauran religius dan kekeluargaan dalam bentuk perkawinan silang.
Lima Strategi Untuk
Mengatasi Konflik dalam lima kemungkinan
Jika kerjasama rendah
dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakan pemaksaan (forcing) atau competing.
Jika kerjasama rendah
dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan penghindaran (avoiding).
Jika kerja sama dan
kepuasan diri seimbang (cukup), maka gunakan kompromi
(compromising).
(compromising).
Jika kerjasama tinggi
dan kepuasan diri sendiri tinggi, maka gunakan kolaboratif (collaborating).
Jika kerjasama tinggi
dan kepuasan diri sendiri rendah, maka gunakan
penghalusan (smoothing). Forcing (Pemaksaan) menyangkut penggunaan kekerasan, ancaman, dan taktik-taktik penekanan yang membuat lawan melakukan seperti yang dikehendaki.
penghalusan (smoothing). Forcing (Pemaksaan) menyangkut penggunaan kekerasan, ancaman, dan taktik-taktik penekanan yang membuat lawan melakukan seperti yang dikehendaki.
Pemaksaan hanya cocok
dalam situasi-situasi tertentu untuk melaksanakan perubahan-perubahan penting
dan mendesak. Pemaksaan dapat mengakibatkan bentuk-bentuk perlawanan terbuka
dan tersembunyi (sabotase). Avoding
(Penghindaran) berarti menjauh dari lawan konflik. Penghindaran hanya cocok
bagi individu atau kelompok yang tidak tergantung pada lawan individu atau
kelompok konflik dan tidak mempunyai kebutuhan lanjut untuk berhubungan dengan
lawan konflik. Compromissing (Pengkompromian) berarti tawar menawar untuk
melakukan kompromi untuk mendapatkan kesepakatan. Tujuan masing-masing pihak adalah untuk mendapatkan
kesepakatan terbaik yang saling menguntungkan.
Pengkompromian akan berhasil bila
kedua belah pihak saling menghargai, dan saling percaya. Kepuasan diri-sendiri,
Collaborating berarti kedua pihak yang
berkonflik kedua belah pihak masih saling mempertahankan keuntungan terbesar
bagi dirinya atau kelompoknya saja. Smoothing
(Penghalusan) atau conciliation
berarti tindakan mendamaikan yang berusaha untuk memperbaiki hubungan dan
menghindarkan rasa permusuhan terbuka tanpa memecahkan dasar ketidaksepakatan
itu. Conciliation berbentuk mengambil
muka (menjilat) dan pengakuan Conciliation
cocok untuk bila kesepakatan itu sudah tidak relevan lagi dalam hubungan kerja
sama.
BAB IV
KESIMPULAN
Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian
perdamaian dan kerukunan. Yang terakhir ini merupakan hasil dari proses
assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif Proses assosiatif
adalah proses yang mempersatukan; dan proses dissosiatif sifatnya menceraikan
atau memecahkan. Fokus kita tertuju kepada masalah konflik atau bentrokan yang
berkisar pada agama. Dalam konteks ini konflik sebagai fakta sosial melibatkan
minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi
khayal (konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi
di zaman sekarang. Misalnya: bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan
umat Yuhudi, benturan umat Kristen dengan penganut agama Romawi (agama
kekaisaran) dalam abad pertama sampai dengan ketiga. Dalam penyorotan sekarang
ini kita hanya ingin mengkhususkan pada suatu sumber bentrokan saja, yaitu :
perbedaan iman. Dan berkaitan dengan iman juga perbedaan mental setiap umat
beragama. Bahwa perbedaan iman (dan doktrin) de facto menimbulkan bentrokan
tidak perlu kita persoalkan, tetapi kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba
untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang
terlibat dalam bentrokan masing-masing terutama dari benturan itu.
Faktor-faktor penyebab konflik diantaranya perbedaan doktrin dan sikap
mental, perbedaan suku dan ras beragama dan perbedaan tingkat kebudayaan.
Perbedaan iman menimbulkan bentrokan yang tidak perlu kita persoalkan, tetapi
kita menerimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami dan mengambil
hikmahnya.
Adapun strategi untuk mengatasi konflik yang ada, harus adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak untuk saling menghargai dan saling percaya.