A. Pendahuluan
1 Latar Belakang
Agama Islam merupakan ajaran Allah SWT yang menjadi petunjuk mengenai segala hal yang diperuntukkan khususnya untuk manusia. Manusia yang dimaksud bukan yang berdomisili di Timur Tengah atau daratan eropa saja, melainkan di seluruh pelosok dunia yang memiliki banyak perbedaan, beragam bahasa, kultur, sosial, wilayah dan lainnya. Agama Islam yang termaktub dengan bahasa Tuhan dipelajari, ditelaah umat manusia dengan bahasanya sendiri-sendiri yang menghasilkan sebuah pemahaman agama. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pemahaman agama tersebut menjadi beragam, antara yang satu dan lainnya. Perbedaan pemahaman agama dianggap sebagai jurang pemisah antara umat yang satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya untuk tetap mempersatukan/ menyeimbangkannya. Jangan hanya karena perbedaan pemahaman itu, umat islam mencadi terpecah belah.
2. Rumusan masalah
1) Mengapa muncul perbedaan pemahaman dalam agama Islam?
2) Bagaimana mensikapi perbedaan pemahaman dalam agama Islam?
3. Tujuan
1) Untuk mengetahui mengapa muncul perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
2) Untuk mengetahui bagaimana mensikapi perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
B. Isi
1) Sekilas tentang Islam
Islam yang diterima oleh Allah setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
Sebaik-baiknya memahami Islam adalah dengan mengikuti pemahaman para 'ulama yang telah dijelaskan dan dikenal mempunyai ilmu dan mereka menjelaskan permasalahan Islam berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah. Selain itu, ulama ini yang menjelaskan dan memecahkan berbagai permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan merujuk pada sirah "salafus shalih" dari kalangan shahabat dan dari ulama dari kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in.
Agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam. Dalam islam terdapat kata fiqhul ikhtilaf. Ikhtilaf bisa dimaknai dengan tidak sepaham atau tidak sama, ini makna dasar dari kata ikhtilaf. Dan dalam praktek sehari-hari kata ikhtilaf sering dipakai untuk menggambarkan perbedaan pandangan atau pendapat seseorang atau kelompok dengan sebagian yg lain.
Ikhtilaf dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Ikhtilaful qulub: perbedaan dan perselisihan hati dan ikhtilaf ini termasuk dlm kelompok tafarruq (perpecahan) dan para ulama sepakat ini g bisa ditolelir.
b. Ikhtilaful 'uqul wal afkar: perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman, ikhtilaf jenis ini masih dibagi lagi menjadi 2, yaitu
@ikhtilaf dalam masalah hukum ushul (hukum dasar/prinsip) sebagai contoh ketentuan-ketentuan atau hukum yang telah ditetapkan dan diatur Oleh Alloh dan rosulnya.
@ikhtilaf dalam masalah uru' (cabang/non prinsip), sebagai adalah wajar dan para ulama jg sepakat menolelir dan menerima perbedaan ini,sepanjang tidak berubah menjadi perbedaan atau perselisihan hati.
2) Perbedaan Pemahaman dalam Agama Islam
Beda pendapat atau pemahaman merupakan hal yang wajar, sebagaimana kata pepatah Arab "kullu ro`sin ro`yun" (setiap kepala mempunyai pendapat). Yang terpenting dalam menghadapi perbedaan ini adalah bagaimana cara kita menyikapinya.
Dalam tradisi keilmuan agama Islam, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar para ulama. Tetapi yang perlu dicatat, perbedaan tersebut dalam wilayah furu' (cabang), bersifat ijtihadi, seperti masalah fikih, bukan hal yang ushul (dasar) seperti akidah. Menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama madzhab mempunyai pandangan sebagaimana yang diungkapkan Imam Syafi'i dengan indah: "aku yakin pendapatku benar tetapi memungkinkan salah, dan sesungguhnya pendapat selainku yang bertentangan adalah salah tetapi memungkinkan benar." (a'taqidu anna ro`yii showwaabun yahtamilu al-khatha, wa anna ro'ya mukhalifii khathaun yahtamilu as-showwab).
Perbedaan pendapat inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pemahaman dalam Agama Islam. Selain itu, banyaknya perbedaan seperti beragam bahasa, kultur, social, wilayah dan lainnya juga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perbedaan pemahaman satu sama lain. Selain itu, membawakan ayat atau hadits untuk mendukung suatu pendapat atau pemahaman tidaklah cukup apabila tidak diiringi dengan pemahaman serta metode penarikan kesimpulan hukum/istidlal dan istinbath yang benar. Karena itulah banyak muncul pemahaman yang berbeda-beda, tidak terkecuali dikalangan ulama sekalipun. Pemahaman yang dipercaya ini biasanya akan disalurkan kepada keturunannya. Sehingga pada generasi berikutnya pun terjadi perbedaan pemahaman.
3) Mensikapi Perbedaan Pemahaman dalam Agama Islam
Sebagai Negara kepulauan yang memiliki ras, budaya, dan bahasa yang berbeda, di Indonesia juga tidak terlepas dari perbedaan pemahaman dalam islam. Lantas apakah perbedaan itu mendatangkan rahmat? Jawabannya bisa iya atau tidak tergantung pada obyek perbedaan itu sendiri. Bila perbedaan itu merupakan hal-hal yang sunnah dan mubah, perbedaan dapat membawa rahmat tetapi bila perbedaan itu pada hal-hal yang wajib tentu perbedaan itu dapat membawa mudharat. Namun rupanya kebanyakan dari kita belum siap menerima keadaan ini. Hal ini terbukti dengan saling membandingkan, memvonis salah, kafir, sesat satu sama lain sehingga Islam menjadi tekstual, Islam berada antara hitam putih.
Oleh karena itu, ketika menghadapi suatu perbedaan pendapat dalam masalah agama, seorang muslim hendaknya melakukan hal-hal berikut:
1) Berusaha untuk mencari kebenaran dan membelanya.
Inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiah (keilmuaan) ataupun masalah amaliah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya. Kewajiban seorang muslim, yang pertama adalah mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya. Andaikata perselisihan itu dalam masalah masalah ilmiah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
2) Apabila perselisihan itu terjadi diantara saudara sesama muslim, maka wajib baginya untuk bersabar, serta tidak melakukan tindakan yang dapat memecah-belah.Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, di mana tentunya kita wajib memegangnya, maka dia hendaknya bersabar dalam menghadapi saudara yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban kita adalah mengetahui di pihak manakah kebenaran itu berada.
3) Menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat di atas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah SWT: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia” (QS. An-Nisaa [4]: 114).
4) Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil atau menyebarkan perkataan yang tanpa dasar atau bukti yang kuat, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
5) Bersikap wasath (netral) antara pihak yang ghuluw (berlebih-lebihan) dan membesar-besarkan setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/ meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri.
6) Jika dia melihat yang haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah dia berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan. Maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Perbedaan yang terjadi, semuanya harus dikembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah swt dan Rasul-Nya. Seorang muslim, selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah swt:
1 Latar Belakang
Agama Islam merupakan ajaran Allah SWT yang menjadi petunjuk mengenai segala hal yang diperuntukkan khususnya untuk manusia. Manusia yang dimaksud bukan yang berdomisili di Timur Tengah atau daratan eropa saja, melainkan di seluruh pelosok dunia yang memiliki banyak perbedaan, beragam bahasa, kultur, sosial, wilayah dan lainnya. Agama Islam yang termaktub dengan bahasa Tuhan dipelajari, ditelaah umat manusia dengan bahasanya sendiri-sendiri yang menghasilkan sebuah pemahaman agama. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan pemahaman agama tersebut menjadi beragam, antara yang satu dan lainnya. Perbedaan pemahaman agama dianggap sebagai jurang pemisah antara umat yang satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya untuk tetap mempersatukan/ menyeimbangkannya. Jangan hanya karena perbedaan pemahaman itu, umat islam mencadi terpecah belah.
2. Rumusan masalah
1) Mengapa muncul perbedaan pemahaman dalam agama Islam?
2) Bagaimana mensikapi perbedaan pemahaman dalam agama Islam?
3. Tujuan
1) Untuk mengetahui mengapa muncul perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
2) Untuk mengetahui bagaimana mensikapi perbedaan pemahaman dalam agama Islam.
B. Isi
1) Sekilas tentang Islam
Islam yang diterima oleh Allah setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun yang mendengar kenabianku di kalangan umat ini, baik Yahudi ataupun Nasrani kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaranku ini niscaya dia akan tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)Sebaik-baiknya memahami Islam adalah dengan mengikuti pemahaman para 'ulama yang telah dijelaskan dan dikenal mempunyai ilmu dan mereka menjelaskan permasalahan Islam berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah. Selain itu, ulama ini yang menjelaskan dan memecahkan berbagai permasalahan dan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan merujuk pada sirah "salafus shalih" dari kalangan shahabat dan dari ulama dari kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in.
Agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam. Dalam islam terdapat kata fiqhul ikhtilaf. Ikhtilaf bisa dimaknai dengan tidak sepaham atau tidak sama, ini makna dasar dari kata ikhtilaf. Dan dalam praktek sehari-hari kata ikhtilaf sering dipakai untuk menggambarkan perbedaan pandangan atau pendapat seseorang atau kelompok dengan sebagian yg lain.
Ikhtilaf dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Ikhtilaful qulub: perbedaan dan perselisihan hati dan ikhtilaf ini termasuk dlm kelompok tafarruq (perpecahan) dan para ulama sepakat ini g bisa ditolelir.
b. Ikhtilaful 'uqul wal afkar: perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman, ikhtilaf jenis ini masih dibagi lagi menjadi 2, yaitu
@ikhtilaf dalam masalah hukum ushul (hukum dasar/prinsip) sebagai contoh ketentuan-ketentuan atau hukum yang telah ditetapkan dan diatur Oleh Alloh dan rosulnya.
@ikhtilaf dalam masalah uru' (cabang/non prinsip), sebagai adalah wajar dan para ulama jg sepakat menolelir dan menerima perbedaan ini,sepanjang tidak berubah menjadi perbedaan atau perselisihan hati.
2) Perbedaan Pemahaman dalam Agama Islam
Beda pendapat atau pemahaman merupakan hal yang wajar, sebagaimana kata pepatah Arab "kullu ro`sin ro`yun" (setiap kepala mempunyai pendapat). Yang terpenting dalam menghadapi perbedaan ini adalah bagaimana cara kita menyikapinya.
Dalam tradisi keilmuan agama Islam, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar para ulama. Tetapi yang perlu dicatat, perbedaan tersebut dalam wilayah furu' (cabang), bersifat ijtihadi, seperti masalah fikih, bukan hal yang ushul (dasar) seperti akidah. Menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama madzhab mempunyai pandangan sebagaimana yang diungkapkan Imam Syafi'i dengan indah: "aku yakin pendapatku benar tetapi memungkinkan salah, dan sesungguhnya pendapat selainku yang bertentangan adalah salah tetapi memungkinkan benar." (a'taqidu anna ro`yii showwaabun yahtamilu al-khatha, wa anna ro'ya mukhalifii khathaun yahtamilu as-showwab).
Perbedaan pendapat inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pemahaman dalam Agama Islam. Selain itu, banyaknya perbedaan seperti beragam bahasa, kultur, social, wilayah dan lainnya juga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perbedaan pemahaman satu sama lain. Selain itu, membawakan ayat atau hadits untuk mendukung suatu pendapat atau pemahaman tidaklah cukup apabila tidak diiringi dengan pemahaman serta metode penarikan kesimpulan hukum/istidlal dan istinbath yang benar. Karena itulah banyak muncul pemahaman yang berbeda-beda, tidak terkecuali dikalangan ulama sekalipun. Pemahaman yang dipercaya ini biasanya akan disalurkan kepada keturunannya. Sehingga pada generasi berikutnya pun terjadi perbedaan pemahaman.
3) Mensikapi Perbedaan Pemahaman dalam Agama Islam
Sebagai Negara kepulauan yang memiliki ras, budaya, dan bahasa yang berbeda, di Indonesia juga tidak terlepas dari perbedaan pemahaman dalam islam. Lantas apakah perbedaan itu mendatangkan rahmat? Jawabannya bisa iya atau tidak tergantung pada obyek perbedaan itu sendiri. Bila perbedaan itu merupakan hal-hal yang sunnah dan mubah, perbedaan dapat membawa rahmat tetapi bila perbedaan itu pada hal-hal yang wajib tentu perbedaan itu dapat membawa mudharat. Namun rupanya kebanyakan dari kita belum siap menerima keadaan ini. Hal ini terbukti dengan saling membandingkan, memvonis salah, kafir, sesat satu sama lain sehingga Islam menjadi tekstual, Islam berada antara hitam putih.
Oleh karena itu, ketika menghadapi suatu perbedaan pendapat dalam masalah agama, seorang muslim hendaknya melakukan hal-hal berikut:
1) Berusaha untuk mencari kebenaran dan membelanya.
Inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiah (keilmuaan) ataupun masalah amaliah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya. Kewajiban seorang muslim, yang pertama adalah mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya. Andaikata perselisihan itu dalam masalah masalah ilmiah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
2) Apabila perselisihan itu terjadi diantara saudara sesama muslim, maka wajib baginya untuk bersabar, serta tidak melakukan tindakan yang dapat memecah-belah.Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, di mana tentunya kita wajib memegangnya, maka dia hendaknya bersabar dalam menghadapi saudara yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban kita adalah mengetahui di pihak manakah kebenaran itu berada.
3) Menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat di atas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah SWT: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia” (QS. An-Nisaa [4]: 114).
4) Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil atau menyebarkan perkataan yang tanpa dasar atau bukti yang kuat, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
5) Bersikap wasath (netral) antara pihak yang ghuluw (berlebih-lebihan) dan membesar-besarkan setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/ meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri.
6) Jika dia melihat yang haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah dia berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan. Maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Perbedaan yang terjadi, semuanya harus dikembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah swt dan Rasul-Nya. Seorang muslim, selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah swt:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Qs. Asy-Syuura: 10)Penjelasan ayat di atas menurut ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir ra., mengatakan, “Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Qs. An Nisa’ [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. Kemudian, setelah kita mengetahui penyebab dan kewajiban kita terhadap perbedaan pendapat, maka dapatlah kita mengupayakan perdamaian bagi mereka yang berselisih, dengan cara:
1) Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan. Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih: “Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu ”(QS. An-Nisaa [4]: 35). Kalau dalam masalah mendamaikan suami-istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang-orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar). Kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian.
2) Mendoakan kebaikan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka di atas kebaikan dan taqwa serta membimbing mereka dalam kebenaran.
3) Menasihati pihak yang salah secara langsung dengan hikmah dan perkataan yang baik. Tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya.
4) Menasehati pihak yang benar agar bersabar. Para sahabat Nabi SAW pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka. Namun setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan: “(Mereka) adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama. Demikian pula Muawiyah r.a, beliaupun mengakui keutamaan Ali r.a. dan mengatakan: “Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”.
Jadi, dalam mensikapi perbedaan pemahaman dapat kita lakukan dengan cara menghormati pendapat yang berbeda, menyampaikan pendapat dengan ilmu yang benar, dilandasi semangat mencari kebenaran bukan pembenaran.
C. Penutup
1. Simpulan
a) Adanya perbedaan pemahaman itu wajar, karena setiap orang pasti mempunyai pendapatnya masing-masing. Perbedaan pendapat inilah yang menimbulkan persepsi pada perbadaan pemahaman.
b) Mensikapi perbedaan permahaman tersebut, hal yang dilakukan adalah:
1) Berusaha untuk mencari kebenaran.
2) Menghormati pendapat/pemahaman orang lain.
3) Menyampaikan pendapat dengan ilmu yang benar.
2. Saran
Sebagai umat muslim sudah sepantasnya kita bersatu. Walaupun terdapat perbedaan pemahaman, tetapi jangan jadikan perbedaan itu sebagai penghalang pemersatu kita. Tetapi jadikanlah perbedaan itu sebagai suatu ujian, agar kita berusaha mencari kebenaran Islam.