Sabtu, 04 Mei 2019

Makalah Tentang Suku Baduy ( Banten )

Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha-Pengasih lagi Maha-Panyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta-alam. Sehingga makalah lingkungan hidup yang kami buat ini dapat selesai tanpa halangan yang berarti. Makalah ini saya beri judul “Makalah tentang Suku Baduy (Banten)”.
Karya ini kami buat dan susun dengan usaha maksimal juga atas bantuan dari berbagai pihak yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh karenanya kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah ikut serta dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
Terlepas dari itu semua kami menyadari masih banyak kekurangan dalam karya yang kami buat. Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal lain yang tidak kami sadari. Oleh karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan karya yang lebih baik.
Dan semoga makalah tentang lingkungan hidup ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan masyarakat luas. Akhir kata kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas perhatiannya.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, karenanya Indonesia juga disebut sebagai “Nusantara”. Indonesia terbentang dari Sabang sampai Meurauke yang terdiri dari berbagai adat, tradisi,  budaya, dan bahasa daerah yang berdeda-beda. Perbedaan yang beraneka ragam membuat Indonesia berdiri sebagai negara multikultural. Namun, segala  perbedaan yang beraneka ragam tersebut tidak menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi sikap pluralisme.
Sikap pluralisme masyarakat Indonesia juga ditujukan kepada suku Baduy, yaitu suku yang masih sangat tradisional dan tidak menerima pengaruh apapun dari luar. Perkembangan zaman yang semakin maju dengan segala macam teknologi canggih yang menyertainya, ternyata tidak mampu mengusik eksistensi suku Baduy untuk tetap memegang teguh adat istiadat yang telah diwariskan oleh  para leluhurnya hingga sampai sekarang ini. Sungguh hal yang sangat luar biasa apabila kita berbicara tentang prinsip dan pedoman yang diterapkan oleh masyarakat suku Baduy, yang lebih memilih untuk tetap terisolasi dari dunia luar dan berpegang teguh dengan pola hidup yang sederhana dan tradisional. Betapa tidak, Banten adalah sebuah kota modern, dan letaknya tidak jauh dari jantung ibukota negara Indonesia, Jakarta, yang identik dengan kemewahan dan segala kecanggihannya.
Dengan segala keaslian dan keunikan tersebut, sudah tentu banyak orang atau wisatawan yang ingin berkunjung kesana. Orang Baduy terbuka kepada siapa  pun yang datang berkunjung, asalkan mereka menaati peraturan yang ada. Namun, semakin banyak orang yang datang kesana, ditakutkan akan merusak alam yang telah dijaga oleh suku Baduy selama bertahun-tahun.
1.2 Rumusan Masalah
1.Apa itu suku baduy ?
2.Bagaimana bahasa suku baduy ?
3.Bagaimana pengetahuan suku baduy ?
4.Apa mata pencaharian suku baduy ?
5.Apa alat/pekakas yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya ?
6.Bagaimana politik kebijakan suku baduy ?
7.Bagaimana kesenian/kebudayaan suku baduy ?

1.3  Tujuan
1.Mengetahui tentang suku baduy
2.Mengetahui bahasa suku baduy
3.Mengetahui pengetahuan suku baduy
4.Mengetahui mata pencaharian suku baduy
5.Mengetahui alat/pekakas yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya
6.Mengetahui politik kebijakan suku baduy
7.Mengetahui kesenian/kebudayaan suku baduy


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Suku Baduy
Urang Kanekes, Orang Kanekes atauorang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayahKanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,Kabupaten Lebak, Banten-Rangkasbitung, Banten, . berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C, Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Sebutan "Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka. 
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten.Mereka mandiri, menolak bantuan luar, merajut, bertanam dan berpikir ke depan dengan otak jernih, jujur dan tulus. Tidak ada keributan sesama mereka di sana. Tak ada saling iri, dengki dan culas di tengah mereka.Suku Baduy adalah kelompok kehidupan yang begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang mereka anut. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah Desa Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
Penampilan fisik dan bahasa suku baduy mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya yang membedakan adalah sistem kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1.Kelompok tangtu
Kelompok ini yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah :
-Pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
-Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
-Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
-Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
-Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
-Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
-Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2.Kelompok Panamping
Mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas :
-Mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
-Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
-Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
-Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
-Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
-Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
-Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
-Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
-Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
-Menikah dengan anggota Kanekes Luar
3.Kelompok Dangka
Kelompok Kanekes Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal dua kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Luar
Mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar dapat tercirikan dari perbedaan yang cukup kentara, terutama mengenai pantangan yang ditaati masyarakatnya. Dilihat dari penampilan, masyarakat Baduy luar menggunakan pakaian serba hitam atau biru donker untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi suci. Sementara masyarakat Baduy dalam relatif menggunakan pakaian yang didominasi warna putih, meski kadang ditambahkan ikat kepala hitam.
Masyarakat baduy luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun sesuai pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan menolak penggunaan listrik.
Dalam pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh masyarakat Baduy dalam. Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun dan sampo yang diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara masih berupa larangan oleh masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat mencemari alam.
Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.
Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy
Walaupun berbeda, nilai luhur dalam adat suku Baduy masih dipegang kuat dan terus diwariskan turun-temurun oleh seluruh masyarakatnya. Hal tersebut telah ditanam sedari kecil melalui tradisi ngolak, yaitu pendidikan orangtua terhadap anaknya untuk mengajarkan hidup yang apa adanya, kesederhanaan, kekeluargaan lewat jiwa gotong royong, juga bermacam kebisaan seperti berladang atau menenun.

2.2  Asal Usul Suku Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke 16 berpusat di Pakuan Padjajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

2.3  Kepercayaan Suku Baduy
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.
Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila  saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung) Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan  tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.Sistem kepercayaan yang dianut Mayoritas suku Baduy mengakui kepercayaan sunda wiwitan yang meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kewajiban dalam kepercayaan Ada 5 Upacara penting yaitu :
1.Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2.Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3.Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4.Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5.Upacara Kelahiran yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
-Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
-Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
-Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
-Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
-Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam. Suku baduy memiliki keunikan, yaitu :
1.Gotong royong masih menjadi kegemaran yang terus dilestarikan
Jika mungkin sifat gotong royong lama kelamaan telah hilang tergerus oleh perkembangan zama, namun hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Suku Baduy Dalam. Sifat gotong royong selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy Dalam hidup saling membantu. Kerukunann dan gotong royong masih sangat dijunjung tinggi oleh orang Baduy.
2.Kebahagiaan sederhana khas Suku Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam memang masih belum dialiri listrik. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini menjadi seolah ‘mati’ begitu malam hari tiba. Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada malam hari karena keterbatasan cahaya. Namun justru hal inilah yang akan membuat kita memperoleh pengalaman baru. Biasanya warga memainkan alat musik seperti kecapi untuk menemani malam mereka, sembari tak lupa mengobrol dan bertukar cerita dengan tetangga.
3.Hidup hemat ala Suku Baduy bisa kita lihat dari kegemaran orang orangnya berjalan kaki
Suku Baduy memang dikenal sebagai salah satu suku yang masih sangat memegang teguh ilmu ilmu leluhur. Salah satunya yakni adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun mobil. Namun hal tersebut tak lantas membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar. Dolaners akan dibuat kagum setelah mengetahui bahwa warga Suku Baduy Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy Dalam. Bahkan tak jarang mereka berjalan jauh sampai ke kota kota besar, tanpa rasa mengeluh sedikitpun.
4.Pu’un, seseorang yang diangap layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam
Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya, mengobati yang sakit. Pu’un sangat dihormati dan dianggap seperti seorang presiden orang masyarakat Suku Baduy Dalam. Oleh karenanya tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan beliau, hanya orang orang yang berkepentingan khusus dan mendesak saja yang bisa bertemu dengan Pu’un.
5.Bentuk rumah tak  mencermikan status sosial kekayaan Suku Baduy
Jika pada umumnya, seseorang yang memiliki rumah mewah dianggap sebagai orang kaya, berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang, namun hal ini tidak berlaku pada masyarakat Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam memiliki bentuk rumah yang hampir serupa satu sama lainnya. Pada peraturan Suku Baduy ini, yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.
6.Batang Bambu yang menjadi pengganti gelas
Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari bambu panjang. Dan justru dengan bambu panjang inilah aroma khas yang timbul secara alami semakin membuat minuman yang di seduh di dalamnya mengahsilkan cita rasa yang berbeda dan bahkan lebih lezat.
7.Hidangan olahan Ayam dianggap makanan mewah oleh masyarakat Baduy
Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang biasanya menyediakan menu ayam pada setiap makanan yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Meskipun sebenarnya, pada saat kita berkunjung ke wilayah Suku Baduy, maka dengan gampangnya kita bisa menemukan ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari hari. Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada saat upacara upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran. Hal ini karena hidangan olahan ayam dianggap makanan yang mewah dan istimewa disini.
8.Orang tua Suku Baduy Dalam yang punya cita-cita sederhana
Jika kebanyakan yang memiliki cita cita adalah kita yang masih memiliki masa depan yang panjang, alias masih belia. Namun hal yang unik bisa kita dapatkan ketika sedang mengunjungi kampung Baduy. Dimana, disini tak hanya kawula muda saja yang memiliki cita cita, namun para orang tua pun juga menyimpan cita cita. Cukup sederhana, mereka hanya ingin anak anak mereka kelak membantu berladang. Sangat sederhana jika didengar oleh telinga orang ‘modern’ seperti kita, namun justru di situlah kearifan lokal mereka sangat terasa.
9.Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan, perjodohan
Perjodohan. Ya, kata tersebut nampaknya identik dengan zaman dahulu. Sebuah hal yang tidak lazim dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki laki yang berasal dari Suku Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari laki laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan oleh sang Pu’un.
10.larangan berkunjung selama 3 bulan
Salah satu tradisi dari warga Baduy Dalam yang hingga kini masih terus dijalankan adalah tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para wisatawan dilarang masuk ke dalam wilayah Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya wisatawan hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.
                                                               
2.4  Bahasa Suku Baduy
Bahasa Baduy adalah bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar digunung Kendeng, Rangkasbitung, Lebak;Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam suatu  rumpun bahasa Sunda, yang sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-Polinesia dalamrumpun bahasa Austronesia.Mereka juga dapat berbahasa Indonesia untuk komunkasi dengan masyarakat luar.

2.5  Pengetahuan Suku Baduy
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar.
Masyarakat Baduy masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.
Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas terlihat. Kemunculan bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)”
Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu. Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang.
Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.
Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut. Dengan demikian hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air.
Kebiasaan masyarakat kanekes dalam membangun rumah pada hakekatnya merupakan pencerminan keteguhan masyarakat dalam melaksanaan peraturan peraturan adat sebagai tradisi turun temurun dari nenek moyangnya. Membongkar tanah adalah buyut. Apabila permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan permukaan tanahnya yang diratakan, melainkan tiang tiang panggung rumah yang disesuaikan tinggi atau rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah. Rumah tradisional baduy berupa panggung dengan lantai pelepah bambu dan berdinding bilik anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun rumbia dan ijuk. Konstruksi rumah tidak menggunakan paku dan cat, umumnya terdiri dari lima bagian; SOSORO atau Serambi, TEPAS atau Ruang Tamu, IMAH atau Ruang Utama yang juga berfungsi sebagai kamar, MUSUNG atau Tempat Penyimpanan Barang dan PARAKO atau Tempat Penyimpanan Barang diatas Tungku.
                                                                                                                                
2.6  Mata Pencaharian Suku Baduy
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan  menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Hasil pertanian  mereka berupa beras biasanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja  yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan sepertidurian dan asam keranji, serta madu hutan.

2.7  Alat/Pekakas Suku Baduy
Alat-Alat Produksi   
1.Golok/Bedog
Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak.
2.Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah Jawa Barat.
Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah (tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam. Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).
3.Kapak Beliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok, dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang tumpulnya).
Senjata
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya).
Wadah
Lodong
Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping tempurung dijualnya Rp 4.000.

2.8  Politik Kebijakan Suku Baduy
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Puun merupakan pemimpin tertinggi pada masyarakat Baduy.dilaksanakan oleh jaro, Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari pemerintahannya dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Adapun tugas-tugas mereka antara lain:
1.Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtudan berbagai macam urusan lainnya.
2.Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes.
3.Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
4.Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dankokolot lembur atau tetua kampong.
Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan
Dikarenakan masyarakat kanekes mengenal dua system pemerintahan, yaitu Sistem Nasional, yang mengikuti atauran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masayarakat tersebut. Kedua system tersebut digabungkan atau diakulturasikan sedemikian rupa sehinga tidak terjadi pembenturan. Secara Nasional penduduk kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagi Jaro Pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pemimpin data kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”
Untuk bertahan mereka diikat oleh sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan sosio-politik dan keagamaan. Pengaturan kehidupan keseharian warga masyarakat sepenuhnya di bawah kendali sistem pemerintahan yang bersandar pada pikukuh karuhun yang dikenal sebagai pamarentahanBaduy dengan ketiga puun sebagai pucuk rujukan mereka yang berkedudukan di tiga daerah tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Praktek kepemimpinan ketiga puunmasing-masing mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan kedudukan dan perannya dalam hirarki kekerabatan. PuunCibeo yang dihubungkan oleh garis keturunan yang paling muda bertindak sebagai pemimpin politik yang berperan mengatur warga masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan Puun Cikeusik yang ditentukan oleh garis keturunan yang paling tua berperan memimpin agama dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan identitas budaya, sedangkan Puun Cikartawana kedudukannya di antara kepemimpinan agama dan politik.
Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga Cikartawana. Puun-puun ini merupakan tritunggal, karena selain berkuasa di wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
SISTEM POLITIK MASYARAKAT KANEKES
Masyarakat Kakenes mengenal dua sistem perintahan, yaitu sistem pemerintahan nasional dan sistem pemerintahan tradisional yang mengikuti adat dan istiadat yang dipercaya masyarakat setempat. Kemudian, kedua sistem tersebut mereka gabungkan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades) yang dengan bahasa mereka disebut dengan Jaro Pamarentah yang kedudukanya berada di bawah Camat. Sedangkan secara adat, penduduk Kanekes tunduk pada pimpinan adat kanekes teringgi yang mereka sebut dengan Puun. Puun itu sendiri ada tiga orang yang tersebar di tiga kampung, tempat berdomisilinya masyarakat Kanekes kelompok tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Salah satu ciri dari sistem politik adalah adanya diferensiasi dalam sistem politik tersebut. Maksudnya adalah adanya pembagian peran dan kerja (division of labor) dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berkaitan demi menjalankan mesin politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungan semua pihak. Bila dalam sistem politik Indonesia kita mengenal istilah eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dll sebagai pembagian tugas yang memiliki fungsi dan peranya masing-masing, di dalam sistem politik tradisional masyarakat kanekes, kita akan menemui istilah Puun, Jaro, Kokolot, dsb. Pada masyarakat Kanekes, Puun adalah pangkat tertinggi dalam pemerintahan adat mereka. Jabatan Puun tersebut berlangsung turun temurun. Namun tidak otomatis dari Bapak ke Anak, melainkan dapat juga ke kerabat lainya. Jangka waktu jabatan seorang Puun pun tidak ditentukan, hanya berdasarkan kemampuan seseorang memegang jabatan. Sedangkan pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro Pamarentah. 
Unit-unit dalam sistem politik merupakan tindakan-tindakan yang ada hubunganya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, maka dalam sistem politik dikenal istilah input, konversi atau proses, dan output. Perefleksian input, konversi, dan output ini juga dapat dilihat pada pemerintahan ataupun sistem politik masyarakat Kanekes, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Secara teori, input dalam sistem politik bisa berupa tuntutan (demand), ataupun dukungan (support). Dalam masyarakat Kanekes, contoh sebuah permasalahan, misalnya, input berupa tuntutan datang dari masyarakat Kanekes sendiri akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari meningkatnya volume pengunjung yang mengunjungi daerah mereka akibat semakin tersosialisasikan dengan baik informasi mengenai kehidupan mereka yang masih tradisional sehingga menimbulkan banyak orang luar dari berbagai kalangan yang berminat mengunjungi Kanekes. Secara sengaja ataupun tidak, para pengunjung itu membuat kehidupan masyarakat setempat tidak nyaman karena adanya beberapa pelanggaran adat yang dilakukan oleh mereka, seperti memotet, mencemari air sungai mereka, dsb. Lalu, masyarakat Kanekes pun memprotes dan menuntut pemerintah kapuunan secara tradisional untuk segera mengambil tindakan demi mengatasi permasalahan ini dengan cara terbaik. Tuntutan masyrakat itu bisa dikategorikan sebagai input.
Kemudian, oleh pemerintah kapuunan, input itupun diterima dan di konversi atau dengan kata lain adalah diproses dengan cara dirundingkan secara adat dengan para pejabat pemerintah kapuunan, antara lain puun, para jero, tangkesan, baresan, girang seurat, jaro pamarentah, kokolot, carik, dsb, dengan tetap menggunakan ruang lingkup adat mereka, dalam hal ini khususnya, peran kokolot atau yang lebeih kita kenal adalah sesepuh menjadi sangat penting sebagai sumber referensi untuk pengambilan kebijakan yang tetap dalam koridor tradisionalisme mereka. Perundingan adat itupun menghasilkan suatu keputusan berupa kebijakan yang disepakati bersama dan disahkan oleh puun. Perundingan adat yang terjadi itu disebut konversi, sedangkan keputusan ataupun kebijakan yang dihasilkan dari perundingan serta disahkan oleh puun disebut sebagai output.
Output yang berupa kebijakan itupun di sosialisasikan secara adat pula kepada masyarakat Kenekes itu sendiri ataupun kepada pengunjung Kenekes. Kebijakan itu, misalnya, berupa persyaratan bagi para pengunjung kenekes, bahwa setiap pengunjung harus mematuhi adat istiadat masyarakat Kenekes asli dengan tidak berfoto di daerah Kenekes, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai, pelarangan masuk daerah Kenekes bagi WNA, dsb. 

2.9  Kesenian/Kebudayaan Suku Baduy
Kesenian
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1.Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung (pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2.Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3.Seni Ukir Batik.
Angklung Buhun salah satu kesenian masyarakat Baduy yang pertaman kali lahir, kesenian Tradisonal ini berbau magis dan mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya kesenian pagelaran yang setiap saat bisa ditonton, tetapi Angklung Buhun dipentaskan pada satu tahun sekali, dengan gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada pakem, yang dijadikan keharusan, disamping tembang, tari, dan tabuhannya harus bisa menyatu dengan seniman yang memainkannya. Kesenian Angklung Buhun hadir bersama dengan orang Baduy, dan punya arti penting sebagai penyambung amanat, kepada para ahli waris untuk mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy. Unsure seninya sebagai daya tarik yang mampu menyentuh rasa, pementasan merupakan jembatan sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan, ajakan, peringatan, laranagn, dan penerangan. 
Rendo Pengiring Pantun merupakan salah satu alat kesenian Tradisional masyarakat Baduy memberikan warna kehdupan budaya bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para warga kepada amanat leluhurnya. Rendo hadir pada setahun sekali secara pasti, setelah selesai musim ngored, menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu senggang yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka tabir sejarah perjalanan hidup leluhurnya. 
Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang lebih mengetahui, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan amanat. Mantun merupakan upacar kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam hari untuk lek-lekan sampai larut malam.

Kebudayaan Adat Istiadat Suku Baduy
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari untuk dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. . Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
                                                                           
Bulan Puasa Kawalu
Di saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka sebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan - selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.
Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya. 

Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Suku baduy merupakan suku asli di tanah sunda yang berlokasi di daerah Banten. Suku baduyn masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk selalu menjaga alam. Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy luar  tidak lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar. Suku baduy merupakan bagian dari suku di Indonesia yang menjadi bukti bawa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan menghargai keberadaan mereka karena bagaimanpun juga mereka adalahwarga Negara Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan kebuyutan atau amanat dari nenek moyang.
                    
3.2  Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan kebudayaan masyarakat baduy agar kebudayaan mereka tetap lestari. Sebaiknya pemerintah daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku baduy untuk mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka. Maka kebudayaan suku baduy akan menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Namun walaupun memiliki keanekaragaman adat istiadat, bangsa kita tetap mempunyai jiwa persatuan yang kuat seperti yang tercantum dalam semboyan kita Bhineka Tunggal Ika.
Kami yakin dalam pembelajaran dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya. Sebagai bahan bagi kemajuan kami dalam pembuatan makalah ini, kami mohon kritik dan sarannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Esa.