Pendahuluan
Peristiwa yang terjadi berapa waktu
terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami krisis. Mulai dari krisis
ekonomi, identitas, sampai dengan krisis moral. Identifikasi penggunaan
kekerasan dalam upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia, misalnya,
menjadikan masalah yang bersifat sangat segera untuk diatasi. Bermula dari
penanaman ideologi dan kepercayaan pada satu bidang kepercayaan tertentu dari
agama Islam, di halalkanlah berbagai cara untuk mewujudkan tujuan. Tragedi
yang terjadi kemudian adalah berjatuhannya banyak nyawa, kerusakan berbagai
infrastruktur dan lain sebagainya. Peristiwa bom Cirebon dan ancaman bom pada
hari Wafat Isa al-Masih adalah contoh nyata. Betapa para sarjana yang
berpendidikan bisa terlibat dan melibatkan diri dalam ancaman dan pengrusakan
tersebut.
Dimanakah akar
kekerasan dan kejahatan kolektif semacam itu? Apakah sebagian masyarakat kita
tengah mengalami krisis identitas diri yang bermuara pada krisis moral dan
spiritual? Bangsa Indonesia mulai tercerabut dari akar kepribadian, bangsa
Indonesia tidak lagi berkarakter. Berbedakah dengan jaman dahulu, apakah jaman
dahulu lebih baik dari saat ini?
Pertanyaan-pertanyan
tersebut muncul karena tindakan masyarakat saat ini tidak rasional, dan ambang
batas toleransi masyarakat dalam menghadapi persoalan sangat tipis sekali.
Hal-hal kecil dan sepele tidak jarang menyulut kekerasan kolektif ratusan
bahkan ribuan massa, dan tidak jarang menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Pada sisi lain
semakin transparannya KKN dalam kehidupan pemerintahan mengindikasikan bahwa
selain masyarakat, ternyata pemerintah yang menjadi panutan warga Negara dalam
berperilaku juga telah kehilangan legitimasi akhlak.
Sampai dengan
saat ini, paling tidak sistem pendidikan nasional bangsa Indonesia masih
menyisakan persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerataan kesempatan, mutu,
relevansi, dan efisiensi. Begitu pun aspek Iain yang juga masih terkait dengan
pendidikan, seperti kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Indonesia. Beberapa
indikatornya adalah masih banyaknya tawuran di berbagai tempat, pengedaran dan
konsumsi narkoba, penyebaran HIV/AIDS, human traficking, dan sebagainya.
Bagaimana
memperbaiki manifestasi dari krisis moral dan akhlak tersebut? Apakah hanya
melihat keberhasilan masa lampau yang sanggup menciptakan orang-orang yang
berakhlak dan berkarakter atau lebih melihat ke depan guna menghadapapi era
baru yang lebih menantang lagi?
B. Moral dan Krisis Moral
1. Moral (Akhlak)
Apabila
membicarakan krisis moral (akhlak), yang perlu dipahami adalah pengertian dari
moral (akhlak) itu sendiri agar tidak terjadi kesalahan semantik. Bertens memandang
moral (akhlak) sebagai keseluruhan asas dari nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk. Semua bangsa mempunyai pengalaman terhadap baik dan buruk, tetapi
tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik atau
buruk itu. Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum yang
terdapat di mana-mana dan di segala zaman. Dengan kata lain akhlak atau
moralitas merupakan fenomena manusiawi (kemanusiaan) yang universal.
Moral atau "ethos"
seseorang atau sekelompok orang adalah bukan hanya apa yang dilakukan oleh
orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan
pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa
yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku
orang pada umumnya, tidak selalu adalah
tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang.
Dalam
penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat dimaknakan sebagai
(1) sesuatu
yang menyangkut penilaian atau pengajaran tentang kebaikan atau keburukan watak
atau kelakuan;
(2) sesuatu
yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun kelakuan yang baik;
(3) sesuatu
yang timbul dari hati nurani;
(4) hal yang
punya dampak kejiwaan bukan keragaan;
(5) hal yang
didasarkan atas kelayakan daripada bukti;
(6) prinsip
yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah cerita atau kejadian;
(7)
aturan-aturan kebiasaan tingkah laku (khususnya tingkah laku seksual).
Dalam konteks
Islam, moral (akhlak) dimaknai sebagai pandangan dan sikap hidup terpuji
berlandaskan ajaran Allah yang termaktub dalam al-Qur'an dan disampaikan oleh
Nabi Muhammad SAW. Secara lebih terperinci, objek atau lapangan akhlak dalam
Islam meliputi bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan penciptanya,
manusia terhadap dirinya, manusia terhadap keluarganya, manusia terhadap
masyarakatnya, manusia yang satu dengan masyarakat lainnya, manusia terhadap
hewan, dan manusia terhadap makhluk lainnya.
Beberapa pengertian tentang baik atau buruk, baik dari sudut
rasionalitas akal,- maupun dari sudut pandang agama di atas, dapat mengarahkan
bahwa moral (akhlak) bukan merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia
sewaktu dilahirkan, melainkan akhlak terus muncul melalui proses pendidikan
(pembinaan) dan proses sosialisasi. Jadi moral seseorang akan sangat ditentukan
oleh seberapa jauh proses pendidikan (pembinaan) berlangsung pada individu.
Pendidikan tersebut tentu saja melibatkan banyak unsur. Lingkungan
sesama individu, mulai
dari keluarga, lingkungan
pendidikan (sekolah), dan lingkungan masyarakat luas sampai pada
negara atau pemerintah.
2. Krisis Moral Bangsa
Krisis moral
seseorang yang kemudian juga akan memberikan sumbangsih pada krisis moral suatu
bangsa terjadi ketika seseorang berbuat, berbudi, dan berperangai tidak lagi
didasarkan kepada tuntutan ideal yang seharusnya (dass soleri) dijadikan
pegangan, yaitu nilai agama dan nilai budaya.
Mengapa
Indonesia begitu lama bangkit dari "keterpurukan nasional" semenjak
terjadinya perubahan kontelasi politik dan ekonomi global, sementara
negara-negara lain di Asia Tenggara, sudah mampu melewatinya meskipun sumber
daya alamnya tidak sekaya indonesia? Krisis moral adalah jawabannya. Krisis
moral dalam hal ini dapat ditempatkan dalam titik sentral dan merupakan causa
prima dari krisis lainnya.
Krisis adalah
suatu proses perubahan yang terjadi pada sesuatu sehingga tidak bisa berjalan
sebagaimana yang seharusnya atau tidak normal, atau—menurut Durkheim—natural
order of the things yang ada mengalami gangguan. Krisis dengan pengertian
inilah yang terjadi di bangsa Indonesia. Bangsa yang mengalami anomie, mengalami
keadaan dimana norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang atau
suatu kelompok masyarakat tidak mampu memberi makna terhadap perubahan dan
perkembangan yang berlangsung di berbagai bidang kehidupan.
Empat indikator terjadinya krisis moral:
a)Unsur-unsur
moralitas mengalami erosi
Erosi dalam hal ini berarti berkurangnya nilai-nilai, norma-norma
dan keyakinan yang merupakan bagian dari moralitas yang dimiliki secara oleh
setiap anggota suatu masyarakat. Reduksi terjadi dari yang semula adalah bagian
dari moralitas hidup suatu kelompok menjadi hanya sekedar kebiasaan yang boleh
diikuti boleh juga tidak. Norma-norma dan nilai-nilai lama (tradisi) runtuh
sementara norma-norma dan nilai-nilai bam belum ada yang disepakati untuk
menjadi bagian dari moralitas hidup.
b) Masyarakat tidak lagi terikat
pada aturan moral
Transisi dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern melemahkan daya kohesi(fitas)
sosial yang ada. Sebagian masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan
aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama. Aturan-aturan moral
semakin tidak jelas, sehingga menimbulkan anomie dan indivisualisme yang
berlebihan menggejala dalam masyarakat, terutama masyarakat perkotaan.
c) Moralitas mengalami
pelemahan intensitas
Intensitas
menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif memiliki kekuatan
untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan seseorang. Moralitas menghendaki
orang untuk mematuhi dari dalam. Karena, "sementara moralitas berada di
atas kita, ia juga berada dalam diri kita dan hanya bisa menjadi ada oleh dan
melalui kita". Oleh karena itu, bila telah ditinggalkan dan tidak lagi
dipatuhi, maka dengan sendirinya moralitas tidak lagi memiliki kekuatan untuk
mengendalikan sikap dan tindakan anggota masyarakat.
d) Tidak terjadi kemarahan
moral atau moral outrage
Kemarahan moral berupa reaksi keras dari sebagian besar anggota
masyarakat terhadap seseorang yang dianggap melanggar aturan moral tertentu
merupakan mekanisme yang penting dan diperlukan untuk menjaga moralitas hidup.
Membiarkan pelanggaran aturan moral terjadi tanpa ada reaksi dan protes dapat
menimbulkan anggapan pada si pelanggar bahwa sikap atau tingkah Iaku yang
diperlihatkannya tidak bertentangan dengan moralitas. Norma-norma, nilai-nilai
dan keyakinan yang tadinya merupakan bagian dari moralitas hidup akan tereduksi
menjadi sekedar moral custom atau kebiasaan moral yang tidak menuntut
kepatuhan seseorang. Akhirnya terserah pada kemauan setiap individu untuk
mengikuti atau tidak, tidak ada mekanisme yang dapat memaksanya dan tidak ada
sanksi sosial apabila ia tidak menyesuaikan sikap dan tindakan dengan
aturan-aturan moral yang ada.
Krisis moral
dapat berperan penting dalam segala kondisi krisis lainnya yang muncul. Krisis
moral ini tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek kekuasaan pada masa lalu
yang mengabaikan pentingnya pembangunan moralitas hidup bangsa {character
building) secara keseluruhan.
C. Pendidikan Moral dan
Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Moral
Pendidikan
Agama telah diwajibkan di sekolah, lantas mengapa kemerosotan moral, atau
setidaknya tingkah laku siswa yang "amoral" masih saja terjadi?
Apakah pendidikan agama harus dihapuskan? Nampaknya mempertahankan pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah-sekolah akan jauh lebih baik daripada
menghapuskannya. Pendidikan agama akan dapat ikut menanggulangi serta memberi
prevensi terhadap masalah moralitas bangsa.
Pendidikan
moral adalah pendidikan keteladanan. Tanpa keteladanan dan panutan, moral akan
semakin pudar. Akhir-akhir ini kalangan birokrat, pendidik, orangtua, dan
generasi muda Indonesia resah, khawatir, dan kecewa karena adanya krisis
keteladanan.
Beragam respons
muncul: ada yang bersikap counter-agresif, pasif, dan ada juga yang memutuskan
untuk hanya mengikuti arus. Berbeda dengan mereka yang memilih respons kedua
dan ketiga, bagi mereka yang memilih sikap pertama, ada kecenderungan untuk
menggunakan tindak kekerasan dan radikal. Semakin banyaknya tindakan abuse of
power, seperti korupsi dan tindakan semacamnya, menjadi humus bagi munculnya
tindakan kekerasan, agresif, dan radikal tersebut.
Para elite politik, pejabat pemerintah, dan intelektual saat ini
memiliki tingkat pendidikan serta prestasi yang relatif sejajar sehingga tak
ada lagi satu sosok bintang yang paling menonjol. Jadi, tiadanya figur idola
generasi muda saat ini bisa dimaknai positif karena hal tersebut menunjukkan
terjadinya mobilitas intelektual secara masif dan berlangsung demokratisasi
dalam berbagai bidang secara mengesankan. Dalam konteks ini yang diperlukan
adalah kepemimpinan kolektif dan penguatan sistem.
Namun, tiadanya
sosok menonjol sebagai idola dan panutan mengindikasikan krisis kepemimpinan
dan keteladanan pada era transisi ini. Krisis moral telah menggerogoti prestasi
kinerja pemerintah yang sedikit demi sedikit mengikis kepercayaan masyarakat,
khususnya generasi muda. Ada indikasi sikap seperti itu telah ikut menyemai
tindakan kekerasan, termasuk radikalisme, dalam masyarakat.
Remaja saat ini
tumbuh tanpa pemahaman yang dalam tentang ideologi berbangsa yang menjadi jati
diri dan acuan visi ke depan di tengah pergaulan dunia yang kian mengglobal.
Generasi muda mendatang tidak saja dituntut memahami dan menjaga
multikulturalisme dan pluralisme yang menjadi realitas sosial bangsa Indonesia.
Mereka juga mesti siap masuk dalam pergaulan dan persaingan lintas bangsa dan
negara.
Yang dimaksud
ideologi di sini adalah satu set nilai, cita-cita mulia, yang menjadi acuan dan
pegangan hidup yang diperjuangkan secara militan secara individu dan kolektif
sebagai warga bangsa. Bagi warga Indonesia, ideologi yang dimaksud adalah
Pancasila yang secara intrinsik disarikan dari nilai-nilai agama dan tradisi
yang hidup di tengah masyarakat. Pendidikan
moral merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam
pendidikan, baik di keluarga,ataupun lingkungan masyarakat. Tiga hal yang
berkaitan dengan pendidikan moral adalah:
a) Pendidikan
karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan
langsung dengan perkembangan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan
tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan
orang lain dan
membahayakan dirinya sendiri seperti perilaku berbohong, menipu dan
mencuri. Dengan adanya proses pendidikan ini peserta didik dapat memahami bahwa
perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru. Menurut pendidikan karakter
setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian dikomunikasikan dengan
jelas kepada seluruh siswa. Setiap pelanggaran terhadap aturan harus dikenai
sanksi sesuai dengan kesepakatan.
Klarifikasi
nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan
menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang
layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan
nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.
Pendidikan moral
kognitif adalah pendekatan yang
didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi
dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007).
Teori Kohlberg banyak mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari
bahwa atmosfer moral
di sekolah sangat
berpengaruh terhadap perkembangan moral anak.
Dengan kata lain,
iklim sekolah dalam pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.
2. Pendidikan Karakter
Karakter (watak) anak bangsa, dilihat dari fenomena-fenomena sosial
remaja dan anak muda saat ini, sungguh sudah sangat lemah. Hal ini terjadi pada
anak bangsa yang juga adalah generasi penerus, anak-anak muda masa depan.
Mungkin karena itu pula, para pendidik bahkan juga pemerintah melalui Kementerian
Diknas dan Kementerian Agama mendengungkan pendidikan watak atau karakter.
Pendidikan watak intinya rangkaian latihan-Iatihan untuk mengendalikan diri.
Ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, pengendalian diri untuk melaksanakan apa
yang menurut hati
nurani harus dilakukan.
Kedua, pengendalian diri untuk tak melakukan segala sesuatu yang menurut
hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam istilah agama, pengertian ini rasanya
sejalan dengan takwa; menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhkan diri
dari apa yang dilarang Tuhan. Jadi, pendidikan watak seharusnya merupakan
Iatihan takwa. Dalam pendidikan watak secara luas, referensi-referensi untuk
melakukan yang baik dan diperintahkan dan menjauhi larangan tentu tak hanya
berasal dari perintah agama, tetapi juga dari sumber etik lain.
Orang yang
telah mendapatkan pendidikan watak secara baik akan tampil sebagai manusia yang
konsisten dalam perilaku. Pendidikan watak mengasumsikan dua hal: pengetahuan
tentang etika dan pengetahuan tentang diri sendiri. Anak yang berwatak pasti
mengenai siapa dirinya sendiri. Dengan pengetahuan tersebut, ia akan tahu apa
yang harus dipelajari dan apa yang tak perlu dipelajari. Dia tahu betul apa
yang diinginkan dan yang tidak dibutuhkannya.
Menghubungkan dua ini pengetahuan
etika dan pengetahuan tentang diri sendiri tampak mudah bagi orang dewasa.
Tetapi, bagi anak yang sedang tumbuh sering kali bukan perkara sederhana. Dalam
kasus yang menimbulkan keraguan inilah, guru atau pendidik memegang peranan
penting. Segala hal yang diterangkan tak boleh menggoyahkan keyakinan anak
mengenai siapa dirinya, apa yang baik dan utama, juga apa yang nista.
Pendidikan Karakter akan efektif
jika diselenggarakan dengan mengintegrasikan tiga basis desain sebagai berikut:
a) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini
berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di
dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan
dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa
yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian
akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran
ini, termasuk di
dalamnya pula adalah
ranah
noninstruksional,
seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan Iain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang nyaman.
b)Desain pendidikan karakter berbasis
kultur sekolah. Desain ini
mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk
menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan
moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan
kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan
konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
c)Desain pendidikan karakter berbasis
komunitas. Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat
umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang .tidak menghargai makna tatanan
sosial bersama.
Karakter dapat
dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu menggiring mereka
dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter
dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah. Para siswa ini
disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Namun, sekolah
tentu bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi. berkarakter,
tempat lain yang utama adalah keluarga dan masyarakat. Rumah adalah istana,
tetapi rumah juga mampu menjadi penjara jika tanpa komunikasi. Masyarakat mampu
menjadi sahabat, tapi dapat pula menjadi penyekat apabila tidak ada empati yang
dirasakan. Semua individu adalah pelaku pendidikan karakter.
Lebih fokus di
sekolah, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru bukan hanya
mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar
berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai
contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter
mengedepankan contoh dan perilaku dari pada ilustrasi angka yang mere'duksi
hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui
kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui tes.
Pendidikan
karakter dapat diimplementasikan dalam setiap ranah pelajaran atau diberikan
secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam
menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang
tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam
berpikir. Guru tidak Iagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau
menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap
siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan
siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga
harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi
dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa
mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam
bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus
memaksa atau dipaksa untuk memahami orang Iain. Dalam pelajaran Materaatika,
guru harus mengutamakan proses penyelesaian soal walaupun ada cara singkat. Hal
ini melatih siswa untuk berpikir struktural dan setia pada proses (tekun). Jika
latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk tanpa
disadari siswa sendiri.
3. Pendidikan Moral (Karakter) Kementerian Agama (Kemenag) dan
Kemendiknas; Perbandingan Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014 Renstra Kemenag
menyebutkan bahwa salah satu arah kebijakan dan rencana strategi nasional
2010-2014 adalah peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama melaui
penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa.
Renstra Kemenag
memiliki sembilan prioritas yang untuk mencapainya, salah satunya adalah dengan
cara peningkatan karakter bangsa peserta didik termasuk internalisasi
nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran, kurikulum, dan kegiatan
ekstrakurikuler, serta peningkatan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu
pengetahuan teknologi dan seni serta bahasa perhubungan luas antara bangsa.
Cita-cita nasional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dilandasi keinginan menjadikan Indonesia sebagai
bangsa yang maju, unggul, mandiri, bermartabat, beradab dan sejahtera. Untuk
mewujudkan hal itu, pemerintah perlu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pendidikan nasional yang dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki
penguasaan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater dan jati
diri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta akhlak
yang mulia.
Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3
dan 4 dinyatakan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,"
dan "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia."
Upaya
pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan penguasaan
dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos
kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk
penyelenggaraan pendidikan Raudhatul Athfal
(RA), madrasah, perguruan tinggi agama,
pendidikan agama dan
pendidikan
keagamaan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak
mulia, bermartabat, dan beradab.
Jika
dibandingkan dengan Renstra Kemendiknas, Renstra Kemenag terlihat lebih umum,
tidak spesifik dan kurang detail. Hal ini disebabkan karena pendidikan karakter
lebih dinisbatkan kepada pendidikan akhlak dan pendidikan agama yang memang
sudah menjadi ciri khas satuan-satuan pendidikan di lingkungan Kementerian
Agama.
Pada Renstra
Kemendiknas, salah satu arah kebijakannya adalah penerapan metodologi
pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa. Pendidikan karakter hams telah
dimulai pada Pendidikan Usia Dini (PAUD) dengan menerapkan pembelajaran yang
membangun karakter (kejujuran, kepedulian, tanggung jawab dan toleransi) dan
menyenangkan bagi anak.
Penerapan
pendidikan karakter pada satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan-
target persentase pada awal 2009 adalah 0% diperkirakan tahun 2010 kemarin
telah mencapai 10%, kemudian 2011 ini 30%, 2012 50%, 2013 75% dan Tahun 2014
diharapkan mencapai 100%.
Sistem
pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik
memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan
terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar,
pornografi dan pornoaksi, plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan
berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini antara lain
adalah sebagai berikut:
-Menanamkan
pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan
warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam
penyelenggaraan pendidikan;
-Mengembangkan kurikulum pendidikan
yang memberikan muatan soft skills yang hieningkatkan akhlak mulia dan
menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun
2010-2014. Lihat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian AgamaTahun 2010-2014.
-Menutnbuhkan budaya peduli kebersihan,
peduli lingkungan, dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di
lapangan;
-Penilaian prestasi keteladanan
peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa
dan bernegara.
4. Penyelenggaraan Pendidikan Moral (Karakter)
a)Perubahan
Mindset Pendidikan (Islam); Proses dan Output Orientasi pendidikan Islam
harus didasari oleh bagaimana mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui
bagaimana beragama yang benar dan mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan.
Marujuk kepada
taksonomi tujuan belajar Benjamin S Bloom, bahwa tingkat keberhasilan belajar
dapat diukur dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sedangkan dalam Islam ada konsep ilm, amal, akhlak, dan Iman. Perbedaannya
adalah term-term dalam Islam tersebut sifatnya integratif, tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam
prosesnya, pendidikan seringkali berhenti pada ranah kognitif. Standar
evaluasinya pun atau kelulusan diukur dari seberapa tinggi daya kognitif siswa.
Selama ini kurang terevaluasi bagaimana pendidikan akhlak, pendidikan karakter
yang merupakan ranah afektif. Outputnya pun kemudian tidak akan berbanding
lurus, siswa yang tingkat kognitifnya tinggi tidak selalu baik moralnya.
b)Peran
Orang Tua/Wali Murid
Dari usia
balita hingga remaja, anak adalah imitator ulung. Mereka akan mencari tokoh
yang akan diidolakan dan akan ditiru dalam setiap langkahnya. Yang pertama kali
adalah ayah dan ibunya. Orang tua yang berhasil meneladankan sikapnya kepada
anaknya, maka anaknya adaiah
seperti apa
yang diteladankan, namun sebaliknya jika tingkah laku orang tua tidak patut
untuk ditiru, sang anak akan tetap diam-diam menirunya.
Di rumah dan di
lingkungan, orang tua juga harus mengawasi anaknya,
denga'n siapa bergaul, kegiatan apa yang dikutinya dan seterusnya. Anak
yang bergabung dengan klub olahraga, remaja masjid, kelompok bakti sosial akan
lebih positif kegiatan-kegiatannya daripada kelompok-kelompok yang sukar untuk
diawasi.
Di lingkungan
lembaga pendidikan (sekolah) juga, orang tua seharusnya tidak serta merta
menyerahkan anaknya kepada sekolah (guru), tetapi orang tua juga berperan
sebagai mediator antara anaknya dan sekolah (guru), sehingga orang tua juga tau
perkembangan keilmuan, sikap dan perilaku anaknya.
c) Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Moral (Karakter)
Hal-hal apa
yang harus dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan moral? Disiplih diri adalah
kunci pertama untuk mengatur mekanisme pribadi. Apabila setiap pribadi mampu
mengolah dan mengatur dirinya, ia akan membentuk manajemen diri sehingga siswa
mampu menghargai waktu.
Hal kedua yang
dapat dilakukan adalah melatih kejujuran. Kejujuran sering diucapkan
tetapi sulit dilakukan. Kejujuran tidak muncul dan tumbuh secara alamiah
mengingat salah satu sifat manusia adalah egois. Berlaku jujur harus dilatih
dan diawasi secara ketat. Hal ini memberikan keuntuugan ganda, yaitu
pembentukan pribadi yang jujur dan melatih siswa melakukan kontrol sosial.
Hal ketiga
adalah memberikan ruang ekspresi yang cukup. Siswa harus diberikan
kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini penting
untuk penyaluran emosional. Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat
membuat siswa menjadi lemah kreasi. Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi
karena tidak ada ruang ekspresi bagi siswa di sekolah. Anggapan yang muncul
bahwa sekolah favorit adalah sekolah dengan kemampuan kognitif tinggi tidak
sepenuhnya benar. Kognitif tinggi tanpa disertai karakter yang baik akan
menghasilkan siswa dalam "cangkang-cangkang akademis" yang minus
nurani. Saluran emosional sangat penting dalam ranah pendidikan karakter. Jika
sekolah sebagai lembaga pendidikan mampu menyeimbangkan hal tersebut, fenomena
remaja nongkrong mungkin dapat berkurang, karena sekolah telah memberikan ruang
bagi mereka. Keuntungan lain dari ekspresi adalah mampu menghargai perbedaan
orang lain atau kultur lain tanpa hams mengerutkan dahi.
Melatih siswa berpikir
kritis adalah bagian sangat penting selanjutnya. Berpikir kritis akan
menghasilkan sikap keberpihakan. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi atau
berdebat di kelas. Berpikir kritis dengan model debat untuk melatih siswa mampu
mendengarkan argumen atau opini orang lain. Debat bukan melatih siswa asal
berpendapat, tetapi memberi kesempatan saling mencermati. Ranah terakhir adalah
ranah empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap
inilah yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk
mengerti keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada
setiap individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan
terwujud.
d) Integrasi
Kurikulum; Pengayaan Pendidikan Agama Islam pada Mata Pelajaran umum
Integrasi sepintas dan secara sederhana dapat dipahami dengan
proses perpaduan pengetahuan dengan dikotomisasi ilmu yang terjadi. Artinya,
perpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama. Iptek dan Imtaq.
Model kurikulum ini mungkin sudah biasa diterapkan pada madrasah
(sekolah umum berciri khas Islam), namun pada sekolah-sekolah umum lainnya
model kurikulum ini belumlah maksimal. Melihat hal ini, Kemendiknas dalam
renstranya kini menerapkan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter
bangsa.
Pada madrasah,
integrasi Iptek dan Imtaq tersebut meliputi:
1)
menghubungkan konsep dan teori-teori yang tidak bertentangan antara iptek dan
imtaq;
2)
rrienghubungan konsep atau teori-teori iptek dengan teori atau konsep yang sama
dalam imtaq yang dapat saling memperkuat;
3)
mempertemukan konsep atau teori-teori iptek dan imtaq yang kontroversial untuk
menemukan solusinya.
Usaha ini
pernah dilakukan atau saat ini juga masih berlangsung di Kementerian Agama,
salah satunya, yaitu membuat buku-buku pengayaan mata pelajaran umum, baik pada
tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun Aliyah. Buku pengayaan tersebut adalah
buku pengembangan pelajaran-pelajaran umum dengan memasukkan nilai-nilai Islam
yang bersumber baik dari al-Qur'an, Hadits, juga Ijma' dan sumber hukum Islam
lainnya, yang dirangkai secara tematis menyesuaikan dengan bahasan mata
pelajaran umum tersebut.
e) Peran (Guru)
Bimbingan dan Konseling
Selain
kurikulum, pendidikan moral di sekolah tidak terlepas dari guru, terutama guru
Bimbingan dan Konseling (BK). Guru BK selama ini terkesan dan di mata para
siswa adalah pemberi hukuman, penegur, pembuat jera. Ketika siswa bersalah atau
melanggar aturan sekolah, maka guru BK akan muncul dengan garangnya.
Untuk mewujudkan pendidikan moral (karakter), guru BK dapat
memegang peranan yang sangat strategis karena guru BK selain yang dipersepsikan
tersebut di atas, dapat juga mempersepsikan diri dengan tugas menjadi mediator
dan memberikan konsultasi terkait dengan kekurangan siswa. Jika siswa mengalami
kesulitan dan permasalahan, justru siswalah yang kemudian mencari guru BK untuk
meminta informasi bagaimana menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
f) Penghargaan dan Sanksi (Reward and Punishment)
Setiap sekolah
pasti memiliki peraturan yang wajib dipatuhi siswa. Penerapan peraturan
tersebut harus diawasi dan dievaluasi. Jika ada siswa yang sanggup mematuhi
peraturan bahkan berprestasi ada baiknya guna memacu, diberikan penghargaan,
tentu saja penghargaan (hadiah) disesuaikan dengan tingkatan umur dan
lebih-lebih bisa mendukung proses belajar siswa.
Sebaliknya bagi
siswa yang melanggar peraturan, juga harus dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan
harus bersifat mendidik. Tidak menimbukan efek traumatik dan efek negatif
lainnya. Sanksi yang berdampak pada memancing empati siswa juga dapat
dilakukan, seperti memberikan uang santunan kepada fakir miskin, dan
lain-lainnya.
Masyarakat
berperan besar dalam upaya mewujudkan karakter bangsa. Moral bangsa ini adalah
tumpukan moral masyarakat. Semakin abai masyarakat akan pentingnya pendidikan
moral, maka semakin krisis pula moral bangsa ini.
Norma-norma dan
nilai yang ada di masyarakat yang telah disepakati, harus dilaksanakan dengan
penuh kesadaran dan menerapkan sanksi bagi yang melanggarnya.
D. Kesimpulan
Moralitas hidup
yang merupakan roh bagi kelangsungan hidup masyarakat bangsa guna mencapai
tujuan bersama perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh jika bangsa ini
hendak bangkit. Membiarkan krisis moral berlarut berarti membiarkan bangsa ini
mengalami keterpurukan.
Moral (karakter) dapat ditanamkan dengan pendidikan yang bersifat
advokasi, konsultasi ataupun edukasi. Namun yang tidak hanya berhenti pada
pembelajaran moral (karakter) pada level kognitif, yang hanya teoritis.
Pendidikan
moral di sekolah juga harus menyentuh ranah afektif-psikomotorik siswa sehingga
katika siswa melakukan hal yang tidak sesuai dengan tata nilai moral, maka
siswa akan merasa bersalah, dan ia akan segera
memperbaikinya. Ego siswa akan dimarahi oleh superegonya sendiri,
biarkan ego merasa bersalah, sehihgga superegolah dengan transformasi
pengetahuan baik dan tidak baiknya, patut dan tidak patutnya, yang kemudian akan
menentukan kemana langkah
psikomotorik siswa.
Milieu (lingkungan) memberikan kontribusi yang berbeda dan saling
melengkapi dalam proses pendidikan moral ini, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat di sekitar siswa. Termasuk tempat
(pusat) perkumpulan masyarakat, seperti
masjid, karang taruna, stasiun, bahkan pos ronda.
Daftar Pustaka
A. Gunawan
Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, (Jakarta: Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, 1997)
Abdur Rahman Assegaf,
dkk, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007)
Abd. Rahman
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada,
2011)
Achmad Mubarok, "Pribadi yang Kuat", dalam Hasan M. Noer
(Ed), Masyarakat Qur'ani, (Jakarta: Penamadani, 2010), Cet. VI
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter Integral, Pendidikan.Karakter.Integral.
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1997)
Komaruddin
Hidayat, Generasi Miskin Keteladanan, Harian Kompas, Edisi02 Mei2011
Mochtar Buchori, Pendidikan Watak, Harian Kompas, Edisi 03
Mei 2011
Nur Kholis
Madjid, "Konsep dan Pengertian Akhlak Bangsa", dalam Tim Kahmi Jaya
(Ed.), Indonesia di Simpang Jalan, (Bandung: Mizan Pustaka, 1998)
Rusdi Syahra, Krisis Moral: Determinan, Implikasi, dan Strategi
Pemecahan Masalahnya, Makalah pada Seminar Sehari, "Kepemimpinan dan
Moralitas Bangsa dalam Era Reformasi", yang diadakan oleh Yayasan
Perempuan Peduli Bangsa bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan-LIPI, 13 Juni 2002.
Rencana
Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014
Rencana
Strategis Kemendiknas Tahun 2010-2014. Lihat Permendiknas Nomor 2 Tahun 2010
tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
Samsul Nizar
dan M. Saifuddin, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2010)
Syaifuddin
Sabda, Model Kurikulum Terpadu; Iptek dan Imtaq, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2006)