الأربعاء، 25 سبتمبر 2013

Pendidikan Moral di Sekolah (Jalan Keluar Mengatasi Krisis Moral Bangsa)

Makalah Pendidikan-Makalah Perbandingan Pendidikan Islam. Berikut ini saya mempunyai makalah dengan judul "Pendidikan Moral di Sekolah (Jalan Keluar Mengatasi Krisis Moral Bangsa)" semoga makalah ini berguna untuk anda yang sedang mengerjakan atau mencari tugas untuk mata kuliah anda. Terima kasih dan semoga membantu.
Pendahuluan 
Peristiwa yang terjadi berapa waktu terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami krisis. Mulai dari krisis ekonomi, identitas, sampai dengan krisis moral. Identifikasi penggunaan kekerasan dalam upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia, misalnya, menjadikan masalah yang bersifat sangat segera untuk diatasi. Bermula dari penanaman ideologi dan kepercayaan pada satu bidang kepercayaan tertentu dari agama Islam, di halalkanlah berbagai cara untuk mewujudkan tujuan. Tragedi yang terjadi kemudian adalah berjatuhannya banyak nyawa, kerusakan berbagai infrastruktur dan lain sebagainya. Peristiwa bom Cirebon dan ancaman bom pada hari Wafat Isa al-Masih adalah contoh nyata. Betapa para sarjana yang berpendidikan bisa terlibat dan melibatkan diri dalam ancaman dan pengrusakan tersebut. 
Dimanakah akar kekerasan dan kejahatan kolektif semacam itu? Apakah sebagian masyarakat kita tengah mengalami krisis identitas diri yang bermuara pada krisis moral dan spiritual? Bangsa Indonesia mulai tercerabut dari akar kepribadian, bangsa Indonesia tidak lagi berkarakter. Berbedakah dengan jaman dahulu, apakah jaman dahulu lebih baik dari saat ini? 
Pertanyaan-pertanyan tersebut muncul karena tindakan masyarakat saat ini tidak rasional, dan ambang batas toleransi masyarakat dalam menghadapi persoalan sangat tipis sekali. Hal-hal kecil dan sepele tidak jarang menyulut kekerasan kolektif ratusan bahkan ribuan massa, dan tidak jarang menimbulkan korban yang tidak sedikit. 
Pada sisi lain semakin transparannya KKN dalam kehidupan pemerintahan mengindikasikan bahwa selain masyarakat, ternyata pemerintah yang menjadi panutan warga Negara dalam berperilaku juga telah kehilangan legitimasi akhlak. 
Sampai dengan saat ini, paling tidak sistem pendidikan nasional bangsa Indonesia masih menyisakan persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerataan kesempatan, mutu, relevansi, dan efisiensi. Begitu pun aspek Iain yang juga masih terkait dengan pendidikan, seperti kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Indonesia. Beberapa indikatornya adalah masih banyaknya tawuran di berbagai tempat, pengedaran dan konsumsi narkoba, penyebaran HIV/AIDS, human traficking, dan sebagainya.
Bagaimana memperbaiki manifestasi dari krisis moral dan akhlak tersebut? Apakah hanya melihat keberhasilan masa lampau yang sanggup menciptakan orang-orang yang berakhlak dan berkarakter atau lebih melihat ke depan guna menghadapapi era baru yang lebih menantang lagi?
B.   Moral dan Krisis Moral
1. Moral (Akhlak)
Apabila membicarakan krisis moral (akhlak), yang perlu dipahami adalah pengertian dari moral (akhlak) itu sendiri agar tidak terjadi kesalahan semantik. Bertens memandang moral (akhlak) sebagai keseluruhan asas dari nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Semua bangsa mempunyai pengalaman terhadap baik dan buruk, tetapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik atau buruk itu. Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum yang terdapat di mana-mana dan di segala zaman. Dengan kata lain akhlak atau moralitas merupakan fenomena manusiawi (kemanusiaan) yang universal.
Moral atau "ethos" seseorang atau sekelompok orang adalah bukan hanya apa yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang.
Dalam penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat dimaknakan sebagai 
(1) sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran tentang kebaikan atau keburukan watak atau kelakuan;
(2) sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun kelakuan yang baik;
(3) sesuatu yang timbul dari hati nurani;
(4) hal yang punya dampak kejiwaan bukan keragaan;
(5) hal yang didasarkan atas kelayakan daripada bukti;
(6) prinsip yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah cerita atau kejadian;
(7) aturan-aturan kebiasaan tingkah laku (khususnya tingkah laku seksual).
Dalam konteks Islam, moral (akhlak) dimaknai sebagai pandangan dan sikap hidup terpuji berlandaskan ajaran Allah yang termaktub dalam al-Qur'an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Secara lebih terperinci, objek atau lapangan akhlak dalam Islam meliputi bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan penciptanya, manusia terhadap dirinya, manusia terhadap keluarganya, manusia terhadap masyarakatnya, manusia yang satu dengan masyarakat lainnya, manusia terhadap hewan, dan manusia terhadap makhluk lainnya.
Beberapa pengertian tentang baik atau buruk, baik dari sudut rasionalitas akal,- maupun dari sudut pandang agama di atas, dapat mengarahkan bahwa moral (akhlak) bukan merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia sewaktu dilahirkan, melainkan akhlak terus muncul melalui proses pendidikan (pembinaan) dan proses sosialisasi. Jadi moral seseorang akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh proses pendidikan (pembinaan) berlangsung pada individu. Pendidikan tersebut tentu saja melibatkan banyak unsur.   Lingkungan   sesama   individu,   mulai   dari   keluarga,   lingkungan
pendidikan (sekolah), dan lingkungan masyarakat luas sampai pada negara atau pemerintah.
2. Krisis Moral Bangsa
Krisis moral seseorang yang kemudian juga akan memberikan sumbangsih pada krisis moral suatu bangsa terjadi ketika seseorang berbuat, berbudi, dan berperangai tidak lagi didasarkan kepada tuntutan ideal yang seharusnya (dass soleri) dijadikan pegangan, yaitu nilai agama dan nilai budaya.
Mengapa Indonesia begitu lama bangkit dari "keterpurukan nasional" semenjak terjadinya perubahan kontelasi politik dan ekonomi global, sementara negara-negara lain di Asia Tenggara, sudah mampu melewatinya meskipun sumber daya alamnya tidak sekaya indonesia? Krisis moral adalah jawabannya. Krisis moral dalam hal ini dapat ditempatkan dalam titik sentral dan merupakan causa prima dari krisis lainnya.
Krisis adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada sesuatu sehingga tidak bisa berjalan sebagaimana yang seharusnya atau tidak normal, atau—menurut Durkheim—natural order of the things yang ada mengalami gangguan. Krisis dengan pengertian inilah yang terjadi di bangsa Indonesia. Bangsa yang mengalami anomie, mengalami keadaan dimana norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok masyarakat tidak mampu memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan yang berlangsung di berbagai bidang kehidupan.
Empat indikator  terjadinya krisis moral:
a)Unsur-unsur moralitas mengalami erosi
Erosi dalam hal ini berarti berkurangnya nilai-nilai, norma-norma dan keyakinan yang merupakan bagian dari moralitas yang dimiliki secara oleh setiap anggota suatu masyarakat. Reduksi terjadi dari yang semula adalah bagian dari moralitas hidup suatu kelompok menjadi hanya sekedar kebiasaan yang boleh diikuti boleh juga tidak. Norma-norma dan nilai-nilai lama (tradisi) runtuh sementara norma-norma dan nilai-nilai bam belum ada yang disepakati untuk menjadi bagian dari moralitas hidup.
b) Masyarakat tidak lagi terikat pada aturan moral
Transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern melemahkan daya kohesi(fitas) sosial yang ada. Sebagian masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama. Aturan-aturan moral semakin tidak jelas, sehingga menimbulkan anomie dan indivisualisme yang berlebihan menggejala dalam masyarakat, terutama masyarakat perkotaan.
c)  Moralitas mengalami pelemahan intensitas
Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan seseorang. Moralitas menghendaki orang untuk mematuhi dari dalam. Karena, "sementara moralitas berada di atas kita, ia juga berada dalam diri kita dan hanya bisa menjadi ada oleh dan melalui kita". Oleh karena itu, bila telah ditinggalkan dan tidak lagi dipatuhi, maka dengan sendirinya moralitas tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan sikap dan tindakan anggota masyarakat.
d)  Tidak terjadi kemarahan moral atau moral outrage
Kemarahan moral berupa reaksi keras dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap seseorang yang dianggap melanggar aturan moral tertentu merupakan mekanisme yang penting dan diperlukan untuk menjaga moralitas hidup. Membiarkan pelanggaran aturan moral terjadi tanpa ada reaksi dan protes dapat menimbulkan anggapan pada si pelanggar bahwa sikap atau tingkah Iaku yang diperlihatkannya tidak bertentangan dengan moralitas. Norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan yang tadinya merupakan bagian dari moralitas hidup akan tereduksi menjadi sekedar moral custom atau kebiasaan moral yang tidak menuntut kepatuhan seseorang. Akhirnya terserah pada kemauan setiap individu untuk mengikuti atau tidak, tidak ada mekanisme yang dapat memaksanya dan tidak ada sanksi sosial apabila ia tidak menyesuaikan sikap dan tindakan dengan aturan-aturan moral yang ada.
Krisis moral dapat berperan penting dalam segala kondisi krisis lainnya yang muncul. Krisis moral ini tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek kekuasaan pada masa lalu yang mengabaikan pentingnya pembangunan moralitas hidup bangsa {character building) secara keseluruhan.
C.   Pendidikan Moral dan Pendidikan Karakter
1. Pendidikan Moral
Pendidikan Agama telah diwajibkan di sekolah, lantas mengapa kemerosotan moral, atau setidaknya tingkah laku siswa yang "amoral" masih saja terjadi? Apakah pendidikan agama harus dihapuskan? Nampaknya mempertahankan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah akan jauh lebih baik daripada menghapuskannya. Pendidikan agama akan dapat ikut menanggulangi serta memberi prevensi terhadap masalah moralitas bangsa.
Pendidikan moral adalah pendidikan keteladanan. Tanpa keteladanan dan panutan, moral akan semakin pudar. Akhir-akhir ini kalangan birokrat, pendidik, orangtua, dan generasi muda Indonesia resah, khawatir, dan kecewa karena adanya krisis keteladanan.
Beragam respons muncul: ada yang bersikap counter-agresif, pasif, dan ada juga yang memutuskan untuk hanya mengikuti arus. Berbeda dengan mereka yang memilih respons kedua dan ketiga, bagi mereka yang memilih sikap pertama, ada kecenderungan untuk menggunakan tindak kekerasan dan radikal. Semakin banyaknya tindakan abuse of power, seperti korupsi dan tindakan semacamnya, menjadi humus bagi munculnya tindakan kekerasan, agresif, dan radikal tersebut.
Para elite politik, pejabat pemerintah, dan intelektual saat ini memiliki tingkat pendidikan serta prestasi yang relatif sejajar sehingga tak ada lagi satu sosok bintang yang paling menonjol. Jadi, tiadanya figur idola generasi muda saat ini bisa dimaknai positif karena hal tersebut menunjukkan terjadinya mobilitas intelektual secara masif dan berlangsung demokratisasi dalam berbagai bidang secara mengesankan. Dalam konteks ini yang diperlukan adalah kepemimpinan kolektif dan penguatan sistem.
Namun, tiadanya sosok menonjol sebagai idola dan panutan mengindikasikan krisis kepemimpinan dan keteladanan pada era transisi ini. Krisis moral telah menggerogoti prestasi kinerja pemerintah yang sedikit demi sedikit mengikis kepercayaan masyarakat, khususnya generasi muda. Ada indikasi sikap seperti itu telah ikut menyemai tindakan kekerasan, termasuk radikalisme, dalam masyarakat.
Remaja saat ini tumbuh tanpa pemahaman yang dalam tentang ideologi berbangsa yang menjadi jati diri dan acuan visi ke depan di tengah pergaulan dunia yang kian mengglobal. Generasi muda mendatang tidak saja dituntut memahami dan menjaga multikulturalisme dan pluralisme yang menjadi realitas sosial bangsa Indonesia. Mereka juga mesti siap masuk dalam pergaulan dan persaingan lintas bangsa dan negara.
Yang dimaksud ideologi di sini adalah satu set nilai, cita-cita mulia, yang menjadi acuan dan pegangan hidup yang diperjuangkan secara militan secara individu dan kolektif sebagai warga bangsa. Bagi warga Indonesia, ideologi yang dimaksud adalah Pancasila yang secara intrinsik disarikan dari nilai-nilai agama dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Pendidikan moral merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam pendidikan, baik di keluarga,ataupun lingkungan masyarakat. Tiga hal yang berkaitan dengan pendidikan moral adalah:
a) Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan  langsung dengan  perkembangan moral anak.  Pendidikan karakter adalah  proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan
orang lain dan membahayakan dirinya sendiri seperti perilaku berbohong, menipu dan mencuri. Dengan adanya proses pendidikan ini peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru. Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa. Setiap pelanggaran terhadap aturan harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.
Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.
Pendidikan   moral   kognitif adalah  pendekatan  yang  didasarkan   pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari
bahwa    atmosfer    moral    di    sekolah    sangat    berpengaruh    terhadap perkembangan   moral   anak.   Dengan   kata   lain,   iklim   sekolah   dalam pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.
2. Pendidikan Karakter
Karakter (watak) anak bangsa, dilihat dari fenomena-fenomena sosial remaja dan anak muda saat ini, sungguh sudah sangat lemah. Hal ini terjadi pada anak bangsa yang juga adalah generasi penerus, anak-anak muda masa depan. Mungkin karena itu pula, para pendidik bahkan juga pemerintah melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama mendengungkan pendidikan watak atau karakter. Pendidikan watak intinya rangkaian latihan-Iatihan untuk mengendalikan diri.
Ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, pengendalian diri untuk melaksanakan   apa   yang   menurut  hati   nurani   harus   dilakukan.   Kedua, pengendalian diri untuk tak melakukan segala sesuatu yang menurut hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam istilah agama, pengertian ini rasanya sejalan dengan takwa; menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang Tuhan. Jadi, pendidikan watak seharusnya merupakan Iatihan takwa. Dalam pendidikan watak secara luas, referensi-referensi untuk melakukan yang baik dan diperintahkan dan menjauhi larangan tentu tak hanya berasal dari perintah agama, tetapi juga dari sumber etik lain.
Orang yang telah mendapatkan pendidikan watak secara baik akan tampil sebagai manusia yang konsisten dalam perilaku. Pendidikan watak mengasumsikan dua hal: pengetahuan tentang etika dan pengetahuan tentang diri sendiri. Anak yang berwatak pasti mengenai siapa dirinya sendiri. Dengan pengetahuan tersebut, ia akan tahu apa yang harus dipelajari dan apa yang tak perlu dipelajari. Dia tahu betul apa yang diinginkan dan yang tidak dibutuhkannya.
Menghubungkan dua ini pengetahuan etika dan pengetahuan tentang diri sendiri tampak mudah bagi orang dewasa. Tetapi, bagi anak yang sedang tumbuh sering kali bukan perkara sederhana. Dalam kasus yang menimbulkan keraguan inilah, guru atau pendidik memegang peranan penting. Segala hal yang diterangkan tak boleh menggoyahkan keyakinan anak mengenai siapa dirinya, apa yang baik dan utama, juga apa yang nista.
Pendidikan Karakter akan efektif jika diselenggarakan dengan mengintegrasikan tiga basis desain sebagai berikut:
a) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks   pengajaran   ini,   termasuk   di   dalamnya   pula   adalah   ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan Iain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
b)Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
c)Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi  manusia yang .tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar. Maka, sebaiknya pendidikan karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah. Para siswa ini disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak. Namun, sekolah tentu bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi. berkarakter, tempat lain yang utama adalah keluarga dan masyarakat. Rumah adalah istana, tetapi rumah juga mampu menjadi penjara jika tanpa komunikasi. Masyarakat mampu menjadi sahabat, tapi dapat pula menjadi penyekat apabila tidak ada empati yang dirasakan. Semua individu adalah pelaku pendidikan karakter.
Lebih fokus di sekolah, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku dari pada ilustrasi angka yang mere'duksi hakikat karakter sendiri. Materi pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan bukan ditagihkan melalui tes.
Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap ranah pelajaran atau diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir. Guru tidak Iagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau menikmati tontonan presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus mampu mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan eksplorasi akademis. Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu diajak berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus memaksa atau dipaksa untuk memahami orang Iain. Dalam pelajaran Materaatika, guru harus mengutamakan proses penyelesaian soal walaupun ada cara singkat. Hal ini melatih siswa untuk berpikir struktural dan setia pada proses (tekun). Jika latihan model tersebut diberikan secara teratur, karakter akan terbentuk tanpa disadari siswa sendiri.
3. Pendidikan Moral (Karakter) Kementerian Agama (Kemenag) dan Kemendiknas; Perbandingan Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014 Renstra Kemenag menyebutkan bahwa salah satu arah kebijakan dan rencana strategi nasional 2010-2014 adalah peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama melaui penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa.
Renstra Kemenag memiliki sembilan prioritas yang untuk mencapainya, salah satunya adalah dengan cara peningkatan karakter bangsa peserta didik termasuk internalisasi nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran, kurikulum, dan kegiatan ekstrakurikuler, serta peningkatan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta bahasa perhubungan luas antara bangsa.
Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilandasi keinginan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, unggul, mandiri, bermartabat, beradab dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah perlu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki penguasaan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater dan jati diri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia.
Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3 dan 4 dinyatakan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang," dan "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan Raudhatul Athfal  (RA),  madrasah,   perguruan tinggi  agama,   pendidikan  agama dan
pendidikan keagamaan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia, bermartabat, dan beradab.
Jika dibandingkan dengan Renstra Kemendiknas, Renstra Kemenag terlihat lebih umum, tidak spesifik dan kurang detail. Hal ini disebabkan karena pendidikan karakter lebih dinisbatkan kepada pendidikan akhlak dan pendidikan agama yang memang sudah menjadi ciri khas satuan-satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama.
Pada Renstra Kemendiknas, salah satu arah kebijakannya adalah penerapan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa. Pendidikan karakter hams telah dimulai pada Pendidikan Usia Dini (PAUD) dengan menerapkan pembelajaran yang membangun karakter (kejujuran, kepedulian, tanggung jawab dan toleransi) dan menyenangkan bagi anak.
Penerapan pendidikan karakter pada satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan- target persentase pada awal 2009 adalah 0% diperkirakan tahun 2010 kemarin telah mencapai 10%, kemudian 2011 ini 30%, 2012 50%, 2013 75% dan Tahun 2014 diharapkan mencapai 100%.
Sistem pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar, pornografi dan pornoaksi, plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
-Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan;
-Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skills yang hieningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian AgamaTahun 2010-2014.
-Menutnbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan;
-Penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.
4. Penyelenggaraan Pendidikan Moral (Karakter)
a)Perubahan Mindset Pendidikan (Islam); Proses dan Output Orientasi pendidikan Islam harus didasari oleh bagaimana mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana beragama yang benar dan mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan.
Marujuk kepada taksonomi tujuan belajar Benjamin S Bloom, bahwa tingkat keberhasilan belajar dapat diukur dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam Islam ada konsep ilm, amal, akhlak, dan Iman. Perbedaannya adalah term-term dalam Islam tersebut sifatnya integratif, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam prosesnya, pendidikan seringkali berhenti pada ranah kognitif. Standar evaluasinya pun atau kelulusan diukur dari seberapa tinggi daya kognitif siswa. Selama ini kurang terevaluasi bagaimana pendidikan akhlak, pendidikan karakter yang merupakan ranah afektif. Outputnya pun kemudian tidak akan berbanding lurus, siswa yang tingkat kognitifnya tinggi tidak selalu baik moralnya.
b)Peran Orang Tua/Wali Murid
Dari usia balita hingga remaja, anak adalah imitator ulung. Mereka akan mencari tokoh yang akan diidolakan dan akan ditiru dalam setiap langkahnya. Yang pertama kali adalah ayah dan ibunya. Orang tua yang berhasil meneladankan sikapnya kepada anaknya, maka anaknya adaiah
seperti apa yang diteladankan, namun sebaliknya jika tingkah laku orang tua tidak patut untuk ditiru, sang anak akan tetap diam-diam menirunya.
Di rumah dan di lingkungan, orang tua juga harus mengawasi anaknya, denga'n siapa bergaul, kegiatan apa yang dikutinya dan seterusnya. Anak yang bergabung dengan klub olahraga, remaja masjid, kelompok bakti sosial akan lebih positif kegiatan-kegiatannya daripada kelompok-kelompok yang sukar untuk diawasi.
Di lingkungan lembaga pendidikan (sekolah) juga, orang tua seharusnya tidak serta merta menyerahkan anaknya kepada sekolah (guru), tetapi orang tua juga berperan sebagai mediator antara anaknya dan sekolah (guru), sehingga orang tua juga tau perkembangan keilmuan, sikap dan perilaku anaknya.
c) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Moral (Karakter)
Hal-hal apa yang harus dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan moral? Disiplih diri adalah kunci pertama untuk mengatur mekanisme pribadi. Apabila setiap pribadi mampu mengolah dan mengatur dirinya, ia akan membentuk manajemen diri sehingga siswa mampu menghargai waktu.
Hal kedua yang dapat dilakukan adalah melatih kejujuran. Kejujuran sering diucapkan tetapi sulit dilakukan. Kejujuran tidak muncul dan tumbuh secara alamiah mengingat salah satu sifat manusia adalah egois. Berlaku jujur harus dilatih dan diawasi secara ketat. Hal ini memberikan keuntuugan ganda, yaitu pembentukan pribadi yang jujur dan melatih siswa melakukan kontrol sosial.
Hal ketiga adalah memberikan ruang ekspresi yang cukup. Siswa harus diberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini penting untuk penyaluran emosional. Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa menjadi lemah kreasi. Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi karena tidak ada ruang ekspresi bagi siswa di sekolah. Anggapan yang muncul bahwa sekolah favorit adalah sekolah dengan kemampuan kognitif tinggi tidak sepenuhnya benar. Kognitif tinggi tanpa disertai karakter yang baik akan menghasilkan siswa dalam "cangkang-cangkang akademis" yang minus nurani. Saluran emosional sangat penting dalam ranah pendidikan karakter. Jika sekolah sebagai lembaga pendidikan mampu menyeimbangkan hal tersebut, fenomena remaja nongkrong mungkin dapat berkurang, karena sekolah telah memberikan ruang bagi mereka. Keuntungan lain dari ekspresi adalah mampu menghargai perbedaan orang lain atau kultur lain tanpa hams mengerutkan dahi.
Melatih siswa berpikir kritis adalah bagian sangat penting selanjutnya. Berpikir kritis akan menghasilkan sikap keberpihakan. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi atau berdebat di kelas. Berpikir kritis dengan model debat untuk melatih siswa mampu mendengarkan argumen atau opini orang lain. Debat bukan melatih siswa asal berpendapat, tetapi memberi kesempatan saling mencermati. Ranah terakhir adalah ranah empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap inilah yang akan mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti keadaan orang lain secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada setiap individu siswa, sikap tolong-menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan terwujud.
d) Integrasi Kurikulum; Pengayaan Pendidikan Agama Islam pada Mata Pelajaran umum
Integrasi sepintas dan secara sederhana dapat dipahami dengan proses perpaduan pengetahuan dengan dikotomisasi ilmu yang terjadi. Artinya, perpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama. Iptek dan Imtaq.
Model kurikulum ini mungkin sudah biasa diterapkan pada madrasah (sekolah umum berciri khas Islam), namun pada sekolah-sekolah umum lainnya model kurikulum ini belumlah maksimal. Melihat hal ini, Kemendiknas dalam renstranya kini menerapkan metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa.
Pada madrasah, integrasi Iptek dan Imtaq tersebut meliputi:
1) menghubungkan konsep dan teori-teori yang tidak bertentangan antara iptek dan imtaq;
2) rrienghubungan konsep atau teori-teori iptek dengan teori atau konsep yang sama dalam imtaq yang dapat saling memperkuat;
3) mempertemukan konsep atau teori-teori iptek dan imtaq yang kontroversial untuk menemukan solusinya.
Usaha ini pernah dilakukan atau saat ini juga masih berlangsung di Kementerian Agama, salah satunya, yaitu membuat buku-buku pengayaan mata pelajaran umum, baik pada tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun Aliyah. Buku pengayaan tersebut adalah buku pengembangan pelajaran-pelajaran umum dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang bersumber baik dari al-Qur'an, Hadits, juga Ijma' dan sumber hukum Islam lainnya, yang dirangkai secara tematis menyesuaikan dengan bahasan mata pelajaran umum tersebut.
e) Peran (Guru) Bimbingan dan Konseling
Selain kurikulum, pendidikan moral di sekolah tidak terlepas dari guru, terutama guru Bimbingan dan Konseling (BK). Guru BK selama ini terkesan dan di mata para siswa adalah pemberi hukuman, penegur, pembuat jera. Ketika siswa bersalah atau melanggar aturan sekolah, maka guru BK akan muncul dengan garangnya.
Untuk mewujudkan pendidikan moral (karakter), guru BK dapat memegang peranan yang sangat strategis karena guru BK selain yang dipersepsikan tersebut di atas, dapat juga mempersepsikan diri dengan tugas menjadi mediator dan memberikan konsultasi terkait dengan kekurangan siswa. Jika siswa mengalami kesulitan dan permasalahan, justru siswalah yang kemudian mencari guru BK untuk meminta informasi bagaimana menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
f) Penghargaan dan Sanksi (Reward and Punishment)
Setiap sekolah pasti memiliki peraturan yang wajib dipatuhi siswa. Penerapan peraturan tersebut harus diawasi dan dievaluasi. Jika ada siswa yang sanggup mematuhi peraturan bahkan berprestasi ada baiknya guna memacu, diberikan penghargaan, tentu saja penghargaan (hadiah) disesuaikan dengan tingkatan umur dan lebih-lebih bisa mendukung proses belajar siswa.
Sebaliknya bagi siswa yang melanggar peraturan, juga harus dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan harus bersifat mendidik. Tidak menimbukan efek traumatik dan efek negatif lainnya. Sanksi yang berdampak pada memancing empati siswa juga dapat dilakukan, seperti memberikan uang santunan kepada fakir miskin, dan lain-lainnya.
Masyarakat berperan besar dalam upaya mewujudkan karakter bangsa. Moral bangsa ini adalah tumpukan moral masyarakat. Semakin abai masyarakat akan pentingnya pendidikan moral, maka semakin krisis pula moral bangsa ini.
Norma-norma dan nilai yang ada di masyarakat yang telah disepakati, harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan menerapkan sanksi bagi yang melanggarnya.
D.   Kesimpulan
Moralitas hidup yang merupakan roh bagi kelangsungan hidup masyarakat bangsa guna mencapai tujuan bersama perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh jika bangsa ini hendak bangkit. Membiarkan krisis moral berlarut berarti membiarkan bangsa ini mengalami keterpurukan.
Moral (karakter) dapat ditanamkan dengan pendidikan yang bersifat advokasi, konsultasi ataupun edukasi. Namun yang tidak hanya berhenti pada pembelajaran moral (karakter) pada level kognitif, yang hanya teoritis.
Pendidikan moral di sekolah juga harus menyentuh ranah afektif-psikomotorik siswa sehingga katika siswa melakukan hal yang tidak sesuai dengan tata nilai moral, maka siswa akan merasa bersalah, dan ia akan segera
memperbaikinya. Ego siswa akan dimarahi oleh superegonya sendiri, biarkan ego merasa bersalah, sehihgga superegolah dengan transformasi pengetahuan baik dan tidak baiknya, patut dan tidak patutnya, yang kemudian akan menentukan kemana langkah psikomotorik siswa.
Milieu (lingkungan) memberikan kontribusi yang berbeda dan saling melengkapi dalam proses pendidikan moral ini, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat di sekitar siswa. Termasuk tempat (pusat) perkumpulan masyarakat, seperti masjid, karang taruna, stasiun, bahkan pos ronda.
Daftar Pustaka
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, 1997)
Abdur Rahman Assegaf, dkk, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007)
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, 2011)
Achmad Mubarok, "Pribadi yang Kuat", dalam Hasan M. Noer (Ed), Masyarakat Qur'ani, (Jakarta: Penamadani, 2010), Cet. VI
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter Integral, Pendidikan.Karakter.Integral.
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Komaruddin Hidayat, Generasi Miskin Keteladanan, Harian Kompas, Edisi02 Mei2011
Mochtar Buchori, Pendidikan Watak, Harian Kompas, Edisi 03 Mei 2011
Nur Kholis Madjid, "Konsep dan Pengertian Akhlak Bangsa", dalam Tim Kahmi Jaya (Ed.), Indonesia di Simpang Jalan, (Bandung: Mizan Pustaka, 1998)
Rusdi Syahra, Krisis Moral: Determinan, Implikasi, dan Strategi Pemecahan Masalahnya, Makalah pada Seminar Sehari, "Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa dalam Era Reformasi", yang diadakan oleh Yayasan Perempuan Peduli Bangsa bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 13 Juni 2002.
Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014
Rencana Strategis Kemendiknas Tahun 2010-2014. Lihat Permendiknas Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.
Samsul Nizar dan M. Saifuddin, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010)
Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu; Iptek dan Imtaq, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2006)