الأربعاء، 29 مايو 2013

MAKALAH KONFLIK AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

Makalah Pendidikan – Makalah pendidikan agama dan sosial. Berikut ini saya mempunyai “Makalah Konflik Agama Dan Perubahan Sosial”. Semoga makalah yang saya unggah ini bisa membantu kalian dalam mencari tugas sekolah atau kampus.
A.    PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan dalam masyarakatnya. Masyarakat majemuk disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial, seperti identitas keagamaan, keetnisan, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang mendefinisikan diri secara unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul dalam pemikiran sosiologis terhadap adanya masyarakat majemuk ini adalah konsekuensi-konsekuensi terhadap beberapa hal penting dalam kehidupan sosial seperti stabilitas dan harmoni sosial dan persaingan identitas dalam arena-arena sosial. Secara umum dari semua konsekuensi tersebut, konsekuensi masyarakat majemuk adalah konflik sosial dan hal inilah yang terjadi di Indonesia selama beberapa dekade belakangan ini.
Sebelum dan setelah berdirinya negara modern Indonesia, masyarakat majemuk Indonesia tidak pernah kosong dari peristiwa-peristiwa konflik, baik konflik kekuasaan, konflik antar kelompok kepentingan, dan kelompok identitas etnis keagamaan. Pada konteks kekinian, masyarakat Indonesia yang hidup dalam atmosfer demokrasi mulai tahun 1998, konflik kekerasan yang menyebabkan kematian ratusan ribu orang, hancurnya kekayaan fisik, dan masa depan anak-anak yang berlumuran darah.
Salah satu konflik yang sering terjadi di Tanah Air sejak 1998 adalah konflik Poso, Sulawesi Tengah. Korban tewas, korban luka, dan kerugian materil yang tidak sedikit menjadi akibat yang mengikuti peristiwa tersebut. Poso merupakan daerah yang heterogen. Namun dalam rentang waktu yang lama masyarakat Poso yang berbeda etnis dan agama hidup dalam keharmonisan. Akan tetapi mulai 1998 keharmonisan yang ada seolah lenyap dan berganti dengan merebaknya konflik horizontal yang disertai dengan tindak kekerasan.
B.     REKONSTRUKSI KONFLIK POSO (1998-2001)
Kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di satu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu tidak berarti bahwa secara otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab konflik. Agama dalam konflik tersebut lebih banyak berperan sebagai faktor pengiring yang meningkatkan eskalasi konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat posisi masing-masing kelompok yang berkeentingan. Sementara penyebab utamanya didjuga kuat adalah faktor-faktor di luar agama, yakni berbagai kesenjangan di bidang politik, ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan dan aparat keamanan, serta dampak suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin liar dan tak terkendali.[1]
Faktor Pemicu Konflik Poso
Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut menadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu. Karena itu persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan bukanlah masalah SARA, tetapi masalah kriminalitas yang dikemas dalam simbol-simbol SARA.[2]  
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yaang berbeda agama.[3] Pertikaian itu terus berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis.
Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial. Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik. 
a.      Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.  
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
b.      Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh.
Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.[4]    
Resolusi Konflik Poso
Untuk menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:[5]
1.      Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.      Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.      Meminta aparat negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4.      Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.      Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.      Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7.      Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8.      Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asala masing-masing.
9.      Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10.  Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antarkelompok di Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat dilihat melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah terjadi setidaknya 10 kali teror bom yang merenggut puluhan nyawa. Peristiwa tersebut kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.[6]
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya yang terjadi siatuasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif. Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen, dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
C.    KONTRUKSI SOSIAL ATAS KONFLIK POSO
Sebagai konstruksi sosial, konflik adalah pengetahuan yang membentuk realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama Poso misalnya meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktik implementasi konflik agama itu sendiri. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam masyarakat.[7]
Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam menghadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang konkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya, benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam menentukannya. Konflik Poso mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat menciptakan panggung konflik dalam masyarakat. Meskipun pemicu awal konflik bukan pada faktor politik, namun kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pemegang wewenang untuk menciptakan kondisi dan dukungan politik.  
Berkaitan dengan fenomena ideologi, maka bisa dikatakan bahwa ia tidaak semata-mata merupakan konstruksi sosial yang berada dalam ruang kosong politik. Konflik agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan ideologi, dlaam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca oleh masyarakat awam.
Konflik antara komunitas-komunitas agama di Poso adalah sebagai hasil pengetahuan konflik dalam setiap komunitas sosial, Islam dan Kristen, keetnisan dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial. Konflik tersebut melibatkan proses sosial yang dialektis antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi dan politik, sebagai konstruksi sosial.
D.    KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Fenomena perubahan sosial sulit untuk dipahami bahkan sebagian besar sosiolog memberikan makna intuitif dan sebagai suatu mitos belaka terhadap perubahan sosial itu sendiri. More (1967) mengartikan perubahan sosial sebagai suatu perubahan pentinng dalam struktur sosial – pola-pola perilaku dan sistem interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena kultural. Definisi lain yang bisa ditunjukkan, misalnya konsep perubahan sosial ketika melihat ada perubahan-perubahan pada komunitas lokala tertentu. Herbert Blumer (1955) melihat perubahan sosial sebagai usaha kolektif untuk menegakkan terciptanya tata kehidupan baru. Ralp Turner dan Lewis M. Killin (1962), perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak terus menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.[8]
Perubahan sosial yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala dimana tatanan perilaku lama sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman perilaku. Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah individualis yang berakibat pada benturan antar kepentingan baik secara individual maupun kelompok.
Konflik Poso adalah bentuk perubahan sosial yang tidak terencana dan bersifat dadakan. Selain itu, perubahan yang terlalu mendadak ini akan memunculkan tiga kelompok yang saling bertentangan. Mereka adalah kelompok konservatif yang berusaha sekuat tenaganya untuk mempertahankan nilai-nilai lama, kelompok radikal yang menghendaki perubahan secara frontal dan kelompok moderat.[9] Kelompok konservatif identik dengan masyarakat lokal dan mayoritas, kelompok radikal identik dengan masyarakat pendatang atau minoritas dan kelompok moderat identik dengan kelompok intelektual yang terpelajar.
Agama tidak cukup dipahami sebagai metode hubungan penyembahan manusia kepada Tuhan serta seperangkat tata aturan kemanusiaan atas dasar tuntuknan kitab suci. Akan tetapi, perbedaan keyakinan dan atribut-atribut justru berdampak pada segmentasi kelompok-kelompok sosial yang berdiri sendiri. Secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi juga bisa menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar penganut agama. Bahkan di dalam agama itu sendiri juga terdapat segmentasi sektarian yang memiliki perbedaan mulai dari perbedaan dari kulit luar ajaran agama ini hingga perbedaan secara substansial. Akibat dari konflik ini timbul image baru seolah-olah kelompok tersebut tidak mau berbagi tempat dengan kelompok lain yang berbeda.[10] Peristiwa Poso membuktikan bahwa solidaritas agama membuat konflik semakin panas. Meskipun awalnya kejadian ini merupakan tindak kriminal yang melibatkan individu, namun solidaritas yang mengatasnamakan agama membuat peristiwa tersebut berubah menjadi konflik berkepanjangan yang menghadirkan pertentangan kedua belah pihak atas nama agama.
Perspektif konflik melihat mekanisme perubahan sosial sebagai hasil dinamisasi proses sosial dalam masyarakat. Dalam proses sosial, paling tidak menurut Simmel, ada proses sosial disasosiatif dan asosiatif. Dissosiative process mengisyarakatkan adanya kompetisi dan konflik.[11] Proses-proses disosiatif ini sering disebut sebagai oppositional process, yang persis halnya dengan kerja sama walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat.[12] Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu
Berger dan Luckman memahami dunia kehidupan dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosiokuktural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).[13]
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga men in society. Ketika masyarakat mengungsi untuk menghindari konflik Poso, maka desa pengungsian menjadi fase eksternalisasi bagi masyarakat (baik bagi muslim maupun kristiani). Di desa pengungsian ini masyarakat membangun kembali interaksi sosial dan saling memahami satu sama lain sehingga terjalin komunikasi yang baik meskipun mereka memiliki keyakinan yang berbeda.
Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata tersebut dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen, dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung fenomena-fenomena sosial yang saling bersintesis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.
Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi baru.[14]  
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser seringkali disebut teori fungsionalisme konflik, karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The Function of Social Conflict, Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada fungsi konflik. Dari judul itu dapat dilihat bahwa uraian Coser terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah kepada pengintegrasian teori konflik dan fungsionalisme struktural. Tetapi ia juga harus menguraikan akibat-akibat dari keteraturan (order) terhadap konflik atau ketidakseimbangan. Misalnya, penekanan yang terlalu banyak terhadap peraturan bisa menimbulkan ketidakstabilan. Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok, padahal pendukung teori konflik lainnya memutuskan analisis mereka pada konflik sebagai penyebab perubahan sosial. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi konflik, yaitu:[15]
1.      Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi menjadi kekuatan yang mempersatukan. Hal ini dapat dilihat ketika awal mula konflik Poso terjadi, dimana awalnya hanya berupa konflik antar individu tetapi karena solidaritas yang kuat, akhirnya konflik itu berubah menjadi konflik antar kelompok.  
2.      Konflik dengan kelompok lainnya dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lainnya. Konflik Poso yang mengatasnamakan agama (Islam – Kristen) telah mengundang solidaritas seagama di luar Poso. Kehadiran kelompok wahabi misalnya, yang masuk ke Poso untuk membela Islam dan muslim yang sedang berseteru di Poso.
3.      Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolasi menjadi berperan secara aktif. Beberapa desa di Poso pun kerap menjadi lokasi konflik yang mengharuskan masyarakatnya berperan dalam konflik tersebut. Padahal konflik mulanya berada di tengah kota, namun konflik itu kemudian menyebar hingga ke pelosok.
4.      Konflik juga bisa berfungsi untuk komunikasi. Sebelum terjadi konflik anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan atau untuk menciptakan kedamaian. Dengan adanya konflik Poso, para tokoh cendikiawan Islam dan Kristen serta beberapa perwakilan lainnya duduk dalam sebuah diskusi untuk bermediasi. Hal ini menunjukkan bahwa konflik merupakan ajang untuk saling bertukar pendapat.
Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik kelihatan bisa didamaikan dengan menganalisis fungsi-fungsi dari konflik sebagaimana diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa dalam banyak hal, konflik juga menghasilkan ketidakberfungsian, atau disfungsi. Artinya, fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Coser tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan ketidakstabilan atau kehancuran yang disebabkan oleh konflik itu.
E.     PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK
Proses perubahan dapat dialami oleh semua orang, baik pada tataran individu (mikro), kelompok-kelompok dalam masyarakat (meso) maupun masyarakat sebagai sebuah kesatuan kelompok yang luas (makro). Adapun proses perubahan tersebut dapat terjadi secara alamiah maupun secara terencana. Akan halnya proses perubahan yang dialami oleh sebagian masyarakat di wilayah kabupaten Poso, dapat dikategorikan sebagai sebuah perubahan yang tidak direncanakan, karena terjadi akibat konflik sosial berkepanjangan mulai pada tahun 1998 dan puncaknya terjadi pada tahun 2001.[16] Dimana terjadi banyak kekerasan fisik dan mental, terjadi perampasan hak-hak sosial ekonomi warga, masyarakat hidup dalam ketakutan sehingga berdampak pada terhambat dan berhentinya aktifitas sosial ekonomi. Situasi bertambah buruk karena tidak adanya jaminan pemerintah bagi keselamatan jiwa, sehingga menyebabkan mereka terpaksa eksodus ke wilayah yang dianggap lebih aman. Terjadi berbagai aktifitas keseharian pengungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar dan juga perubahan posisi mereka dalam stratifikasi masyarakat baru di desa pengungsian.
Bulan Agustus 2009 lalu merupakan tahun ke sepuluh setelah pertama kali peristiwa kekerasan meledak di Poso, yang kemudian disusul dengan insiden-insiden kekerasan yang menyebar di beberapa wilayah di sekitarnya. Akibat dari konflik tersebut telah mengakibatkan lebih dari 25.000 orang menjadi pengungsi dan diperkirakan lebih dari 1000 orang tewas. Setelah satu dekade telah berlalu dapat dikatakan bahwa konflik kekerasan telah berakhir dan masyarakat Poso sudah mulai hidup nyaman. Paling tidak, hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya konflik kekerasan secara terbuka yang melibatkan massa dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satu bentuk kepedulian masyarakat atas kelangsungan hidup bermasyarakat adalah dibentuknya Kelompok Masyarakat Poso Anti-Teror beberapa waktu yang lalu dimana anggota kelompok ini terdiri dari para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh pemuda. Namun di level masyarakat, paling tidak terdapat dua perkembangan yang cukup mengkhawatirkan.[17]
Pertama, terjadinya perubahan sosial keagamaan di Poso. Sebelum konflik, Al-Khairat merupakan organisasi keagamaan yang mendominasi umat Islam di Poso. Namun pasca konflik, muncul kelompok keagamaan lain, yang ditengarai membawa pemikiran Wahabisme (selanjutnya untuk mempermudah disebut ‘kelompok Wahabi’)[18]. Kehadiran kelompok agama baru ini dapat memicu persoalan baru di Poso, yaitu munculnya kontestasi antar kelompok beragama (Islam). Beberapa pimpinan agama (Islam) yang sudah lama eksis di Poso merasa terancam dengan keberadaan ‘Kelompok Wahabi’ yang menyebar dengan cepat dengan sumber dana yang tidak diketahui asalnya. Kontestasi mengenai pemegang otoritas keagamaan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang.
Selain itu, kelompok wahabi ini sangat berpotensi membawa ajaran yang menganurkan kekerasan. Kelompok ini mencela praktik-praktik keagamaan lokal yang merupakan interpretasi ulama lokal atas ajaran Islam. Padahal banyak praktik-praktik keagamaan di Indonesia yang mengadopsi adat dan budaya lokal dalam proses penyebaran Islam di Nusantara. Meskipun tidak sama, kelompok Wahabi juga diasosiasikan memiliki hubungan dengan al-Qaeda, yang cenderung menggunakan kekerasan yang sangat ekstrim. Pada awalnya, mereka mengklaim bahwa kedatangannya ke Poso adalah dalam rangka melindungi umat Islam, namun pada akhirnya turut terlibat dalam penyerangan-penyerangan beberapa komunitas Kristen karena menganggap bahwa Poso adalah arena perang.
Kedua, terjadi konflik kepentingan antara elit politik di Kabupaten Poso. Konflik antara Bupati Poso dengan Ketua DPRD Poso telah menghiasi media lokal di Sulawesi Tengah. Banyak gagasan pembangunan di Poso mennjadi terabaikan karena konflik tersebut: gagasan yaang diajukan oleh eksekutif cenderung dimentahkan oleh pihak legislatif begitu pula sebaliknya. Dimungkinkan, konflik antar elit berkaitan dengan perebutan kekuasaan masih akan terjadi.
Selain itu juga, masih ada ketidaknyamanan di antara para pengungsi untuk kembali ke tempat asal. Beberapa penduduk masih memilih untuk tinggal di Tentena (suatu wilayah yang menadi tujuan para pengungsi dari berbagai wilayah di Poso yang beragama risten yang terletak di dataran tinggi), daripada kembali ke tempat asal mereka karena alasan ketidaknyamanan dan ketakutan ika kembali ke tempat semula. Selanjutnya, meskipun tidak semua, sebagian masyarakat korban masih ada yang menyimpan rasa dendam terhadap para pelaku kekarasan. Rekonsiliasi masih sulit untuk dilakukan karena masih ada korban yang menyimpan rasa marah. Sebagian dari mereka masih ingin menuntut balas atas kekerasan yang menimpa mereka dan keluarnya. Sesungguhnya, sesama korban dari kedua komunitas tersebut sudah dapat dan saling berinteraksi, tetapi para korban tersebut masih belum dapat berinteraksi dengan para pelaku kekerasan.
Konflik Poso pun mengharuskan sebagian masyarakat untuk mengungsi ke wilayah yang jauh dan aman dari konflik. Namun hidup ditempat pengungsian berbeda dengan kondisi sebelumnya, dengan keadaan serba kekurangan pengungsi harus memulai aktifitas hidupnya dari awal sehingga pola hidup merekapun ikut berubah dalam berupaya memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini menjadi semakin tidak mudah karena kondisi sosial ekonomi pengungsi berada pada level mobilitas vertikal menurun (social-sinking) baik dalam tataran ekonomi maupun tataran sosial. Selanjutnya terdapat perbedaan nilai, norma, budaya, cara pandang maupun perbedaan kepentingan antara pengungsi dan penduduk desa tetap, sebagai realita yang membutuhkan penyesuaian dan interaksi, namun beberapa kesamaan seperti kesamaan religi/agama yang dianut pengungsi dan penduduk lokal dapat memperkecil perbedaan (cross cutting), sehingga saat ini yang terjadi bahwa pengungsi dapat kembali hidup layak dan berada dalam semua strata kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa pengungsian. Dalam proses penataan kehidupan sosial ekonomi pengungsi untuk menjadi layak dan normal, ada peran stake holders baik itu pemerintah, tokoh agama maupun tokoh masyarakat walaupun belum maksimal bahkan cenderung tidak lagi sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan fakta tersebut, terkait dengan pembangunan perdamaian di Poso, dapat disimpulkan bahwa pertama, konflik Poso belum benar-benar selesai karena faktor-faktor penyebabnya belum diselesaikan. Kedua, munculnya kelompok agama garis keras di Poso merupakan ancaman terhaap pembangunan yang perlu diwaspadai. Ketiga, pemerintah daerah perlu lebih peka dan membuat program pembangunan perdamaian yang lebih substansial dan mengurangi program-program yang bersifat seremonial. Selain itu, trauma yang dialami masyarakat juga harus dapat dipertimbangkan. Proses adaptasi masyarakat ke wilayah pengungsian juga bisa menjadi pemicu ketegangan yang berwujud konflik.
F.      KESIMPULAN
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama sesungguhnya bukan karena agama yang gagal dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan manusia, tetapi para pemeluk agamalah yang gagal dalam memahami dan memaknai agama yang dianutnya. Selanjutnya untuk melihat lebih objektif terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama, maka agama harus dilihat dari dua dimensi[19]. Pertama, agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara individual maupun kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Agama sebagai sebuah keyakinan, akidah kemudian direduksi sebagai sebuah fenomena sosial. Kalau itu terjadi maka akan timbul masalah, terutama masalah interpretasi dari kalangan yang berasal dari luar lingkungan sebuah agama. Sebaliknya juga agama sebagai sebuah fenomena sosial kemudian diinterpretasi sebagai doktrin agama itu sendiri sehingga timbul tudingan agama sebagai penyebab kerusuhan.
Konflik Poso adalah serangkaian konflik yang berkelanjutan dan sangat sulit untuk menemui titiktemu yang tepat, karena konflik Poso merupakan konflik yang mengandung SARA. Dimana dengan perbedaan yang begitu banyak sangat mudah terjadinya suatu konflik-konflik lain.
Konflik yang pecah pada akhir tahun 1998 ini sangat membawa perubahan besar bagi semua kalangan yang merasakan dan terlibat langsung dalam konflik tersebut  terutama gangguan psikologi, karena  gangguan psikologi tidak akan mudah untuk hilang dalam waktu  yang singkat. Selain itu dampak yang menyeluruh di kalangan masyarakat poso adalah ekonomi yang memburuk, kesenjangan sosial, dan budaya sosial. Karena roda pemerintahan dan perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya semua dampak itu terus memburuk .
Berbagai solusi telah diupayakan oleh pemerintah bahkan deklarasi yang telah dilaksanakan pada akhir tahun 2001 yaitu Deklarasi Malino masih saja tidak cukup bagi mereka dan mengakibatkan kembali terjadi perseteruan yang masih sama permasalahannya. Ini membuktikan bahwa konflik ini sulit diselesaikan karena belum adanaya saling kepercayaan terhadap sesama yang berbeda kayakinan.


[1] Departemen Agama (Mursyid Ali), Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia Seri II, (Jakarta: Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), 82.
[2] Perkembangan Konflik Sosial Poso dan Program Pemerintahan Kabupaten Poso, Laporan Pemda, 7 Agustus 2001.
[3] Untuk lebih lanjut bisa dilihat dalam Sinansari Ecip, Darwin Waru, Kerusuhan Poso Yang Sebenarnya, PT. Global Mahardika Netama, 2001, 23-40.
[4] Departemen Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), 159
[7] J.Dwi dan Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 428. Untuk lebih lanjut bisa dibaca pada karya Berger dan Luckmans, 1991, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah Sosiologi Pengetahuan, hlm. 150-151. LP3ES, Jakarta. 
[8] J.Dwi dan Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 362.
[9] Elly dan Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 362.
[10] Elly dan Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 351.
[11] J.Dwi dan Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 383. Untuk lebih lanjut bagaimana Marx, Lenski, Coser, dan Dahrendorf melihat proses social tersebut dari perspektif konflik, dapat dilihat kembali di beberapa literature sosiologi, misalnya Margaret Poloma (edisi Indonesia), Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali: 1979(, 106-147; Lewis Coser dan Berbard Rosenber (eds), Sosiologi 5th Edition Theory A Book Readings, (London: MacMillan Publishing, Co. 1982), 162-181.
[12] Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 81.
[13] J.Dwi dan Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 383
[14] J.Dwi dan Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 427
[15] Elly dan Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 372.
[17] Mashudi Noorsalim, Sepuluh Tahun Pasca Konflik Komunal di Poso, http://interseksi.org/publications/essays/articles/sepuluh _tahun_pasca_konflik.html. (diakses pada tanggal 3 Januari 2013).
[18] sebuah sekte dinisbahkan kepada Muhammad bin Abd al-Wahhab, seorang sarjana dari Arab Saudi abad ke-18, yang menganjurkan untuk membersihkan Islam dari apa yang dianggap inovasi dalam Islam.
[19] Menurut Gaffar (dalam Departemen Agama (Afif Rifai), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), 23)