Makalah Pendidikan – Makalah pendidikan agama dan sosial. Berikut ini saya
mempunyai “Makalah Konflik Agama Dan Perubahan Sosial”. Semoga makalah
yang saya unggah ini bisa membantu kalian dalam mencari tugas sekolah atau
kampus.
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan dalam masyarakatnya. Masyarakat
majemuk disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial, seperti identitas
keagamaan, keetnisan, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang
mendefinisikan diri secara unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting
yang muncul dalam pemikiran sosiologis terhadap adanya masyarakat majemuk ini
adalah konsekuensi-konsekuensi terhadap beberapa hal penting dalam kehidupan
sosial seperti stabilitas dan harmoni sosial dan persaingan identitas dalam
arena-arena sosial. Secara umum dari semua konsekuensi tersebut, konsekuensi
masyarakat majemuk adalah konflik sosial dan hal inilah yang terjadi di
Indonesia selama beberapa dekade belakangan ini.
Sebelum dan setelah berdirinya negara modern Indonesia,
masyarakat majemuk Indonesia tidak pernah kosong dari peristiwa-peristiwa
konflik, baik konflik kekuasaan, konflik antar kelompok kepentingan, dan
kelompok identitas etnis keagamaan. Pada konteks kekinian, masyarakat Indonesia
yang hidup dalam atmosfer demokrasi mulai tahun 1998, konflik kekerasan yang
menyebabkan kematian ratusan ribu orang, hancurnya kekayaan fisik, dan masa
depan anak-anak yang berlumuran darah.
Salah satu konflik yang sering terjadi di Tanah Air sejak
1998 adalah konflik Poso, Sulawesi Tengah. Korban tewas, korban luka, dan
kerugian materil yang tidak sedikit menjadi akibat yang mengikuti peristiwa
tersebut. Poso merupakan daerah yang heterogen. Namun dalam rentang waktu yang
lama masyarakat Poso yang berbeda etnis dan agama hidup dalam keharmonisan.
Akan tetapi mulai 1998 keharmonisan yang ada seolah lenyap dan berganti dengan
merebaknya konflik horizontal yang disertai dengan tindak kekerasan.
B.
REKONSTRUKSI KONFLIK POSO (1998-2001)
Kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara
umum merupakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat
dari sisi dinamika kelompok (in group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas
keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata
terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di
satu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu
tidak berarti bahwa secara otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab
konflik. Agama dalam konflik tersebut lebih banyak berperan sebagai faktor
pengiring yang meningkatkan eskalasi konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan
sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat
posisi masing-masing kelompok yang berkeentingan. Sementara penyebab utamanya
didjuga kuat adalah faktor-faktor di luar agama, yakni berbagai kesenjangan di
bidang politik, ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan dan aparat
keamanan, serta dampak suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin
liar dan tak terkendali.[1]
Faktor Pemicu Konflik Poso
Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan
antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas biasa
(perkelahian) antara beberapa oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat
berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga mengundang konflik massa
yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya
masalah kriminalitas tersebut menadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya,
tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu
SARA oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan latar belakang
kepentingan tertentu. Karena itu persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan
bukanlah masalah SARA, tetapi masalah kriminalitas yang dikemas dalam
simbol-simbol SARA.[2]
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai
tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998,
yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni
2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan
Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember
1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yaang
berbeda agama.[3] Pertikaian itu
terus berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang
anarkis.
Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda
agama (masing-masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang
berlanjut ke pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak
terlibat.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat
tergantung dari sumber potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya konflik, selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi,
ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial. Meskipun konflik Poso mengatasnamakan
‘agama’ sebagai penyebab konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah
benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan
pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin
terjadinya konflik.
a. Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah
karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan
dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar
permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan
mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat
politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara
politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya
muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan
kebijakan politisi partai.
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni
Bupati Arief Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu.
Korupsi Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp
5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus
korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan
aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang
berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu
kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan
Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang
memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus
terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya
meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan
terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di
tengah-tengah komunitas Kristen.
b. Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa
pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa
orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan
pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan
perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa
dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan
kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka
pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik
yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh.
Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya
antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama
terutama antara Muslim dan Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan
masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional
yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik
nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat
mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi,
segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang
kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta
mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran
pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul
pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras
terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara
massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah
yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang
berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas
tersebut.[4]
Resolusi Konflik Poso
Untuk menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan
Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I).
Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota delegasi
kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi kelompok Islam (putih).
Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:[5]
1.
Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.
Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung
pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.
Meminta aparat negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga
keamanan.
4.
Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan
keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.
Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap
semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama
lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.
Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu,
setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai
dan menghormati adat istiadat setempat.
7.
Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke
pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan
berlangsung.
8.
Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asala
masing-masing.
9.
Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan
prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10.
Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan
prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik
dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik
terbuka antarkelompok di Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam
perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap terjadi. Berbagai kasus
bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat dilihat melalui
penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan
tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002
hingga 2005 telah terjadi setidaknya 10 kali teror bom yang merenggut puluhan
nyawa. Peristiwa tersebut kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan
meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.[6]
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah
selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena
itu apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab
konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya yang terjadi siatuasi keamanan di Poso
bersifat fluktuatif. Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan
mediasi kedua pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang
beragama Kristen, dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang
netral. Selain itu perlu pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang
sangat heterogen. Terlebih sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun
pendatang hidup berdampingan dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan
lokal.
C. KONTRUKSI SOSIAL
ATAS KONFLIK POSO
Sebagai konstruksi sosial, konflik adalah pengetahuan yang
membentuk realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif
pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal
dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama Poso misalnya
meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen,
rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktik implementasi konflik agama
itu sendiri. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial
yang bersifat politis dalam masyarakat.[7]
Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas
subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu
terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah,
konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam
menghadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif
dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.
Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat
menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan.
Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena
ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai
kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang
konkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam
bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang
dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting
dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat
mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya
menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya,
benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam
menentukannya. Konflik Poso mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat menciptakan
panggung konflik dalam masyarakat. Meskipun pemicu awal konflik bukan pada
faktor politik, namun kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pemegang wewenang
untuk menciptakan kondisi dan dukungan politik.
Berkaitan dengan fenomena ideologi, maka bisa dikatakan bahwa
ia tidaak semata-mata merupakan konstruksi sosial yang berada dalam ruang
kosong politik. Konflik agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan
ideologi, dlaam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan
tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca
oleh masyarakat awam.
Konflik antara komunitas-komunitas agama di Poso adalah
sebagai hasil pengetahuan konflik dalam setiap komunitas sosial, Islam dan
Kristen, keetnisan dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial.
Konflik tersebut melibatkan proses sosial yang dialektis antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi
dan politik, sebagai konstruksi sosial.
D.
KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Fenomena perubahan sosial sulit untuk dipahami bahkan
sebagian besar sosiolog memberikan makna intuitif dan sebagai suatu mitos
belaka terhadap perubahan sosial itu sendiri. More (1967) mengartikan
perubahan sosial sebagai suatu perubahan pentinng dalam struktur sosial –
pola-pola perilaku dan sistem interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan
norma, nilai, dan fenomena kultural. Definisi lain yang bisa ditunjukkan, misalnya
konsep perubahan sosial ketika melihat ada perubahan-perubahan pada komunitas
lokala tertentu. Herbert Blumer (1955) melihat perubahan sosial sebagai usaha
kolektif untuk menegakkan terciptanya tata kehidupan baru. Ralp Turner dan
Lewis M. Killin (1962), perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak
terus menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.[8]
Perubahan sosial yang terjadi secara mendadak biasanya
menimbulkan kerawanan konflik. Konflik dipicu oleh keadaan perubahan yang
terlalu mendadak biasanya diwarnai oleh gejala dimana tatanan perilaku lama
sudah tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang
baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan pedoman
perilaku. Keadaan demikian ini, memicu banyak orang bertingkah individualis
yang berakibat pada benturan antar kepentingan baik secara individual maupun
kelompok.
Konflik Poso adalah bentuk perubahan sosial yang tidak
terencana dan bersifat dadakan. Selain itu, perubahan yang terlalu mendadak ini
akan memunculkan tiga kelompok yang saling bertentangan. Mereka adalah kelompok
konservatif yang berusaha sekuat tenaganya untuk mempertahankan nilai-nilai
lama, kelompok radikal yang menghendaki perubahan secara frontal dan kelompok
moderat.[9]
Kelompok konservatif identik dengan masyarakat lokal dan mayoritas, kelompok
radikal identik dengan masyarakat pendatang atau minoritas dan kelompok moderat
identik dengan kelompok intelektual yang terpelajar.
Agama tidak cukup dipahami sebagai metode hubungan
penyembahan manusia kepada Tuhan serta seperangkat tata aturan kemanusiaan atas
dasar tuntuknan kitab suci. Akan tetapi, perbedaan keyakinan dan
atribut-atribut justru berdampak pada segmentasi kelompok-kelompok sosial yang
berdiri sendiri. Secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat
perekat solidaritas sosial, tetapi juga bisa menjadi pemicu disintegrasi
sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran
agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu
konflik antar penganut agama. Bahkan di dalam agama itu sendiri juga terdapat
segmentasi sektarian yang memiliki perbedaan mulai dari perbedaan dari kulit
luar ajaran agama ini hingga perbedaan secara substansial. Akibat dari konflik
ini timbul image baru seolah-olah kelompok tersebut tidak mau berbagi
tempat dengan kelompok lain yang berbeda.[10]
Peristiwa Poso membuktikan bahwa solidaritas agama membuat konflik semakin
panas. Meskipun awalnya kejadian ini merupakan tindak kriminal yang melibatkan
individu, namun solidaritas yang mengatasnamakan agama membuat peristiwa
tersebut berubah menjadi konflik berkepanjangan yang menghadirkan pertentangan
kedua belah pihak atas nama agama.
Perspektif konflik melihat mekanisme perubahan sosial sebagai
hasil dinamisasi proses sosial dalam masyarakat. Dalam proses sosial, paling
tidak menurut Simmel, ada proses sosial disasosiatif dan asosiatif. Dissosiative
process mengisyarakatkan adanya kompetisi dan konflik.[11]
Proses-proses disosiatif ini sering disebut sebagai oppositional process, yang
persis halnya dengan kerja sama walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh
kebudayaan dan sistem sosial masyarakat.[12]
Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan tertentu
Berger dan Luckman memahami dunia kehidupan dalam proses
dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosiokuktural.
Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi
(penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi
(interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami
institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya).[13]
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan
masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang
berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini
membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga men
in society. Ketika masyarakat mengungsi untuk menghindari konflik Poso,
maka desa pengungsian menjadi fase eksternalisasi bagi masyarakat (baik bagi
muslim maupun kristiani). Di desa pengungsian ini masyarakat membangun kembali
interaksi sosial dan saling memahami satu sama lain sehingga terjalin
komunikasi yang baik meskipun mereka memiliki keyakinan yang berbeda.
Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata tersebut
dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata
tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses
legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan
hal yang objektif, independen, dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu
secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung fenomena-fenomena
sosial yang saling bersintesis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan
sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan
interaksi subjektif.
Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung
bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila
eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan
dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan
mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan
menjadi unit dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur
objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial,
karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru
internalisasi yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi baru.[14]
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser seringkali
disebut teori fungsionalisme konflik, karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem
sosial atau masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The Function of
Social Conflict, Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada fungsi konflik.
Dari judul itu dapat dilihat bahwa uraian Coser terhadap konflik bersifat
fungsional dan terarah kepada pengintegrasian teori konflik dan fungsionalisme
struktural. Tetapi ia juga harus menguraikan akibat-akibat dari keteraturan (order)
terhadap konflik atau ketidakseimbangan. Misalnya, penekanan yang terlalu
banyak terhadap peraturan bisa menimbulkan ketidakstabilan. Salah satu hal yang
membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan
pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok, padahal pendukung
teori konflik lainnya memutuskan analisis mereka pada konflik sebagai penyebab
perubahan sosial. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi konflik, yaitu:[15]
1.
Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak
longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat
lain bisa menjadi menjadi kekuatan yang mempersatukan. Hal ini dapat dilihat
ketika awal mula konflik Poso terjadi, dimana awalnya hanya berupa konflik
antar individu tetapi karena solidaritas yang kuat, akhirnya konflik itu
berubah menjadi konflik antar kelompok.
2.
Konflik dengan kelompok lainnya dapat menghasilkan
solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya
kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lainnya. Konflik Poso yang
mengatasnamakan agama (Islam – Kristen) telah mengundang solidaritas seagama di
luar Poso. Kehadiran kelompok wahabi misalnya, yang masuk ke Poso untuk membela
Islam dan muslim yang sedang berseteru di Poso.
3.
Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang
terisolasi menjadi berperan secara aktif. Beberapa desa di Poso pun kerap
menjadi lokasi konflik yang mengharuskan masyarakatnya berperan dalam konflik
tersebut. Padahal konflik mulanya berada di tengah kota, namun konflik itu
kemudian menyebar hingga ke pelosok.
4.
Konflik juga bisa berfungsi untuk komunikasi. Sebelum terjadi
konflik anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang
dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran bisa mendapatkan gambaran yang lebih
jelas akan apa yang harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan atau untuk
menciptakan kedamaian. Dengan adanya konflik Poso, para tokoh cendikiawan Islam
dan Kristen serta beberapa perwakilan lainnya duduk dalam sebuah diskusi untuk
bermediasi. Hal ini menunjukkan bahwa konflik merupakan ajang untuk saling
bertukar pendapat.
Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik
kelihatan bisa didamaikan dengan menganalisis fungsi-fungsi dari konflik
sebagaimana diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa dalam
banyak hal, konflik juga menghasilkan ketidakberfungsian, atau disfungsi.
Artinya, fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Coser tersebut tidak seberapa
dibandingkan dengan ketidakstabilan atau kehancuran yang disebabkan oleh
konflik itu.
E.
PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT POSO PASCA KONFLIK
Proses perubahan dapat dialami oleh semua orang, baik pada tataran individu
(mikro), kelompok-kelompok dalam masyarakat (meso) maupun masyarakat sebagai
sebuah kesatuan kelompok yang luas (makro). Adapun proses perubahan tersebut
dapat terjadi secara alamiah maupun secara terencana. Akan halnya proses
perubahan yang dialami oleh sebagian masyarakat di wilayah kabupaten Poso,
dapat dikategorikan sebagai sebuah perubahan yang tidak direncanakan, karena
terjadi akibat konflik sosial berkepanjangan mulai pada tahun 1998 dan
puncaknya terjadi pada tahun 2001.[16] Dimana terjadi banyak kekerasan fisik dan
mental, terjadi perampasan hak-hak sosial ekonomi warga, masyarakat hidup dalam
ketakutan sehingga berdampak pada terhambat dan berhentinya aktifitas sosial
ekonomi. Situasi bertambah
buruk karena tidak adanya jaminan pemerintah bagi keselamatan jiwa, sehingga
menyebabkan mereka terpaksa eksodus ke wilayah yang dianggap lebih aman. Terjadi berbagai aktifitas
keseharian pengungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar dan juga
perubahan posisi mereka dalam stratifikasi masyarakat
baru di desa pengungsian.
Bulan Agustus 2009 lalu merupakan tahun ke sepuluh setelah
pertama kali peristiwa kekerasan meledak di Poso, yang kemudian disusul dengan
insiden-insiden kekerasan yang menyebar di beberapa wilayah di sekitarnya.
Akibat dari konflik tersebut telah mengakibatkan lebih dari 25.000 orang
menjadi pengungsi dan diperkirakan lebih dari 1000 orang tewas. Setelah satu
dekade telah berlalu dapat dikatakan bahwa konflik kekerasan telah berakhir dan
masyarakat Poso sudah mulai hidup nyaman. Paling tidak, hal tersebut dapat
dilihat dari tidak adanya konflik kekerasan secara terbuka yang melibatkan
massa dalam beberapa tahun terakhir ini. Salah satu bentuk kepedulian
masyarakat atas kelangsungan hidup bermasyarakat adalah dibentuknya Kelompok
Masyarakat Poso Anti-Teror beberapa waktu yang lalu dimana anggota kelompok ini
terdiri dari para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan tokoh pemuda. Namun di
level masyarakat, paling tidak terdapat dua perkembangan yang cukup
mengkhawatirkan.[17]
Pertama, terjadinya perubahan sosial keagamaan di Poso.
Sebelum konflik, Al-Khairat merupakan organisasi keagamaan yang mendominasi
umat Islam di Poso. Namun pasca konflik, muncul kelompok keagamaan lain, yang
ditengarai membawa pemikiran Wahabisme (selanjutnya untuk mempermudah disebut
‘kelompok Wahabi’)[18].
Kehadiran kelompok agama baru ini dapat memicu persoalan baru di Poso, yaitu
munculnya kontestasi antar kelompok beragama (Islam). Beberapa pimpinan agama
(Islam) yang sudah lama eksis di Poso merasa terancam dengan keberadaan
‘Kelompok Wahabi’ yang menyebar dengan cepat dengan sumber dana yang tidak
diketahui asalnya. Kontestasi mengenai pemegang otoritas keagamaan akan semakin
meningkat di masa-masa yang akan datang.
Selain itu, kelompok wahabi ini sangat berpotensi membawa
ajaran yang menganurkan kekerasan. Kelompok ini mencela praktik-praktik
keagamaan lokal yang merupakan interpretasi ulama lokal atas ajaran Islam.
Padahal banyak praktik-praktik keagamaan di Indonesia yang mengadopsi adat dan
budaya lokal dalam proses penyebaran Islam di Nusantara. Meskipun tidak sama,
kelompok Wahabi juga diasosiasikan memiliki hubungan dengan al-Qaeda, yang
cenderung menggunakan kekerasan yang sangat ekstrim. Pada awalnya, mereka
mengklaim bahwa kedatangannya ke Poso adalah dalam rangka melindungi umat
Islam, namun pada akhirnya turut terlibat dalam penyerangan-penyerangan
beberapa komunitas Kristen karena menganggap bahwa Poso adalah arena perang.
Kedua, terjadi konflik kepentingan antara elit politik di
Kabupaten Poso. Konflik antara Bupati Poso dengan Ketua DPRD Poso telah
menghiasi media lokal di Sulawesi Tengah. Banyak gagasan pembangunan di Poso
mennjadi terabaikan karena konflik tersebut: gagasan yaang diajukan oleh
eksekutif cenderung dimentahkan oleh pihak legislatif begitu pula sebaliknya. Dimungkinkan,
konflik antar elit berkaitan dengan perebutan kekuasaan masih akan terjadi.
Selain itu juga, masih ada ketidaknyamanan di antara para
pengungsi untuk kembali ke tempat asal. Beberapa penduduk masih memilih untuk
tinggal di Tentena (suatu wilayah yang menadi tujuan para pengungsi dari
berbagai wilayah di Poso yang beragama risten yang terletak di dataran tinggi),
daripada kembali ke tempat asal mereka karena alasan ketidaknyamanan dan
ketakutan ika kembali ke tempat semula. Selanjutnya, meskipun tidak semua,
sebagian masyarakat korban masih ada yang menyimpan rasa dendam terhadap para
pelaku kekarasan. Rekonsiliasi masih sulit untuk dilakukan karena masih ada
korban yang menyimpan rasa marah. Sebagian dari mereka masih ingin menuntut
balas atas kekerasan yang menimpa mereka dan keluarnya. Sesungguhnya, sesama
korban dari kedua komunitas tersebut sudah dapat dan saling berinteraksi,
tetapi para korban tersebut masih belum dapat berinteraksi dengan para pelaku
kekerasan.
Konflik Poso pun mengharuskan sebagian masyarakat untuk
mengungsi ke wilayah yang jauh dan aman dari konflik. Namun hidup ditempat pengungsian berbeda dengan
kondisi sebelumnya, dengan keadaan serba kekurangan pengungsi harus memulai
aktifitas hidupnya dari awal sehingga pola hidup merekapun ikut berubah dalam
berupaya memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini menjadi semakin tidak mudah karena
kondisi sosial ekonomi pengungsi berada pada level mobilitas vertikal menurun (social-sinking)
baik dalam tataran ekonomi maupun tataran sosial. Selanjutnya terdapat
perbedaan nilai, norma, budaya, cara pandang maupun perbedaan kepentingan antara pengungsi dan penduduk desa tetap, sebagai realita yang membutuhkan penyesuaian dan interaksi, namun
beberapa kesamaan seperti kesamaan religi/agama yang dianut pengungsi dan
penduduk lokal dapat memperkecil perbedaan (cross cutting), sehingga
saat ini yang terjadi bahwa pengungsi dapat kembali hidup layak dan berada
dalam semua strata kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa pengungsian. Dalam
proses penataan kehidupan sosial ekonomi pengungsi untuk menjadi layak dan
normal, ada peran stake holders baik itu pemerintah, tokoh agama maupun
tokoh masyarakat walaupun belum maksimal bahkan cenderung tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan.
Berdasarkan fakta tersebut, terkait dengan pembangunan
perdamaian di Poso, dapat disimpulkan bahwa pertama, konflik Poso belum
benar-benar selesai karena faktor-faktor penyebabnya belum diselesaikan. Kedua,
munculnya kelompok agama garis keras di Poso merupakan ancaman terhaap
pembangunan yang perlu diwaspadai. Ketiga, pemerintah daerah perlu lebih peka
dan membuat program pembangunan perdamaian yang lebih substansial dan
mengurangi program-program yang bersifat seremonial. Selain itu, trauma yang
dialami masyarakat juga harus dapat dipertimbangkan. Proses adaptasi masyarakat
ke wilayah pengungsian juga bisa menjadi pemicu ketegangan yang berwujud konflik.
F.
KESIMPULAN
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama sesungguhnya
bukan karena agama yang gagal dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan
manusia, tetapi para pemeluk agamalah yang gagal dalam memahami dan memaknai
agama yang dianutnya. Selanjutnya untuk melihat lebih objektif terhadap
berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama, maka agama harus dilihat dari
dua dimensi[19]. Pertama,
agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara
individual maupun kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Agama
sebagai sebuah keyakinan, akidah kemudian direduksi sebagai sebuah fenomena
sosial. Kalau itu terjadi maka akan timbul masalah, terutama masalah
interpretasi dari kalangan yang berasal dari luar lingkungan sebuah agama. Sebaliknya
juga agama sebagai sebuah fenomena sosial kemudian diinterpretasi sebagai
doktrin agama itu sendiri sehingga timbul tudingan agama sebagai penyebab
kerusuhan.
Konflik Poso adalah serangkaian konflik yang berkelanjutan
dan sangat sulit untuk menemui titiktemu yang tepat, karena konflik Poso
merupakan konflik yang mengandung SARA. Dimana dengan perbedaan yang begitu
banyak sangat mudah terjadinya suatu konflik-konflik lain.
Konflik yang pecah pada akhir tahun 1998 ini
sangat membawa perubahan besar bagi semua kalangan yang merasakan dan terlibat
langsung dalam konflik tersebut terutama gangguan psikologi, karena
gangguan psikologi tidak akan mudah untuk hilang dalam waktu yang
singkat. Selain itu dampak yang menyeluruh di kalangan masyarakat poso adalah
ekonomi yang memburuk, kesenjangan sosial, dan budaya sosial. Karena roda
pemerintahan dan perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya semua dampak
itu terus memburuk .
Berbagai solusi telah diupayakan oleh
pemerintah bahkan deklarasi yang telah dilaksanakan pada akhir tahun 2001 yaitu
Deklarasi Malino masih saja tidak cukup bagi mereka dan mengakibatkan kembali
terjadi perseteruan yang masih sama permasalahannya. Ini membuktikan bahwa
konflik ini sulit diselesaikan karena belum adanaya saling kepercayaan terhadap
sesama yang berbeda kayakinan.
[1] Departemen
Agama (Mursyid Ali), Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia Seri II, (Jakarta:
Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003),
82.
[2] Perkembangan
Konflik Sosial Poso dan Program Pemerintahan Kabupaten Poso, Laporan Pemda, 7
Agustus 2001.
[3] Untuk lebih
lanjut bisa dilihat dalam Sinansari Ecip, Darwin Waru, Kerusuhan Poso Yang
Sebenarnya, PT. Global Mahardika Netama, 2001, 23-40.
[4] Departemen
Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003),
159
[5] http://akupunmenulis.wwordpress.com/2009/07/22/pendekatan-budaya-sebagai-sarana-penyelesaian-konflik--di-poso/ (diakses pada
tanggal 3 Januari 2013).
[6] http://akupunmenulis.wwordpress.com/2009/07/22/pendekatan-budaya-sebagai-sarana-penyelesaian-konflik--di-poso/ (diakses pada
tanggal 3 Januari 2013).
[7] J.Dwi dan
Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011),
428. Untuk lebih lanjut bisa dibaca pada karya Berger dan Luckmans, 1991, Tafsir
Sosial Atas Kenyataan; Risalah Sosiologi Pengetahuan, hlm. 150-151. LP3ES,
Jakarta.
[8] J.Dwi dan
Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011),
362.
[9] Elly dan
Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 362.
[10] Elly dan
Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 351.
[11] J.Dwi dan
Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011),
383. Untuk lebih lanjut bagaimana Marx, Lenski, Coser, dan Dahrendorf melihat
proses social tersebut dari perspektif konflik, dapat dilihat kembali di
beberapa literature sosiologi, misalnya Margaret Poloma (edisi Indonesia), Sosiologi
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali: 1979(, 106-147; Lewis Coser dan Berbard
Rosenber (eds), Sosiologi 5th Edition Theory A Book Readings, (London:
MacMillan Publishing, Co. 1982), 162-181.
[12] Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 81.
[13] J.Dwi dan
Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011),
383
[14] J.Dwi dan
Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011),
427
[15] Elly dan
Usman, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2011), 372.
[16] http://setabasri01.blogspot.com/2012/06/konflik-konflik-horizontal-di-indonesia.html (diakses pada
tanggal 3 Januari 2013.
[17] Mashudi
Noorsalim, Sepuluh Tahun Pasca Konflik Komunal di Poso, http://interseksi.org/publications/essays/articles/sepuluh
_tahun_pasca_konflik.html. (diakses pada tanggal 3 Januari 2013).
[18] sebuah sekte dinisbahkan kepada Muhammad bin Abd
al-Wahhab, seorang sarjana dari Arab Saudi abad ke-18, yang menganjurkan untuk
membersihkan Islam dari apa yang dianggap inovasi dalam Islam.
[19] Menurut Gaffar
(dalam Departemen Agama (Afif Rifai), Konflik Etno Religius Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang
Kehidupan Beragama, 2003), 23)