Makalah
Pendidikan. Berikut ini saya mempunyai makalah pendidikan yang berjudul “Moderasi
Muslim Indonesia di Era Globalisasi: Antara Benturan Peradaban Hutington hingga
Sekulerisasi Nurcholis Madjid”.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kalian semua dalam pemembuatan
makalah.
Pendahuluan
Pasca serangan
9/11 terhadap World Trade Centre dan Pentagon tahun 2001, serta
aksi-aksi terorisme selanjutnya di Eropa, telah memporak-porandakan sendi
kehidupan banyak orang. Sebagian orang menyebutnya sebagai ancaman Islam yang
kini ada di dalam maupun di luar negeri. Dampak serangan tersebut telah
memunculkan beberapa pertanyaan terkait agama Islam dan Muslim.
Di Amerika dan sejumlah negara Eropa pada abad
ke-21, pertumbuhan terorisme global, kenaikan ekponensial anti-Amerika dan
anti-Barat secara umum diiringi politisi sayap kanan, pengamat politik, tokoh
media dan para pemuka agama, yang mengaitkan Islam arus utama dengan terorisme.
Mereka menambah amunisi bagi diskriminasi terhadap Islam dan kaum Muslim.
Akibatnya Islam semakin terpojok dengan klaim penganut ajaran ektrimisme.[1]
Peristiwa 9/11 juga menimbulkan serangan teroris
selanjutnya di negera-negara Muslim dan
di Madrid serta London. Citra negatif tersebut diperburuk dengan menguatnya
Islomofobia yang hampir tumbuh secara eksponensial. Islam dan Muslim dianggap
bersalah sebelum terbukti bersalah. Agama Islam lebih dianggap sebagai
penyebab, ketimbang konteks bagi radikalisme, ektrimisme dan terorisme.[2]
Menurut jejak pendapat dari CNN, USA Today dan
Gallup di Amerika, warga Amerika menepis pandangan negatif dunia Muslim terhadap Barat. Mayoritas mereka
menyatakan bahwa Amerika telah berbuat adil terhadap umat Islam, pandangan
tersebut lebih dikarenakan pemberitaan atau informasi yang di sampaikan oleh
pemerintah dan media Islam sendiri tentang Amerika yang tidak akurat dan bukan
juga karena tindakan dan kebijakan Amerika terhadap dunia Islam.[3]
Salah satu isu dalam hubungan antara masyarakat
Islam dan Barat adalah dampak yang dirasakan dari sistem nilai Barat pada
sistem nilai lokal dalam masyarakat yang didominasi Islam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di semua negara yang disurvei, responden melihat nilai-nilai
Barat memiliki efek negatif pada nilai-nilai lokal. Dalam empat negara, Jordan,
Pakistan, Arab Saudi, dan Lebanon, respon yang paling umum tunggal untuk
pertanyaan tentang "dampak budaya Barat" adalah pilihan pada skala
yang menunjukkan bahwa efek dari nilai Barat telah "sangat negatif"
pada sistem nilai masyarakat mereka.[4]
Keyakinan banyak orang Barat bahwa Muslim tidak
terbuka terhadap gagasan lain mungkin berasal dari pemikiran yang ramai
dipublikasikan bahwa anti-Amerikanisme sama dengan kebencian terhadap
nilai-nilai dan budaya Barat. Akan tetapi respon kaum Muslim terhadap banyak
pertanyaan terbuka menunjukkan fakta berbeda. 32 % warga Amerika menyatakan
bahwa mereka tidak melihat satu pun yang patut dikagumi dari seorang Muslim,
persentase kaum Muslim yang mengatakan bahwa tak ada yang mereka kagumi dari
Barat, sangat rendah (6,3% di Yordania, 10% di Arab Saudi dan 1% di Mesir).
Kebencian di kalangan Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara sebagiannya
berasal dari kenyataan bahwa meski mengagumi kemajuan ilmiah dan teknologi
Barat, serta Demokrasinya, sedikit yang percaya Barat bersedia mengizinkan
mereka mendapatkan manfaat yang sama.[5]
Sebuah artikel berjudul Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, keduanya tak akan pernah
bertemu, yang ditulis oleh sastrawan terkenal asal Inggris, Kipling
(1865-1939), peraih Nobel tahun 1907, seakan menjadi menjadi urgumen penguat
akan tesis Samuel Hutington yang dipublikasikan tahun 1993, tentang benturan
peradaban. Yaitu, benturan yang terjadi antara peradaban Barat di satu pihak
dan peradaban Timur di pihak lain, khususnya peradaban Islam.[6]
Perdebatan antara Islam dan Barat mengenai isu
ekonomi, politik, sosial dan budaya, masih menjadi perdebatan yang hangat
hingga saat ini. Saling klaim atas keberhasilan dan kegagalan masing-masing
pihak menjadi diskursus yang panjang dan melelahkan. Sehingga rentetan
peristiwa yang terjadi didalam Dunia Islam dan Barat merupakan indikasi dari belum
membaiknya hubungan antara Barat dan Islam.
Islam sebagai agama yang dianut mayoritas
masyarakat Indonesia dan Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim
terbesar di dunia,[7] memang
seharusnya dapat memberikan sahamnya secara lebih riil karena sebagaimana
diungkapkan oleh Weber bahwa agama memiliki kekuatan untuk membantu menyingkap
makna dunia. Oleh karena itu, dalam konteks Islam, diperlukan pemikiran dan
pergerakan yang dimotori oleh para intelektual aktivis Islam untuk meletakkan
basis-basis kesadaran baru bagi masyarakat agar mampu menjawab tantangan
modernitas dan globalisasi yang melingkupinya.[8]
Makalah ini merupakan respon terhadap tulisan John
L. Esposito mengenai masa depan Islam (The
Future of Islam). Berdasarkan hasil riset Gallup Center for Muslim Studies dibeberapa negara Muslim, Amerika
dan Eropa bersama Julia Mogahed, memperoleh data bahwa hubungan antara dunia
Islam dan Barat pun mengalami dinamika, baik sebelum peristiwa 9/11 dan sesudah
peristiwa tersebut. Peristiwa pemboman gedung WTC dan Pentagon di Amerika, yang
dilakukan oleh kelompok fundamentalisme Islam, seakan membenarkan tesis Samuel
P. Hutington tentang “benturan peradaban”, yang kemudian tesis tersebut
beramai-ramai dibantah oleh intelektual Muslim.
Globalisasi memaksa umat Islam mencari solusi
alternatif untuk mempertahankan ideologinya. Modernisasi tak dapat di elakkan
dan umat Islam Indonesia sebagai bagian dari peradaban dunia, harus mencari
metode yang solutif dalam menghadapi arus globalisasi. Islamophobia pasca 9/11,
merupakan moment yang tepat bagi Muslim Indonesia untuk meletakkan dasar
pemahaman keagamaan yang modern, demi mengangkat kembali citra negatif terhadap
Islam dan berbagai isu besar yang kerap di justifikasi oleh Barat terhadap
Islam, seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi Islam dan lainnya.
Konsep “sekulerisasi” yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid merupakan salah
satu ide cemerlang, dalam membangun kemajuan Islam di masa depan.
Dinamika Peradaban
Dunia Islam dan Barat
Peradaban merupakan entitas budaya. Desa-desa,
wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, bangsa, agama, semua memiliki budaya
yang berlainan. Peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok
orang dan identitas budaya paling luas yang dimiliki oleh orang-orang yang
membedakan manusia dari makhluk lain. Ia teridentifikasi baik lewat unsur-unsur
objektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi maupun
melalui identifikasi diri yang subjektif. [9]
Menurut hipotesis deskriptif Samuel P.
Hutington, dalam perjalanan peradaban
dunia, garis pemisah antarperadaban menggantikan batas-batas ideologi dan
politik Perang Dingin sebagai pemicu munculnya krisis dan pertumpahan darah.
Perang Dingin mulai ketika tirai besi memisahkan Eropa secara politis dan
ideologis, sehingga memunculkan pembagian budaya Eropa antara Kristen Barat di
satu sisi dan Kristen Ortodoks dan Islam di sisi lain muncul kembali.
Setelah perang dunia II, Barat justru mundur,
kekaisaran kolonial hilang, nasionalisme Arab awal dan kemudian fundamentalisme
Islam muncul. Barat mulai bergantung pada negara-negara Teluk Persia untuk
sumber energi, negara-negara Muslim kayapun berlimpah uang. Invansi dan
imprialisme negara-negara Eropa terhadap dunia Muslim terlihat ketika Perancis
menggelar perang yang amat berdarah dan kejam di Aljazair sepanjang 1950-an,
pasukan Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir pada 1956, pasukan
bersenjata Amerika memasuki Libanon pada 1958 dan kembali lagi ke Libanon,
menyerang Libia, dan terlibat pertempuran dengan Iran, kaum teroris Arab dan
Islam. Perang antara Arab dan Barat ini memuncuk pada 1990, ketika Amerika
Serikat mengirimkan pasukan dalam jumlah yang besar ke Teluk Persia untuk
membantu mempertahankan beberapa negara Arab dari agresi yang dilancarkan oleh
negara tetangganya.[10] Di dunia Arab, demokrasi
yang di anut dan di agung-agungkan oleh Barat ternyata memperkuat kekuatan
politik anti Barat dan semakin memperumit hubungan antara negara-negara Islam
dan Barat secara politis.
Sejak berakhirnya Perang Dingin tersebut pula,
fundamentalis agama Islam dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi
demokrasi liberal. Serangan al-Qaeda pada 11 September 2001 memberikan
kesimpulan atas perdebatan yang mengemuka setelah keruntuhan tembok Berlin
mengenai ancaman baru bagi perdamaian dan keamanan dunia. Media terkemuka
seperti Economist, Atlantic Monthly, Time
dan Foreign Affairs, menampilkan beberapa pendapat politisi seperti Jacques
Chirac, Helmut Kohl, Daniel Quayle dan Yitzhak Rabin bahwa mereka
memperingatkan akan “bahaya hijau” akan menggantikan “ancaman merah” komunisme
sebagai tantangan bagi peradaban Barat.[11]
Anggapan bahwa dunia Muslim dapat merangkul begitu
banyak perspektif yang berbeda menunjukkan betapa amat simplistik pandangan
yang menduga tak terelakkan perbenturan antara Islam dan Barat. Pandangan ini,
yang populer di kalangan mantan perwiran Perang Dingin yang mencari musuh baru
untuk membenarkan anggaran dan imperium industri militer mereka yang besar,
telah memperoleh dukungan akademik dengan terbitnya artikel panjang, seperti
tulisan Samuel P. Hutington di Foreign
Affairs tahun 1993. Pandangan ini menyalakan nyali atavistik di seluruh
Eropa Kristen, membangkitkan kenangan kuno tentang pasukan Muslim mengepung
Wina dan tentara Islam bergerak maju ke selatan Italia menuju Roma. Muslim
melawan argumen itu dengan Perang Salib dan dominasi Barat atas negara-negara
Muslim selama berabad-abad, sebuah proses yang puncaknya pada Perang Teluk.[12]
Perang Salib selama dua abad merupakan salah satu
tonggak penting dalam proses interaksi dalam proses interaksi antara peradaban
Islam dengan Barat (Kristen). Dengan terjadinya perang itu mulai terjadi kontak
dagang, pertumbuhan Merkantilisme dan proses pertukaran budaya, meski tidak
seimbang antara kedua peradaban. Tidak seimbang sebab Barat jauh lebih banyak
belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan Dunia Islam ketimbang
sebaliknya.[13]
Namun disisi lain, Perang Salib mempertajam rasa takut dan jiwa permusuhan
terhadap Islam dan orang-orang Muslim. Perang Salib ini telah menyerang
orang-orang Eropa dengan guncangan ilmu pengetahuan yang hebat dan dasyat,
karena dengan terjadinya Perang Salib, bangsa Eropa meyakini bahwa orang-orang
yang mendiami tanah Syam (Muslim), merupakan bangsa yang berperadaban besar dan
maju, bahkan mereka mengungguli peradaban Kristen-eropa dalam segala aspek dan
segala bidang kehidupan.[14]
Perdebatan intelektual sebelum peristiwa 11
September 2001, seperti tesis Fukuyama tentang “Akhir Sejarah”, sebuah
argumentasi pertarungan antara “Jihad vs McWorld”, prediksi Robert Kaplan
tentang “anarki yang akan datang”, Samuel Hutington mengenai “benturan antar
peradaban”,[15] memperkuat argumentasi dan gagasan bahwa
Islam dan peradabannya tidak cocok dengan gagasan kebebasan, demokrasi, hak
asasi manusia, keadilan gender dan lainnya.
Perselisihan-perselisihan yang paling penting
menurut Hutington, akan terjadi sepanjang garis kebudayaan yang memisahkan
Barat dari peradaban-peradaban non-Barat. Ia memprediksi bahwa perang dunia
berikutnya adalah sebuah perang antar peradaban. Tesis tersebut juga diperkuat
dengan fakta bahwa Amerika secara militer telah memerangi yang mereka anggap
teroris di bagian Iran dan bagian dunia Arab lainnya dan mencapai puncaknya
ketika Perang Teluk, antara Irak dengan Kuwait dan Barat mendukung sepenuhnya
keberpihakkan Arab Saudi. [16]
Pendapat yang senada dengan Hutington adalah sebuah
artikel yang diterbitkan oleh majalah Cross
Currents edisi Vol.51, No.4 pada tahun 2002, yang ditulis oleh Jack Miles,[17] dengan judul Theology and The Clash of Civilizations. Dia
berpendapat bahwa ada tiga “mazhab” peradaban yang mempunyai kemungkinan
berbenturan. Pertama, the western
civilization yang tentu saja diwakili oleh negara adikuasa Amerika. Kedua, the eastern civilization yang
personifikasikan dengan dua negara, Jepang dan Cina. Ketiga, the Islamic Civilization yang disebut
Jack Miles dengan da>r al-Isla>m.[18]
Pada mazhab pertama dan kedua, benturan peradaban
bisa diminimalkan sampai titik terendah. Barat tidak akan berbenturan dengan
Timur yang diwakili oleh dua mainstream
besar, Jepang dan Cina. kepentingan peradaban Jepang sudah terakomodasi dalam
perjalanan zaman dan Cina pun sudah menunjukkan indikasi tidak memunculkan
resistensi terhadap western civilization,
dengan indikasi pengadaan Olimpiade di Beijing. Satu-satunya kemungkinan
terjadinya clash datang dari
perdabana Islam yang menurut Jack Miles disebut dengan peradaban yang
menggariskan garis berdarah yang panjang dalam peradaban dunia dan inilah yang
melahirkan peperangan antara komunitas Muslim dan non Muslim, seperti konflik
yang terjadi di Mindanao, yaitu Katolik Roma dengan Muslim Mindanao, Katolik
Roma dengan Muslim di Timor Leste Indonesia, pengikut ajaran Confucius dan
penganut Budha dengan Muslim di Singapura dan Malaysia, Hindu dengan Muslim
Kasmir dan Minoritas Muslim di India, Katolik Ortodoks Rusia dengan Muslim di
Afganistan, katolik Ortodoks Rusia dengan Muslim di Chechnya, Katolik Armenia
dengan Muslim di Nagorno, Katolik Maronit dan Mekhit dengan Muslim di Lebanon
dan koflik lainnya.[19]
Para spesialis studi wilayah Timur Tengah, para
sarjana ahli al-Quran dan para pelajar hukum Islam telah memperdebatkan
serangkaian isu yang berkenaan dengan tesis “benturan” tersebut. Para kritikus
menentang gagasan tentang suatu budaya Islam yang tunggal dan menunjuk berbagai
perbedaan subtansial yang ditemukan di antara masyarakat Muslim di berbagai
negara seperti, Pakistan, Yordania, Azerbaijan, Indonesia, Bangladesh dan
Turki. Terdapat pula perbedaan di antara umat Islam yang radikal atau moderat,
tradisional atau modern, konservatif atau liberal, garis keras atau revisionis.
Para pengamat berpendapat bahwa terjadinya perbedaan di dalam dunia Islam
tersebut diakibatkan oleh tradisi sejarah dan warisan kolonial, perpecahan
etnis, tingkat perkembangan ekonomi dan peran kekuasaan kaum fundamentalis
keagamaan di negara-negara yang berbeda. Maka tidak fair membandingkan Muslim
yang ada di Jakarta, Riyadh dan Istanbul dalam suatu kelompok budaya.[20]
Peristiwa 11 September 2001, menurut mereka disebabkan oleh
keyakinan-keyakinan ideologis ekstrem yang diyakini oleh kelompok-kelompok
al-Qaeda dan kalangan fundamentalis Taliban, bukan opini publik Muslim pada
umumnya. Seperti halnya merupakan kesalahan jika memahami pengeboman Kota
Oklahoma 1995 sebagai serangan kolektif terhadap pemerintah federal yang
dilakukan oleh kaum fundamentalis Kristen, bukan ulah dari individu-individu.
Hubungan Dunia
Muslim dan Barat
Maxime Rodinson, seorang cendikiawan Perancis
menyatakan bahwa umat Kristen di Barat mempersepsi dunia Muslim sebagai bahaya,
jauh sebelum Islam dilihat sebagai masalah nyata. Sejahrawan Inggris Albert
Haourani senada dengan pernyataan Rodinson. Dia mengatakan bahwa kemunculan
Islam merupakan maslah bagi Eropa-Kristen. Bangsa Kristen tdak menerima
kenabian Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya, Allah bukanlah Tuhan dan
Islam hanya karangan orang-orang yang berwatak dan berniat buruk dan didukung
oleh kekuatan pedang.
Hubungan antara kaum Muslim dan Non Muslim Barat
(Kristen Eropa) adalah hubungan penuh dengan ketegangan, yang dimulai dengan
ekspansi militer-politik Islam klasik yang menimbulkan kerugian Kristen dengan
kulminasinya berupa pembebasan konstatinopel, kemudian Perang Salib, lalu
berbalik, berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat
imperalis-kolonialis atas Dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan
oleh hubungan anatar Islam dan Barat yang traumatik tersebut, maka diskursus
Islam tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat sebagai
musuh.[21]
Interaksi berabad-abad telah menoreh catatan buruk
antara Islam dan Barat yang beragama Kristen. mereka sama-sama mengklaim sebuah
misi dan pesan universal dan mewarisi budaya Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi.
Bandul hubungan Barat dan Muslim telah berayun di antara rivalitas, konfrontasi
dan kolaborasi, walaupun konflik yang timbul dari faktor-faktor budaya,
religius dan ideologis ini telah menjadi norma, politik riil dan kepentingan
antar negara juga membentuk hubungan antar kedua peradaban.[22]
Secara historis, kekuatan-kekuatan Barat merasa
nyaman bersekutu dengan Muslim melawan sesama kekuatan Kristen. Sepanjang abad
ke-19, Perancis, Inggris dan Jerman bersatu dengan bangsa Muslim Ottoman
melawan musuh-musuh Eropa mereka. Lain halnya dengan Amerika, yang tak terlibat
dalam hubungan panjang dan berdarah dengan negara-negara maupun masyarakat
Muslim. Amerika tidak pernah secara langsung menguasai tanah Arab dan Muslim
ataupun membentuk sistem rumit penjajahan yang dulakukan Eropa. Bahkan pada
awal abad ke-20, Amerika membuka hubungan yang santun dan dinamis dengan dunia
Arab dan Muslim.
Setelah menjadi negara adikuasa, Amerika lebih
terhambat oleh faktor-faktor kolonial, historis dan budaya dibanding dengan
negara-negara Eropa. Kontrol politik dan ekonomi lebih mendorong washington
untuk mengambil kebijakan lebih dekat dengan Timur dekat. Ameria tidak
terganggu dengan munculnya komunitas imigran di negara mereka, walaupun
tantangan religius dan intelektual Islam terus mewarnai imajinasi banyak warga
amerika, lebih disebabkabkan dampak dari pertahanan dan keamanan serta strategi
dari politik massa islam, bukan isu religius dan intelektual.[23]
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, di Barat mulai
muncul fenomena ke-Islaman yang sampai sekarang belum memperoleh perhatian memadai
dari institusi-institusi Islam, sekalipun dunia Barat sendiri telah
memperhatikannya secara serius. Fenomena ini terlihat dari semakin meluasnya
kawasan hunian Muslim si sepanjang negara-negara Barat, dengan bertambahnya
jumlah kaum Muslim di Eropa dan Amerika.[24]
Kebanyakan kaum Muslimin yang menetap di
negara-negara Barat dewasa ini merupakan keturunan orang-orang Arab-Islam yang
hijrah ke sana setelah berakhirnya Perang Dunia ke dua, yang kemudian
memutuskan untuk terus tinggal di negara tersebut. Jumlah mereka bertambah
seiring dengan banyaknya peduduk pribumi (Barat) yang memutuskan memeluk agama
Islam.
Pada mulanya negara-negara Barat tak pernah
memikirkan kemungkinan keberadaan Islam di Barat. Setelah berakhirnya perang
dunia ke dua, negara-negara tersebut membutuhkan tenaga-tenaga kerja untuk
melakukan pembangunan kembali puing-puing yang diakibatkan oleh perang, seperti
negaraInggris, Perancis dan Jerman. Namun ketika para urban ini semakin
memperoleh posisi yang layak dinegara-negara Barat, maka terjadilah gesekan
antara masyarakat Barat dengan warga urban Muslim. Misalnya persoalan yang
berkaitan dengan pelestarian identitas ke-Islaman, pengajaran agama Islam,
adaptasi dengan peradaban barat dan lainnya., sehingga menimbulkan kondisi yang
tidak nyaman, perlakuan diskriminatif, tindakan kesewenang-wenangan, depresi
sosial yang dialami warga Muslim secara diam-diam maupun terang-terangan.[25]
Pada saat ini, kebebasan Barat memungkinkan para
pemuka agama, intelektual dan aktivis Islam menjadi suara utama demi perubahan
religius, sosial dan politik. Tulisan dan khutbah banyak yang memuat tentang
pentingnya penafsiran ulang dan pembaruan, dengan memberi penghargaan terhadap
hak dan peran kaum perempuan, pluralisme dan toleransi beragama, walaupun sebagian
ulama menurut Ingrid Mattson belum bisa memberi solusi terhadap semua
perubahan.[26]
Sebuah survey yang dilakukan Pew Research Institute
yang di-release belum lama ini, melibatkan 14.030 orang (Muslim dan Non Muslim)
dilaksanakan di 15 negara; Amerika Serikat, China, Inggris, India, Indonesia,
Jepang, Jerman, Mesir, Nigeria, Pakistan, Perancis, Rusia, Spanyol, Turki dan
Yordania, menghasilkan beberapa temuan yang menggambarkan bahwa hubungan antara
Muslim dan Barat belum menunjukkan perbaikan yang berarti, yang ditandai dengan
mispersepsi, prasangka timbal balik. Hubungan kedua belah pihak tetap ‘buruk’
(bad) tetapi jelas tidak kian ‘memburuk’ (worse), karena tidak ada peristiwa
internasional luar biasa dalam setahun terakhir yang menyebabkan terjadinya peningkatan
permusuhan di antara kedua belah pihak.[27]
Pada level pertama, survey tersebut menyimpulkan,
orang-orang Barat dan Muslim umumnya memiliki pandangan yang bertolak belakang
tentang peristowa-peristiwa besar pada tingkat internasional. Kedua belah pihak
umumnya menganggap satu sama lain suka pada kekerasan, tidak toleran dan kurang
menghargai perempuan. Kaum Muslim di Timur Tengah dan Asia menganggap
orang-orang Barat sebagai immoral dan mementingkan diri sendiri (selfish),
sementara orang-orang Barat menganggap kaum Muslim fanatik. Beberapa temuan
poko lain adalah; pertama, sentimen
anti-yahudi tetap tinggi di negara-negara Muslim dan di kalangan kaum Muslim di
Jerman, Inggris dan Spanyol. Tetapi 71% kaum Muslim Perancis memiliki pandangan
positif terhadap Yahudi. Kedua, mayoritas
Muslim menyatakan, kemengan Hamas di Palestina membantu penyelesaian yang adil
antara Israel dan Palestina. Pendapat ini secara solid ditolak orang-orang
Barat. Ketiga, mayoritas Muslim dalam
kasus kontroversi kartun Nabi Muhammad belum lama ini memandang Barat tidak
menghargai Islam. Sedangkan pihak Barat menganggap hal itu sebagai bukti sikap
tidak toleran kaum Muslim. Keempat, orang-orang
Spanyol dan Jerman, memiliki sikap antagonis lebih besar terhadap kaum Muslim.
Sebaliknya mayoritas orang Inggris dan Perancis memiliki pandangan lebih
positif terhadap kaum Muslim. Kelima, kaum
Muslim Eropa lebih cenderung memiliki pandangan positif terhadap orang-orang
Eropa dan mereka juga cenderung melihat bahwa ketegangan antara Dunia Muslim
dan Barat bukanlah ‘benturan peradaban’ (clash of civilizations).[28]
Muslim di Era
Globalisasi
Sebagian umat Islam mengalami kekhawatiran ketika
membicarakan wacana globalisasi. Globalisasi bagi sebagian umat Islam dianggap
sebagai faktor yang dapat menghancurkan nilai-nilai luhur agama dan identitas
umat Islam dari pengaruh negatif berbagai pemikiran dan aliran baru, baik di
bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun dari
Barat. Namun, pada saat yang sama sebagian umat Islam juga cenderung menerima
apa yang datang dari Timur maupun Barat
tanpa melakukan reserve. mereka menganggap
bahwa apa yang datang dari negara-negara maju dapat menjamin terselenggaranya
kemajuan dan perkembangan.[29] Kedua kelompok tersebut
sering terlibat dalam debat dan perselisihan panjang yang kadang menghabiskan
waktu dan energi. Seperti, perdebatan mengenai sikap terhadap peradaban Barat
atau sikap orientalisme di Barat, globalisasi saat ini dan isu kontemporer
lainnya.
Bidang ekonomi merupakan salah satu isu
globalisasi. Salah satu bentuk implementasinya adalah realisasi pasar bebas
dengan piranti pendukungnya, seperti hilangnya sekat penghalang bagi transaksi
perdagangan, dibukanya pintu jual beli tanpa proteksi dan menjamurnya
konglomerasi perekonomian raksasa yang banyak menguasai negara-negara maju. Dalam
bidang ekonomi, ajaran Islam menekankan penting pemenuhan terhadap kebutuhan
materil guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya sehingga dapat menjalankan
agamanya secara kaffah. Meskipun
dunia Muslim memiliki manifestasinya sendiri tentang materialisme dan
hedonisme, namun konsep manusia ekonomi rasional dalam pengertian
sosial-Darwinis, utilitarian dan materialis dalam kaitannya dengan pemenuhan
kepentingan diri sendiri dan maksimalisasi kekayaan dan pemenuhan kebutuhan
tidak mendapatkan perhatian intelektual sama sekali. Sekalipun keseimbangan antara
aspek materiil dan spritual pada umumnya dapat dipertahankan dalam inti
pemikiran Islam, namun terdapat juga penyimpangan-penyimpangan. Kaum sufi
menekankan kepuasan spritual dan mengabaikan kemakmuran materiil karena
memandang bahwa kekayaan memiliki kecenderungan mendorong arogansi dan berbuat
salah.[30]
Kaum Muslim menghadapi banyak persoalan dan
keprihatinan berkaitan dengan ekonomi. Dalam riset yang dilakukan oleh John L. Esposito dan
Dalia Mogahed, banyak responden yang menyatakan bahwa persoalan ekonomi
merupakan persoalan yang banyak disorot oleh umat Islam. Kondisi ekonomi yang
lebih baik, kesempatan kerja, standar hidup yang lebih baik, yang diikuti oleh
kebutuhan untuk memperbaiki hukum dan ketertiban, menghilangkan ketegangan dan
peperangan sipil dan mempromosikan ideal demokrasi di dalam sistem politik
mereka, serta mendongkrak status dan kemandirian internasional negara mereka
agar lebih dihargai oleh pihak lain dan menghentikan campur tangan luar.[31]
Dalam bidang politik, umat Islam dihadapkan dengan
isu-isu penting, seperti demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme politik.
Sistem demokrasi adalah sistem yang memungkinkan masyarakat untuk menuntut
diterapkannya prinsip-prinsip keadilan. Fungsi normatif utama dari tatanan
politik yang demokratis adalah menjamin dan melindungi wilayah kebebasan
individu, yakni menjamin hak individu untuk menjalani hak individu untuk
menjalani kehidupan menurut pilihannya masing-masing.[32]
Samuel P. Hutington, salah seorang Guru Besar ilmu
politik di Harvard University menganggap bahwa demokrasi adalah peradaban Barat
dan meragukan jika konsolidasi demokrasi bisa terjadi di peradaban non-Barat.
secara khusus ia menyebut kriteria sikap, kepercayaan pada aturan hukum dan
komitmen terhadap individualisme, di samping pemisahan antara gereja dan
negara, pengalaman dengan lembaga representatif dan pluralisme sosial. Kriteria
budaya demokrasi tersebut diyakini hanya dapat dihasilkan oleh peradaban Barat
dan tidak oleh yang lain.[33]
Hutington juga meragukan demokrasi dalam Islam karena
menurutnya ketidakmungkinan demokrasi dalam masyarakat Muslim berakar sangat
kuat dalam budaya dan tradisi politik Islam. Islam memiliki sistem politik
komprehensif yang sudah teruji dalam sejarah panjang masyarakat Muslim. Menurut
Bernard Lewis, sistem ini bukanlah demokrasi dan didalamnya tidak ditemukan
unsur demokrasi yang signifikan. Keyakinan terhadap syariah, sistem hukum yang mengatur semua aspek kehidupan kaum
Muslim, boleh jadi merupakan inti sistem politik Islam yang membedakan dengan
sistem politik lain seperti demokrasi.[34]
Antara Hutington dan Lewis memiliki pemahaman yang
baik tentang watak dan tradisi politik Islam, hingga tradisi itu mendominasi
dunia Islam hingga saat ini. Pendapat mereka tentang sekulerisme di satu sisi
ada benarnya karena di beberapa negara Islam, sistem yang mereka anut ternyata
gagal dalam pelaksanaannya. seperti rezim Imam Komeini pada saat memimpin
Republik Islam Iran, Taliban di Afganistan. Kelompok-kelompok “Islamis” yang
aktif saat ini, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’ati Islami di
Pakistan, FIS di Aljazair, Hizb at-Tahrir di Palestina, Darul Islam dan Majelis
Mujahidin di Indonesia juga memperkuat pandangan mereka.[35] Namun di sisi lain,
argumen mengenai sikap politik kaum Muslim diatas, tidak dapat di generalisasi
empiris seperti tesisnya Hutington dan Lewis terhadap sikap kaum Muslim di
seluruh dunia. Untuk menemukan jawaban terhadap masalah tersebut, dibutuhkan
observasi sistematis tentang relegiusitas kaum Muslim, orientasi politik dan
orientasi kaum Muslim terhadap budaya demokrasi.
Isu hak asasi manusia dalam Islam menjadi bagian
dari isu demokrasi. Barat menganggap ajaran Islam tidak menghormati hak asasi
manusia, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk atau rajam bagi
pelaku zina dan lainnya. Dr. Muhammad ’Abid Jabiri berpendapat bahwa potong
tangan bagi pelaku pencurian bukannya tidak menghormati hak asasi manusia,
namun lebih disebabkan karena maqa>sid
syari>ah (tujuan umum syariat) dan landasan kemaslahatan (kebaikan) yang
merupakan tujuan final dari syariat dan itu adalah “dasar dari segala dasar”.
Hukum potong tangan pada waktu itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan dan
menyesuaikan karena pada waktu itu belum
ada sistem penjara, para sipir dan otoritas kekuasaan yang menaungi dan memberi
makan para tahanan.[36]
Salah satu norma yang pelanggarannya dapat dijatuhi
hukuman rajam dalam hukum pidana Islam adalah zina yang dilakukan oleh orang
yang sudah menikah (zina muhsan) atau adultery.
Sedangkan bagi pezina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) atau fornication tidak dijatuhi hukuman
rajam, melainkan dengan hukuman jilid (cambuk)
sebanyak seratus kali. Diluar zina muhsan
tadi tidak ada hukuman rajam. Hukuman dalam pidana Islam bertujuan untuk
menegakkan keadilan, membuat jera pelaku, memberi pencegahan secara
umum/prevensi general dan memperbaiki pelaku. Menurut Muhammad Iqbal Siddiqi,
kritik-kritik Barat yang dilancarkan terhadap hukuman perzinaan bukan
semata-mata karena tidak suka terhadap ide hukuman fisik, tetapi lebih pada
perasaan moral (moral sense) mereka belum terbangun seutuhnya. Mereka tidak
memandang perzinaan sebagai kejahatan sosial yang akan mempengaruhi masyarakat
secara menyeluruh.[37]
Bagi Maududi, seorang pemikir Islam, berpendapat
bahwa dalam pandangan Islam, manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat dalam
dirinya, misalnya hak untuk hidup, hak atas keselamatan hidup, hak untuk
memperoleh kehormatan kesuciannya bagi kaum perempuan, hak untuk memperoleh
kebutuhan hidup pokok, hak individu atas kebebasan, hak atas keadilan, kesamaan
yang paling utama diantara hak-hak dasar adalah hak untuk hidup.[38]
Demokrasi dan hak-hak asasi manusia di abad modern
saling berkaitan, yang satu memerlukan yang lain. Umat Islam pada skala global
tidak punya sikap dan bahasa yang sama menghadapi isu demokrasi dan hak-hak
asasi manusia. Menurut Khaled Abou el Fadl, ada dua kelompok yang menyikapi
persoalan demokrasi, yaitu puritan dan moderat. Kelompok puritan bersikap anti
terhadap semua sistem Barat, khususnya demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi
menikmati hasil teknologinya. Di antara doktrin yang mengikat mereka adalah
doktrin taat kepada pemimpin, hampir tanpa reserve.
Karena itu, ada yang menggolongkan mereka sebagai faksi totalitarian dengan
payung syariah. Pada kutub lain, kelompok moderat juga mengatakan berpedoman
kepada kitab suci (al-Qura>n), namun tidak merisaukan apakah gagasan
demokrasi dan hak asasi manusia itu berasal dari Baratatau Timur, bagi kelompok
ini selama demokrasi dan hak asasi manusia dapat menjamin tegaknya keadila,
perdamaian, moralitas dan hubungan baik sesama manusia, tidak ada alasan untuk
menolaknya. Kelompok moderat berupaya menafsirkan kembali konsep konsensus (ijma) untuk mendukung gagasan demokrasi
berdasarkan keinginan mayoritas rakyat.[39]
Konsep
Nurcholish Madjid tentang Moderasi Islam Indonesia dan Tantangan Globalisasi
Mayoritas sejahrawan sependapat bahwa modernitas
muncul sebagai akibat dari revolusi besar. Revolusi Amerika dan perancis
menyediakan landasan institusional politik modernitas berupa; demokrasi
konstitusional, kekuasaan berdasarkan hukum dan prinsip kedaulatan
negara-bangsa. Revolusi industri Inggris menyediakan landasan ekonomi berupa
produksi industri oleh tenaga kerja bebas di kawasan urban, yang menyebabkan
industrialisme dan urbanisme menjadi gaya hidup dan kapitalisme menjadi bentuk
distribusi baru.[40]
Menurut Kumar, modernitas memiliki ciri-ciri
sebagai berikut; pertama, individualisme.
Individu terbebas dari posisitergantikan, bebas dari tekanan ikatan kelompok,
bebas berpindah ke kelompok yang di inginkannya, bebas memilih keanggotaan
kesatuan sosial yang d inginkannya,
bebas menentukan dan bertanggungjawab sendiri atas kesuksesan maupun kegagalan
tindakannya sendiri. Kedua, diferensiasi.
Dengan muncul sejumlah besar spesialisasi, penyempitan definisi pekerjaan dan
profesi, akan memerlukan keragaman keterampilan, kecakapan dan latihan. Ketiga, rasionalitas. Berfungsinya institusi dan organisasi tidak
tergantung pada seseorang. Keempat,
ekonomisme. Seluruh aspek kehidupan sosial di dominasi oleh aktifitas
ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi dan kelima, perkembangan. Modernitas
cenderung memperluas jangkauannya terutama ruangnya dan inilah yang dimaksud
proses globalisasi, seperti yang dikatakan Giddens: “Modernitas adalah
Globalisasi”.[41]
Permasalahan modernitas dan modernisasi merupakan
tantangan besar yang saat ini dihadapi oleh semua kelompok di dalam masyarakat,
tak kecuali masyarakat Islam. Bagi masyarakat Islam, modernitas dan modernisasi
bukan saja membawa pebgaruh bagi posisi kesejarahan selanjutnya di Indonesia,
tetapi juga menentukan relevansinya bagi menjadi Indonesia di masa depan. Munculnya
gerakan-gerakan reformasi Islam, tak lain adalah salah satu ekspansi kesadaran
akan ketertinggalan umat di dunia yang sedang berubah.[42]
Masyarakat Islam di Indonesia menghadapi dua
permasalahan pokok pada saat modernisasi mulai dicanangkan. Persoalan pertama
adalah masih belum berhasilnya komunitas Islam dan pimpinannya mengatasi
persoalan-persoalan internal sehingga mampu berkosentrasi penuh menghadapi
perubahan. Persoalan kedua, penetrasi yang kuat dari luar, terutama negara yang
semakin dominan, yang gilirannya mempengaruhi keterlibatan Islam di dalam
modernisasi yang sedang berlangsung. Akibatnya, muncul kesan seolah-olah Islam
dan modernisasi merupakan dua hal yang berlawanan atau incompatible. Kesan ini makin diperkuat oleh paradigma modernisasi
dan developmentalisme yang dianut. Paradigma itu mengandung bias ideologi yang
meragukan kemampuan sistem nilai dan pranata “tradisional” untuk turut serta
dan mendukung modernisasi. islam, yang masuk dalam kategori ini, serta merta
dipandang sebagai masalah yang harus dipecahkan dan bukan sebagai salah satu
kekuatan penopang bagi proses tersebut.[43]
Sosiolog biasanya menunjukkan sejumlah fenomena
baru yang muncul dalam masyarakat modern. Fenomena yang muncul dalam bidang
kultur salah satunya adalah “Sekulerisasi”. Merosotnya arti penting keyakinan
agama, kekuatan gaib, nilai dan norma dan digantikan oleh gagasan dan aturan
yang disahkan oleh argumen dan pertimbangan “duniawi”.[44]
Menurut Nurcholish Madjid, sekulerisasi mempunyai
kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan.
Sekulerisasi berarti terlepasnya dunia dari pengertian religius dan
desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi
sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan harus melahirkan
“desakralisasi” pandangan terhadap semua
selain Tuhan, sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan hakikatnya
adalah syirik. [45]
Pemahaman kaum Muslim atas prinsip-prinsip ajaran
yang terkandung dalam al-Quran senantiasa berkembang akibat perkembangan zaman
yang selalu memberikan masukan baru kepada alam pikiran manusia dan pemahaman
yang berkembang itu tidak seluruhnya benar dan tepat, bahkan terkesan vulgar,
kasar, sehingga justru mendangkalkan penegrtian agama itu sendiri. Paham-paham
apologetis yang muncul di kalangan umat untuk membela Islam dalam menghadapi
invasi peradaban modern Barat, sebagai contoh pendangkalan. Sikap apologi atau
apologetis, kerap menunjukkan gejala rasa rendah diri. Karena itu, menurutnya
setiap pikiran apologetis pada dasarnya tidak mengandung kreativitas yang
orisinal. Kritik Nurcholish tentang kecenderungan apologetis ini ditujukan
terutama kepada mereka yang justru mengecap kenikmatan peradaban modern. Ia
menyebut gejala ini sebagai ironi, betapa Muslim itu tidak memiliki kemantapan
sebagai seorang Muslim tatkala menikmati perdaban modern.[46]
Pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang
saling berhubungan, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan
mencari nilai-nilai yang berorientasi kedepan. Proses tersebut bisa dicapai
dengan cara liberalisasi. Beberapa langkah liberalisasi yang harus dilakukan
oleh umat Islam untuk mencapai modernitas adalah sekulerisasi, kebebasan
berpikir dan sikap terbuka (idea of progress).
Akar persoalan yang dihadapi komunitas Islam adalah
hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological
striking force). Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan umat Islam yang
diwakili oleh para pemimpinnya, untuk membedakan antara nilai-nilai yang
transedental dan temporal. Umat Islam harus membebaskan dirinya dari
kecenderungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi sebagai duniawi
(dalam hal ini yang berkaitan dengan muamalah, seperti persoalan ekonomi,
politik dan sosial) dan hal-hal yang semestinya ukhrawi sebagai ukrawi (ibadah),
gagasan inilah yang disebut dengan “sekulerisasi”. Sekulerisasi dipahami dalam
konteks sosiologis berarti suatu paham yang mendorong bahwa kehidupan bernegara
dan ranah politik hendaknya didekati secara rasional dengan teori-teori politik
modern, dimana agama berada pada tataran moral, Proses teknispolitisnya
melewati mekanisme demokrasi, kedaulatan rakyat di tangan rakyat, dan
maslah-maslah sosial politik di dekati dengan ilmu dan teknologi.[47]
Proses
liberalisasi kedua adalah intellectual
freedom atau kebebasan berpikir. Pandagannya tersebut diperkuat dengan
mengutip hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di
kalangan umat merupakan rahmat. Dalam nomenklatur modern, perbedaan pendapat
harus dipandang sebagai bagian dari transaksi ide-ide di pasar bebas.
Pandanganini berakar tunjang pada mazhab berhaluan liberal produk masa
Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung)
di Eropa yang telah berlangsung sejak abad ke-18. Gejala-gejala lain yang
menghinggapi kesadaran kaum Muslim seperti kcaunya hierarki anatar nilai-nilai
yang bersifat duniawi dan ukhrawi, sistem berpikir yang masih terlalu tebal
diliputi oleh tabu dan a priori,
akibat dari hilangnya kebebasan berpikir.[48]
Proses liberalisasi yang ketiga adalah idea of progress (sikap terbuka), yaitu
kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi), asalkan mengandung
kebenaran. Idea of progress melekat
secara inheren dalam Islam, karena konsep tersebut bertitik tolak dari konsepsi
atau doktrin bahwa manusia pada adasrnya adalah baik, suci dan cinta pada
kebenaran atau kemajuan.[49] Umat Islam senantiasa
berani melakukan ijtihad, termasuk merespon persoalan-persoalan Indonesia
kontemporer dan tidak phobia terhadap fenomena modernisasi yang implikasinya
adalah penerimaan atas sekularisasi.
Penutup
Kesimpulan
Perdebatan antara Islam dan Barat mengenai isu-isu
besar di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, masih menjadi perdebatan
yang menarik untuk dikaji hingga saat ini. Saling klaim atas keberhasilan dan
kegagalan masing-masing pihak menjadi diskursus yang panjang dan melelahkan,
sehingga rentetan peristiwa yang terjadi didalam Dunia Islam dan Barat merupakan
indikasi dari belum membaiknya hubungan antara Barat dan Islam.
Selain sebagai agama yang mayoritas dianut oleh
masyarakat Indonesia, negara Indonesia juga sebagai negara yang berpenduduk
Muslim terbesar di dunia. Fakta tersebut seharusnya dapat memberikan sahamnya
secara lebih riil karena sebagaimana diungkapkan oleh Weber bahwa agama
memiliki kekuatan untuk membantu menyingkap makna dunia. Oleh karena itu, dalam
konteks Islam, diperlukan pemikiran dan pergerakan yang dimotori oleh para
intelektual aktivis Islam untuk meletakkan basis-basis kesadaran baru bagi
masyarakat agar mampu menjawab tantangan modernitas dan globalisasi.
Globalisasi seakan menjadi momok yang menakutkan
sehingga memaksa umat Islam mencari solusi alternatif untuk mempertahankan
ideologinya. Modernisasi tak dapat di elakkan dan umat Islam Indonesia sebagai
bagian dari peradaban dunia, harus mencari metode yang solutif dalam menghadapi
arus globalisasi.
Islamophobia yang dialami Muslim di beberapa negara
pasca 9/11, merupakan moment yang tepat bagi Muslim Indonesia untuk meletakkan
dasar pemahaman keagamaan yang modern, demi mengangkat kembali citra negatif
terhadap Islam dan berbagai isu besar yang kerap di justifikasi oleh Barat
terhadap Islam, seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi Islam dan
lainnya. Konsep “sekulerisasi” yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid merupakan
salah satu ide cemerlang, dalam membangun kemajuan Islam di masa depan.
[1] John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan
Kemajemukan dan Benturan dengan Barat, terj, The Future of Islam (Bandung:
Mizan, 2010), 32
[2] John L. Esposito dan Dalia
Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! : Opini
Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, Isu-Isu Kontemporer Lainnya,
terj, Who Speaks for Islam? (Bandung: Mizan,2008), 174
[3] Lydia Saad, Americans
Believe Muslim Antipathy Toward United States Based on Misinformation, di akses dari http://www.gallup.com/poll/5434/Americans-Believe-Muslim-Antipathy-Toward-United-States-Based-Misinformation.aspx, 10- Desember- 2012
[4] Gallup Poll, Poll
of the Islamic World: Perceptions of Western Culture, di akses dari http://www.gallup.com/poll/5458/Poll-Islamic-World-Perceptions-Western-Culture.aspx, 11-Desember-2012
[5] John L. Esposito dan Dalia
Mogahed, Saatnya Muslim Bicara!....., 179-180
[6] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj,
al-Islam fi> Ashr al-Aulamah, Abdullah Hakam Syah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2004), 35
[7] Menurut hasil studi demografis
yang dirilis oleh Forum Pew Research Center on Religion and Pulic Life pada
tahun 2012, menyebutkan jumlah penganut agama Islam berada pada posisi kedua,
setelah Kristen, dengan angka 1,6 miliar umat Muslim (23%). Laporan tersebut
mencatat Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,
yakni sebesar 209.120.000 Muslim atau 13,1% dari total penduduk Muslim dunia. Lihat,
Riset Pew: Muslim Indonesia Terbesar di
Dunia, http://www.srie.org/2012/12/riset-pew-muslim-indonesia-terbesar-di.html, diakses pada
7-Januari-201.
[8] Syamsul Bakri dan Modhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: Sintesis
Pemikiran Gus Dur dan Caknur dalam Pembaruan Islam Indonesia (Solo: Tiga
Serangkai, 2004), 14
[9]Samuel P. Hutington, “Tak Ada
Jalan Keluar: Kesalahan-kesalahan Endisme”,
dalam Samuel P. Hutington dkk, Amerika
dan Dunia: Memperdebatkan Bentuk Baru Politik Internasional (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), 55
[10] Samuel P. Hutingtong, dkk, Amerika dan Dunia...., 63-64
[11] Nader Hashemi, Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal:
Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2011), 4
[12] Adam Lebor, Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integrasi
(Bandung: Mizan, 2009), 357-358
[13] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001), 20
[14]Murad Wilfred Hoffman, Jalan Menuju Mekah: Menelusuri Cahaya
Keimanan, terj. Abdul Hayyie, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 224
[15] Lihat, Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New
York:Free Press, 1992), 235-237, Benjamin Barber, Jihad vs.McWorld: How Globalism and Tribalsm are Reshaping the World (New York: Ballentine Books, 1996), 205-216, Robert
Kaplan, The Coming Anarchy: Shatteting
the Dreams of the Post Cold War (New York: Vintage Books, 2000) 59-98,
Samuel Hutington, The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon and
Schuster, 1996), 56-78, 207-218.
[16] Samuel P. Hutington, The Clash
of Civilizations? Foreign Affairs (Summer 1993), 25-39
[17] Jack Miles seorang penasehat
senior Presiden Amerika dari sebuah lembaga yang bernama Paul Getty Trust. Dia
juga seorang anggota Dewan Kebijakan Intenasional untuk Pasifik (Pasific
Council on International Policy) dan merupakan penulis ternama yang sudah mengeluarkan
sebuah buku yang cukup menyita perhatian kaum Kristiani dengan judul Christ: A Crisis in the Life God.
[18] Herry Nurdi, Lobi Zionis dan Rezim Bush (Jakarta:
Hikmah, 2006), 272
[19] Herry Nurdi, Lobi Zionis....., 273
[20] Pippa Norris dan Ronald Inglehart,
Sekularisasi di Tinjau Kembali: Agama dan Politik, terj. A. Zaim Rofiqi
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009), 167
[21] Nurcholis Madjid, “Agama dan
Negara dalam Islam: Telaah atas Fikih Siyasi Sunni”, dalam Budhy
Munawar-Rachman, ed, Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 588
[22] Fawaz A.Gerges, Amerika dan Islam Politik: Benturan
Peradaban atau Benturan Kepentingan? (Jakarta: Alvabet, 2002), 47-48
[23] Fawaz A.Gerges, Amerika dan Islam Politik...., 48-49
[24] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj,
al-Isla>m fi> Ashr al-Aulamah, penj, Abdullah Hakam Shah (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2004), 41
[25] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi.....,
43-44
[26] Gallup Organization, Muslim Americans: A National Potrait,
Muslim West Facts Project, 2009, 59. Lihat
http://www.muslimwestfacts.com/mwf/116074/Muslim-Americans-National-Portrait.aspx
[27] Azyumardi Azra, Jejak-Jejak
Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah (Jakarta: Hikmah,
2007), 117
[28] Azyumardi Azra, Jejak-Jejak
Jaringan Kaum Muslim......, 118-119
[29] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi.....,
3
[30] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah tinjauan
Islam, perj. Ikhwan Abidin B (Jakarta: Gema Insani, 2001), 54-55
[31] John L. Esposito dan Dalia
Mogahed, Saatnya Muslim Bicara: Opini
Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan HAM dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya , terj. Eva Y. Nukman (Jakarta:
Mizan, 2007), 49
[32] Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Liberalisme
(Jakarta: PT Garsindo, 2010), 130
[33] Lihat, Samuel P. Hutington, The Third Wave: Democratization in The Late
Twentieth Century (University of Oklahoma Press, 1991), Samuel P.
Hutington, The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (New
York: Simon and Schuster, 1996), Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prospeity (London:
Hamish Hamilton, 1995)
[34] Lihat juga, Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle
Eastern Responce (London: Phoenix, 2002)
[35] Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca
Orde Baru (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 227
[36] Ahmad al Rasyuni dan Muhammad
jamal Barut, Ijtihad, terj. Ibnu
Rusydi (Jakarta: Erlangga, 2002), 28
[37] Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), 93-94. Lihat Juga, Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam (Lahore: Kazi
Publication, 1985)
[38] Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi,
Civic Education: Antara Realitas Politik
dan Implementasi Hukumnya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 223
[39] Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), 154-155
[40] Pioter Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, terj.
Alimandan (Jakarta: Prenada, 2007), 82
[41] Pioter Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial....., 85-86. Lihat juga, Anthony
Giddens, The Consequences of Modernity
(Cambridge: Stanford University Press, 1990)
[42] Muhammad A.S Hikam, Islam, demokrasi dan Pemberdayaan Civil
Society (Jakarta: Erlangga, 2000), 42
[43] Muhammad A.S Hikam, Islam, demokrasi......, 44-45
[44] Pioter Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial....., 88
[45] Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam......., 94.
Lihat juga, Ann Kull, Piety and Politics,
Nurcholish Madjid and His Interpretation of Modern Indonesia (Lund: Lund
University, 2005), Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad dan Abdurrahman Wahib (Jakarta: Paramadina, 1995)
[46] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup
Seorang Visioner (Jakarta: Kompas, 2010), 117-118
[47] Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam......., 93
[48] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nurcholish Madjid......, 95-97
[49] Ahmad Gaus A.F, Api Islam Nurcholish Madjid...., 98