Makalah Pendidikan Islam-Kumpulan Makalah kali ini akan membahas kesehatan mental menurut agama islam. Maka penulis memberikan judul makalah dengan " Makalah Kesehatan Mental Dalam Islam. Semoga makalah ini bisa membantu para pelajar dalam mengerjakan tugas kuliah sesuai dengan fakultasnya masing-masing dan juga bisa bermanfaat bagi para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tulisannya, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran kesehatan jiwa, yakni : 1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai keluhan tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak sehat’ serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di dunia kedokteran; 2) Orientasi Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntunan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya; 3) Orientasi Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Terdapat empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli : 1)Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia hidup; 3)Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik); 4)Kesehatan adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa; 5)Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1.Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
2.Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
3.Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
4.Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dapat dikatakan sehat tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang disebut Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu: bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson lebih lanjut menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang.
Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.
Kedua, mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha menekan dorongan seksual dan agresifnya.
Keempat, harga diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).
Keenam, produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif.
Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibanding dengan pola pertama.
Hanna Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuaian diri, pola pengembangan potensi, dan pola agama. Pertama, pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants), gangguan atau penyakit nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya seseorang dari segala gejala, keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis. Kedua, pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. atau memenuhi kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk meyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani (human qualities) seperti kreativitas, produktivitas, kecerdasan, tanggung jawab, dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat, pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan hak dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Kesehatan mental yang dimaksudkan di sini lebih terfokus pada kesehatan mental yang berwawasan agama. Pemilihan ini selain karena konsisten denga pola-pola yang dikembangkan dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah Islam yang berkembang. Ibn Rusyd misalnya dalam “Fashl al-Maqal” menyatakan, “takwa itu merupakan kesehatan mental (shihah al-nufus)”. Statement itu menunjukkan bahwa dialektika kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau harus dijadikan sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.
Empat pola wawasan kesehatan jiwa dengan orientasinya sebagai berikut :
1.Pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symtomps) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang.
2.Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondiri jiwa yang sehat.
3.Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, dll dan mendatangkan manfaat bila dikembangkan secara optimal.
4.Pola wawasan yang berorientasi agama berpandangan bahwa agama atau keruhanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa dan kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan yang hidup.
Tuntunan agama Islam untuk kesehatan mental dikemukakan dalam dua hal, yaitu:
1.Ayat-ayat al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan mental.
2.Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan mengembangan kesehatan mental pada khususnya.
Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.
Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT memberikan rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama, jalur tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan isinya yang disebut dengan jalur kauniyah atau sunnatulah.
Keimanan yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6 karakter yaitu:
Karakter Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya ditempuh melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq . Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan berzikir kepadaNya sesuai firman Allah QS. Ali-Imran ayat191:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk menginternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya fitrah menusia yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga tingka lakunya didominasi olehNya.
Karakter Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat yang agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya (1) menjalankan perintahNya dan tidak berbuat maksiat sesuai firman Allah QS. Al-Tahrim ayat 6:
yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Bertasbih kepadaNya sesuai Firman Allah QS. Al-Zumar ayat 75
yang artinya : "Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-mmlaikat berlingkar di sekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".
Menyampaikan informasi kepada yang lain, Firman Allah QS. Al-Nahl ayat 102:
yang artinya : "Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Membagi-bagikan rizki untuk kesejahteraan beramal dan memelihara kebun (Jannat) yang indah, firman Allah QS. Ar-Ra’d ayat24:
yang artinya : "(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu".
Karakter Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani dalam tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca, memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Karakter Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat dipercaya (al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh) dan cerdas (al-Fathonah).
Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini, firman Allah QS. al-Dhuha ayat 4:
yang artinya : "Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)".
Dan bertanggung jawab, firman Allah QS. al-Nisaa’ ayat 77:
yang artinya : "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Karakter Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk kemaslahatan hidupnya.
Metode Islamiah
Islam secara etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah) . Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim membentuk lima karakter ideal.
Karakter syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi dan hawa nafsu seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Furqon43:
yang artinya : "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya.
Lalu mengisi diri sepenuh hati hanya kepada Allah SWT.
Karakter mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan dengan sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan dalam kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.
Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya serta pemerataan kesejahteraan ummat pada umumnya. Seperti dalam firman Allah QS. al-Taubah ayat 103 :
yang artinya : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah maka ia berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
Karakter hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.
Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang mengetahui hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan dengan niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan kepribadian muhsin yang ditempuh dalam beberapa tahapan , yaitu:
Tahapan permulaan (al-bidayah)
Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli yaitu mengosongkan diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat)
Tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik yang disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) taubat dari segala tngkah laku yang mengandung dosa; 2) menjaga diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’); 3) tidak terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr); 5) sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan Allah; 7) ridha terhadap pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan; 9) ikhlas melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf) dan berharap (al-raja) terhadap Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah); 12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir, berzikir dan sebagainya.
Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik yaitu:
•Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi diri sendiri.
•Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada Allah.
•Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang diperbuat.
•Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena melakukan keburukan.
•Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik.
•Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya.
•Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir agar tersingkap semua rahasia Allah.
Tahapan merasakan (al-Muziqat)
Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan denganNya. Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan ini biasa dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang mampu menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-fana. Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan . Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul apa yang disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai kebahagiaan tertinggi yang dicita-citakan.
Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental
Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Beberapa Sifat Tercela (Mazmumah)
Sifat-sifat tercela secara tidak langsung atau langsung dapat menimbulkan gangguan dan penyakit kejiwaan yang dalam tulisan ini dibatasi enam sifat tercela, yaitu: Bakhil, Aniaya, Dengki, Ujub, Nifak dan Ghadhab.
Bakhil
Bakhil artinya kikir, yaitu ketidaksediaan untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak-pihak lain yang membutuhkan seprti, fakir miskin, kepentingan umum, agama dan lain-lain. Di lain pihak, orang bakhil biasanya tidak pernah puas mengumpulkan harta benda. Ayat Al Qur’an mengenai perbuatan bakhil:
yang artinya : "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).’ (QS. Muhammad: 38)
Aniaya
Aniaya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan serta menimbulkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain serta menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya. Ayat Al Qur’an mengenai aniaya:
yang artinya : "Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.’ (QS. Yunus: 44)
Dengki
Dengki artinya tidak senang melhat orang lain memperoleh keberuntungan kebajikan. Orang-orang dengki senantiasa mengharapkan bahkan berupaya agar keberuntungan yang diperoleh orang lain hilang ayau jatuh kepada si pendengki itu sendiri. Ayat Al Qur’an mengenai dengki:
yang artinya : "Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’ (QS. Al-Baqarah:109)
Ujub
Ujub artinya membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri dan perasaan puas karenanya, dengan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Ayat Al-Qur’an mengenai ujub:
yang artinya : "Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ (QS. AL-Fathir:8)
Nifak
Nifak artinya bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi karakteristik orang munafik. Ayat Al Qur’an mengenai nifak:
yang artinya : "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.’ (QS. Al-Baqarah: 8)
Ghadhab
Ghadhab diartikan secara khusus sebagai marah atau kemarahan dalam konotasi negatif dan berlebihan, sedangkan secara umum diartikan sebagai al nafsu al ammarah bissu’ yang selalu mendorong perbuatan jahat sehingga mengakibatkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Ayat Al Qur’an mengenai ghadhab:
yang artinya : "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. Yusuf: 53)
Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Pentingnya Agama Untuk Kesehatan Mental
Sudah tentu semua ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya agama untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat, termasuk meraih jiwa yang sehat. Zakiah Daradjat dalam tulisan-tulisannya mengenai Agama dan Kesehatan Jiwa menunjukkan pengaruh positif dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam terhadap kondisi kesehatan mental.
Mengingat masalah agama merupakan masalah yang sangat luas dan kompleks, maka tulisan ini hanya mengungkapkan ayat-ayat di Al Qur’an yang berkaitan dengan tiga pilar agama Islam, yaitu: iman (akidah), Islam (syari’ah), dan Ihsan (akhlak).
Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondosi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, terutama matang pula keimanan dan ketetakwaannya kepada Allah SWT. Dengan demikian dalam Islam nyatalah betapa pentingnya pengembangan pribadi untuk meraih kualitas insan paripurna yang didalam otaknya sarat dengan ilmu pengetahuan, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah SWT, sikap dan perilakunya benar-benar merealisasikan nila-nilai keislaman yang mantap dsan teguh, wataknya terpuji, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang.
Cara peningkatan kualitas pribadi yang sedikit mendekati tipe ideal:
•Hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai akidah, syari’ah dan akhlak, serta berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
•Melakukan latihan intensif yang bercorak Psiko-edukatif. Dengan ini, diharapkan para peserta sadar diri akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya serta menyadari serta menghayati betapa pentingnya menigkatkan diri.
•Pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-religius, yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah.
Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu: pertama, kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara). Dari pengertian semantik ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah” juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang. Atau dalam bahasa Inggris berarti calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi arti “sakinah” dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan (al-qalaq/anxiety) dan kesulitan atau kesempitan batin (al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau peperangan, rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia) dan kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan keyakinannya bertambah.
Pengertian “ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman Allah SWT:
yang berbunyi : "Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan dari rasa takut.
Sedangkan rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi mental yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah. Allah berfirman QS. Al-Baqarah ayat156:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
bersikap bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk. Allah berfirman QS. Al-Baqarah ayat 216:
yang artinya : "Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan. Allah berfirman QS. al-Baqarah ayat 155:
yang artinya : "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan. Allah berfirman QS. al-Insyirah ayat 4-5:
yang artinya : "Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (5) karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Kedua, memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit mental. Firman Allah SWT QS. Yasin ayat 35:
yang artinya : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”.
Sabda Nabi SAW: “makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan itu merupakan anugerah (fadhl) dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu: (1) bersifat alami (fitri), seperti keadaan postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan dari keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugerah itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi; (2) dapat diusahakan (kasbi), seperti bagaimana mendayagunakan postur tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier, bagaimana memfungsikan karakter agresif, dan sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan seperti cinta kepada sesama saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari dan Muslim), sikap saling membantu,asah, asih, dan asuh. Firman Allah SWT:
yang artinya : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)
Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan kesehatan mental.
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan diri seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala risiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kedua persoalan ini dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab apa yang dimiliki menusia, baik berupa jiwa-raga atau kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT semata. Sebagai amanah, apabila seseorang menerimanya dalam kondisi baik, maka tidak boleh disia-siakan atau mensikapi dengan sikap yang meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas emosi, melainkan digunakan untuk kemashalatan di jalan Allah. Namun apabila diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak boleh mengumpat-ngumpat, menyikapi secara apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya. Sikap yang seharusnya dilakukan adalah menerima dengan baik dan berusaha seoptimal mungkin.
Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang lain ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan yang demikian itu maka hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing di lingkungannya sendiri, dan hidupnya mendapatkan simpati dari lingkungan sosialnya.
Kedelapan, memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental, sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau nati esok hari.”
Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dikap penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya.
Kepuasan (satisfaction) merupakan salah satu suasana batin seseorang yang secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor dalam memasuki semua aspek kehidupan. Kepuasan adalah suatu kondisi kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah mencapai satu tujuan atau sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang setelah ia memuaskan satu motif. Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya perasaan senang dan sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan motif dicapai. Davis bersama Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan dan sikap individu tentang menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang bersumber dari seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan.”
Kriteria kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Menurut teori Abraham Maslow, hirarki kebutuhan tersebut digolongkan atas dua taraf, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs), yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.
Tanpa menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial, terutama yang dikembangkan dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan adanya keridhaan dari Allah SWT. Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan diperoleh seseorang kecuali ia beraktivitas secara baik, benar, jujur, dan mentaati segala aturan. Dengan ridha Allah pula ia mendapatkan kepuasan dari aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Tanda-tanda kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.
BAB III
PENUTUP
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.
Metode imaniah akan membentuk karakter Rabbani, karakter Maliki, karakter Qurani, karakter Rasuli, karakter yang berwawasan dan melihat ke masa depan dan karakter takdiri. Metode Islam dapat membentuk karakter muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Sedangkan tahapan Ihsaniah, dibentuk dalam tiga tahapan yaitu: Tahapan permulaan (al-bidayah), Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat), dan Tahapan merasakan (al-Muziqat).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim
Bastaman, H. D. (1995). Integrasi psikologi dengan Islam, menuju psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Zakiah. (1982). Islam dan kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung.
Godam64. (2007). Hal / Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Manusia, Internal Dan Eksternal - Psikologi.
Hasyim, M. F. (2008). Agama dan kesehatan mental.
Kesehatan Mental.
Mujib, Abdul. (2002). Nuansa-nuansa psikologi Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rz Mawardi, Imam. (2008). Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 1).
PENDAHULUAN
Dalam tulisannya, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran kesehatan jiwa, yakni : 1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai keluhan tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak sehat’ serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di dunia kedokteran; 2) Orientasi Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntunan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya; 3) Orientasi Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Terdapat empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli : 1)Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia hidup; 3)Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik); 4)Kesehatan adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa; 5)Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1.Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
2.Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
3.Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
4.Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dapat dikatakan sehat tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang disebut Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu: bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson lebih lanjut menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang.
Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.
Kedua, mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha menekan dorongan seksual dan agresifnya.
Keempat, harga diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).
Keenam, produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif.
Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibanding dengan pola pertama.
Hanna Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuaian diri, pola pengembangan potensi, dan pola agama. Pertama, pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants), gangguan atau penyakit nafsaniah. Kesehatan mental berarti terhindarnya seseorang dari segala gejala, keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis. Kedua, pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. atau memenuhi kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk meyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani (human qualities) seperti kreativitas, produktivitas, kecerdasan, tanggung jawab, dan sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Keempat, pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan hak dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Kesehatan mental yang dimaksudkan di sini lebih terfokus pada kesehatan mental yang berwawasan agama. Pemilihan ini selain karena konsisten denga pola-pola yang dikembangkan dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah Islam yang berkembang. Ibn Rusyd misalnya dalam “Fashl al-Maqal” menyatakan, “takwa itu merupakan kesehatan mental (shihah al-nufus)”. Statement itu menunjukkan bahwa dialektika kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak mau harus dijadikan sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.
Empat pola wawasan kesehatan jiwa dengan orientasinya sebagai berikut :
1.Pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symtomps) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang.
2.Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondiri jiwa yang sehat.
3.Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, dll dan mendatangkan manfaat bila dikembangkan secara optimal.
4.Pola wawasan yang berorientasi agama berpandangan bahwa agama atau keruhanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa dan kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan yang hidup.
Tuntunan agama Islam untuk kesehatan mental dikemukakan dalam dua hal, yaitu:
1.Ayat-ayat al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan mental.
2.Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan mengembangan kesehatan mental pada khususnya.
Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.
Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT memberikan rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama, jalur tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan isinya yang disebut dengan jalur kauniyah atau sunnatulah.
Keimanan yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6 karakter yaitu:
Karakter Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya ditempuh melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq . Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan berzikir kepadaNya sesuai firman Allah QS. Ali-Imran ayat191:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk menginternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya fitrah menusia yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga tingka lakunya didominasi olehNya.
Karakter Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat yang agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya (1) menjalankan perintahNya dan tidak berbuat maksiat sesuai firman Allah QS. Al-Tahrim ayat 6:
yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Bertasbih kepadaNya sesuai Firman Allah QS. Al-Zumar ayat 75
yang artinya : "Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-mmlaikat berlingkar di sekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam".
Menyampaikan informasi kepada yang lain, Firman Allah QS. Al-Nahl ayat 102:
yang artinya : "Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Membagi-bagikan rizki untuk kesejahteraan beramal dan memelihara kebun (Jannat) yang indah, firman Allah QS. Ar-Ra’d ayat24:
yang artinya : "(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu".
Karakter Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani dalam tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca, memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Karakter Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat dipercaya (al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh) dan cerdas (al-Fathonah).
Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini, firman Allah QS. al-Dhuha ayat 4:
yang artinya : "Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)".
Dan bertanggung jawab, firman Allah QS. al-Nisaa’ ayat 77:
yang artinya : "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
Karakter Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk kemaslahatan hidupnya.
Metode Islamiah
Islam secara etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah) . Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim membentuk lima karakter ideal.
Karakter syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi dan hawa nafsu seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Furqon43:
yang artinya : "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya.
Lalu mengisi diri sepenuh hati hanya kepada Allah SWT.
Karakter mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan dengan sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan dalam kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.
Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya serta pemerataan kesejahteraan ummat pada umumnya. Seperti dalam firman Allah QS. al-Taubah ayat 103 :
yang artinya : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah maka ia berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
Karakter hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.
Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang mengetahui hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan dengan niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan kepribadian muhsin yang ditempuh dalam beberapa tahapan , yaitu:
Tahapan permulaan (al-bidayah)
Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli yaitu mengosongkan diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat)
Tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik yang disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) taubat dari segala tngkah laku yang mengandung dosa; 2) menjaga diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’); 3) tidak terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr); 5) sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan Allah; 7) ridha terhadap pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan; 9) ikhlas melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf) dan berharap (al-raja) terhadap Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah); 12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir, berzikir dan sebagainya.
Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik yaitu:
•Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi diri sendiri.
•Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada Allah.
•Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang diperbuat.
•Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena melakukan keburukan.
•Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik.
•Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya.
•Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir agar tersingkap semua rahasia Allah.
Tahapan merasakan (al-Muziqat)
Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan denganNya. Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan ini biasa dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang mampu menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-fana. Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan . Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul apa yang disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai kebahagiaan tertinggi yang dicita-citakan.
Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental
Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Beberapa Sifat Tercela (Mazmumah)
Sifat-sifat tercela secara tidak langsung atau langsung dapat menimbulkan gangguan dan penyakit kejiwaan yang dalam tulisan ini dibatasi enam sifat tercela, yaitu: Bakhil, Aniaya, Dengki, Ujub, Nifak dan Ghadhab.
Bakhil
Bakhil artinya kikir, yaitu ketidaksediaan untuk memberikan sebagian hartanya kepada pihak-pihak lain yang membutuhkan seprti, fakir miskin, kepentingan umum, agama dan lain-lain. Di lain pihak, orang bakhil biasanya tidak pernah puas mengumpulkan harta benda. Ayat Al Qur’an mengenai perbuatan bakhil:
yang artinya : "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).’ (QS. Muhammad: 38)
Aniaya
Aniaya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan serta menimbulkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain serta menimbulkan kerusakan terhadap lingkungannya. Ayat Al Qur’an mengenai aniaya:
yang artinya : "Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.’ (QS. Yunus: 44)
Dengki
Dengki artinya tidak senang melhat orang lain memperoleh keberuntungan kebajikan. Orang-orang dengki senantiasa mengharapkan bahkan berupaya agar keberuntungan yang diperoleh orang lain hilang ayau jatuh kepada si pendengki itu sendiri. Ayat Al Qur’an mengenai dengki:
yang artinya : "Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’ (QS. Al-Baqarah:109)
Ujub
Ujub artinya membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri dan perasaan puas karenanya, dengan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Ayat Al-Qur’an mengenai ujub:
yang artinya : "Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ (QS. AL-Fathir:8)
Nifak
Nifak artinya bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi karakteristik orang munafik. Ayat Al Qur’an mengenai nifak:
yang artinya : "Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.’ (QS. Al-Baqarah: 8)
Ghadhab
Ghadhab diartikan secara khusus sebagai marah atau kemarahan dalam konotasi negatif dan berlebihan, sedangkan secara umum diartikan sebagai al nafsu al ammarah bissu’ yang selalu mendorong perbuatan jahat sehingga mengakibatkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Ayat Al Qur’an mengenai ghadhab:
yang artinya : "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. Yusuf: 53)
Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Pentingnya Agama Untuk Kesehatan Mental
Sudah tentu semua ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya agama untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat, termasuk meraih jiwa yang sehat. Zakiah Daradjat dalam tulisan-tulisannya mengenai Agama dan Kesehatan Jiwa menunjukkan pengaruh positif dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam terhadap kondisi kesehatan mental.
Mengingat masalah agama merupakan masalah yang sangat luas dan kompleks, maka tulisan ini hanya mengungkapkan ayat-ayat di Al Qur’an yang berkaitan dengan tiga pilar agama Islam, yaitu: iman (akidah), Islam (syari’ah), dan Ihsan (akhlak).
Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondosi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, terutama matang pula keimanan dan ketetakwaannya kepada Allah SWT. Dengan demikian dalam Islam nyatalah betapa pentingnya pengembangan pribadi untuk meraih kualitas insan paripurna yang didalam otaknya sarat dengan ilmu pengetahuan, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah SWT, sikap dan perilakunya benar-benar merealisasikan nila-nilai keislaman yang mantap dsan teguh, wataknya terpuji, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang.
Cara peningkatan kualitas pribadi yang sedikit mendekati tipe ideal:
•Hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai akidah, syari’ah dan akhlak, serta berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
•Melakukan latihan intensif yang bercorak Psiko-edukatif. Dengan ini, diharapkan para peserta sadar diri akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya serta menyadari serta menghayati betapa pentingnya menigkatkan diri.
•Pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-religius, yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah.
Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu: pertama, kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara). Dari pengertian semantik ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah” juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang. Atau dalam bahasa Inggris berarti calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi arti “sakinah” dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan (al-qalaq/anxiety) dan kesulitan atau kesempitan batin (al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau peperangan, rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia) dan kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan keyakinannya bertambah.
Pengertian “ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman Allah SWT:
yang berbunyi : "Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan dari rasa takut.
Sedangkan rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi mental yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah. Allah berfirman QS. Al-Baqarah ayat156:
yang artinya : "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
bersikap bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk. Allah berfirman QS. Al-Baqarah ayat 216:
yang artinya : "Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan. Allah berfirman QS. al-Baqarah ayat 155:
yang artinya : "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan. Allah berfirman QS. al-Insyirah ayat 4-5:
yang artinya : "Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (5) karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Kedua, memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit mental. Firman Allah SWT QS. Yasin ayat 35:
yang artinya : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”.
Sabda Nabi SAW: “makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan itu merupakan anugerah (fadhl) dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu: (1) bersifat alami (fitri), seperti keadaan postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan dari keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugerah itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi; (2) dapat diusahakan (kasbi), seperti bagaimana mendayagunakan postur tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier, bagaimana memfungsikan karakter agresif, dan sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan seperti cinta kepada sesama saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari dan Muslim), sikap saling membantu,asah, asih, dan asuh. Firman Allah SWT:
yang artinya : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)
Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan kesehatan mental.
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan diri seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala risiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kedua persoalan ini dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab apa yang dimiliki menusia, baik berupa jiwa-raga atau kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT semata. Sebagai amanah, apabila seseorang menerimanya dalam kondisi baik, maka tidak boleh disia-siakan atau mensikapi dengan sikap yang meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas emosi, melainkan digunakan untuk kemashalatan di jalan Allah. Namun apabila diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak boleh mengumpat-ngumpat, menyikapi secara apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya. Sikap yang seharusnya dilakukan adalah menerima dengan baik dan berusaha seoptimal mungkin.
Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang lain ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan yang demikian itu maka hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing di lingkungannya sendiri, dan hidupnya mendapatkan simpati dari lingkungan sosialnya.
Kedelapan, memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental, sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau nati esok hari.”
Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dikap penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya.
Kepuasan (satisfaction) merupakan salah satu suasana batin seseorang yang secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor dalam memasuki semua aspek kehidupan. Kepuasan adalah suatu kondisi kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah mencapai satu tujuan atau sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang setelah ia memuaskan satu motif. Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya perasaan senang dan sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan motif dicapai. Davis bersama Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan dan sikap individu tentang menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang bersumber dari seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan.”
Kriteria kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Menurut teori Abraham Maslow, hirarki kebutuhan tersebut digolongkan atas dua taraf, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs), yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.
Tanpa menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial, terutama yang dikembangkan dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan adanya keridhaan dari Allah SWT. Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan diperoleh seseorang kecuali ia beraktivitas secara baik, benar, jujur, dan mentaati segala aturan. Dengan ridha Allah pula ia mendapatkan kepuasan dari aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Tanda-tanda kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.
BAB III
PENUTUP
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.
Metode imaniah akan membentuk karakter Rabbani, karakter Maliki, karakter Qurani, karakter Rasuli, karakter yang berwawasan dan melihat ke masa depan dan karakter takdiri. Metode Islam dapat membentuk karakter muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Sedangkan tahapan Ihsaniah, dibentuk dalam tiga tahapan yaitu: Tahapan permulaan (al-bidayah), Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat), dan Tahapan merasakan (al-Muziqat).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim
Bastaman, H. D. (1995). Integrasi psikologi dengan Islam, menuju psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Zakiah. (1982). Islam dan kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung.
Godam64. (2007). Hal / Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Manusia, Internal Dan Eksternal - Psikologi.
Hasyim, M. F. (2008). Agama dan kesehatan mental.
Kesehatan Mental.
Mujib, Abdul. (2002). Nuansa-nuansa psikologi Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rz Mawardi, Imam. (2008). Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 1).