Pengkajian Stratejik
Konsep-Konsep
Keamanan Kontemporer
I.
Pendahuluan
I.I.
Latar Belakang
“security,
in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values, in a
subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked”
(Buzan, 1991:4).
Menurut Barry Buzan,
Keamanan merupakan ketiadaan ancaman dari nilai-nilai yang dibutuhkan manusia
dalam menjalani kehidupannya.[1] Sebelum
perang dingin, isu keamanan didominasi oleh keamanan militer sehingga banyak
menimbulkan kemungkinan terjadinya perang dalam dunia internasional. Dalam hal
ini, aktor yang sangat mendominasi adalah negara (state centric). Negara memiliki kapabilitas dalam menentukan
kekuatan militer nasional dan strategi yang digunakannya.
Iklim internasional
pada saat perang dingin mulai memasuki struktur bipolar. Sistem ini ditunjukan
dengan adanya balance of power antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sedangkan, memasuki era pasca perang dingin struktur internasional menjadi
multipolar. Aktor-aktor yang bermain dalam sistem internasional lebih kompleks
atau mulai menyentuh non-state actors seperti
oganisasi internasional, mutinational coorporation, transnational actor, bahkan
individu. Semakin banyak aktor yang
terlibat, semakin besar pengaruhnya terhadap stabilitas keamanan dan isu-isu
yang muncul semakin kompleks tidak hanya terfokus pada keamanan militer, perang
dan damai, tetapi isu kemanusiaan, gender meanstreaing, transnational organized
crime dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, konsep
keamanan kontemporer perlu untuk dikaji untuk mengetahui ancaman apa saja yang
muncul dan bagaimana solusi menghadapinya.
II.
Isi
Ancaman
apa saja yang masuk dalam kategori keamanan kontemporer?
Konsep keamanan kontemporer muncul akibat
ancaman-ancaman yang tidak lagi berfokus pada pandangan milteristik. Ancaman
tersebut antara lain terkait dengan keamanan terhadap manusia (human security), keamanan terhadap transnational organized crime, isu gender
dan lain sebagainya. Masing-masing konsep keamanan kontemporer tersebut
memiliki ancaman yang lebih spesifik lagi terhadap stabilitas politik, ekonomi,
sosial, dan budaya negara.
Human
Security
Menurut UNDP, human
security adalah “keamanan dari berbagai ancaman kronis seperti kelaparan,
penyakit dan represi. Selain itu juga merupakan perlindungan dari gangguan atas
pola kehidupan sehari-hari baik di rumah, tempat kerja atau komunitas. Jadi,
secara umum, definisi human security
menurut UNDP mencakup “freedom from fear
and freedom from want”. Human security muncul sebagai kritik terhadap
konsep keamanan tradisional yang mengabaikan jaminan terhadap keamanan
individu. Dengan demikian human security memandang
individu sebagai objek utama. UNDP mengklasifikasikan ancaman terhadap manusia
ke dalam tujuh kategori[2],
yaitu:
1.
Keamanan Ekonomi (Economic Security)
Ekonomi mengancam kehidupan manusia
karena dengan keterbatasan ekonomi dapat melemahkan taraf hidup seseorang.
Individu sulit untuk mengakses pangan, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya
tanpa ekonomi yang baik. Begitu pula dengan komunitas, komunitas sulit untuk
menjaga lingkungan tanpa ekonomi yang menunjang.
2.
Keamanan Pangan (Food Security)
Kategori
ini masuk ke dalam ancaman human security karena terdapat fenomena dimana
pangan yang tidak memenuhi standar dan kualitas yang menunjang manusia. Selain
itu juga perlu untuk menjamin manusia dalam mengakses pangan sebagai kebutuhan
pokok.
3.
Keamanan Kesehatan (Health Security)
Kesehatan terancam ketika terdapat
banyak penyakit dan gangguan kesehatan yang mengganggu kehidupan banyak orang.
Human security bermaksud untuk melindungi manusia dari gaya hidup (lifestyle) yang tidak sehat.
4.
Keamanan Lingkungan (Environment Security)
Lingkungan termasuk hal penting bagi
kehidupan manusia karena interaksi manusia terjadi di dalamnya. Namun, dengan
adanya degradasi lingkungan banyak hal yang mengancam alam dan manusia. Isu
yang terkait salah satunya adalah isu maritim yang termasuk ke dalam keamanan
lingkungan. Keamanan lingkungan bertujuan melindungi manusia dari dampak buruk
kerusakkan dan atau bencana alam akibat ulah manusia maupun degradasi tersebut.
Contoh ancaman lainnya adalah rendahnya akses air bersih, polusi udara, global
warming dan sebagainya.
5.
Keamanan Personal (Personal Security)
Individu terancam dari berbagai
kemungkinan terjadinya kekerasan baik dari pihak luar maupun pihak dalam. Pihak
dalam yang dimaksud adalah ancaman yang berasal dari sendiri yang bermaksud
untuk bunuh diri (suicide).
6.
Keamanan Komunitas (Community Security)
Komunitas terdiri dari individu-individu
yang mengadopsi berbagai aliran atau perspektif. Kemungkinan muncul konflik
dari perbedaan yang ada sehingga dibutuhkan peran human security.
7.
Keamanan Politik (Politics Security)
Human security memastikan setiap
individu hidup di dalam masyarakat yang mampu menghargai hak asasi manusia.
Human Security
dianut oleh beberapa negara seperti Afrika Selatan dan Kanada. Human Security ini berkontribusi terhadap
proses development negara. Dengan menjamin kehidupan manusia atau dimulai dari
level yang terendah dipercaya dapat memberikan pengaruh yang baik untuk
perkembangan negara. Namun, proses yang menjamin human security tidak serta
merta tercapai dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan waktu yang lama dan
kerjasama dengan aktor lain untuk menjamin keamanan manusia.
Transnational
Organized Crime
Transnational
Organized Crime (TOC) merupakan fenomena yang
memiliki dampak pada keamanan internasional, world politics, perdagangan
internasional dan hak asasi manusia. Fenomena ini menunjukkan perluasan tindak
kejahatan baik dari aktornya, tujuannya, dan cara pengoperasiannya. Kejahatan
transnasional dapat berbentuk terorisme, korupsi, money laundring, human trafficking, perdagangan ilegal dan kejahatan
transnasional lainnya yang terorganisir dan tersembunyi.[3]
Transnational
Organized Crime (TOC) menjadi ancaman kontemporer
dimana mereka para pelaku memiliki berbagai cara untuk menjalankan misinya
tanpa terdeteksi oleh pihak pemerintah kemudian begitu mempengaruhi proses
pengambilan keputusan (decision making)
dan kebijakan luar negeri (foreign policy)
suatu negara. Kemajuan teknologi dan informasi menjadi fasilitas bagi jaringan
pelaku tindak kejahatan transnasional untuk berkomunikasi dengan jaringannya di
negara lain. Percakapan, interaksi, dan bukti-bukti kejahatan dapat tersembunyi
menggunakan bantuan teknologi informasi seperti enkripsi dan steganography yang
menggunakan kode-kode khusus.[4]
Gender Mainstreaming
Dalam keamanan kontemporer, seperti yang diketahui
memiliki isu-isu yang luas. Bahkan, dalam setiap konsep keamanan kontemporer
sudah masuk isu gender yang menuntut kesetaraan peran dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan. Kesetaraan yang
dituntut bukan hanya dalam pengakuan dalam derajat melainkan kesetaraan dalam
memperoleh pekerjaan yang layak, ke ikut sertaan dalam lembaga dan aktivitas
politik, dan dalam setiap penerimaan hak yang sama seperti hak yang diperoleh
oleh laki-laki karena yang dirasakan dan fakta konkret nya adalah bahwa wanita
selalu menempati level yang rendah disbanding laki-laki.
Kejahatan juga lebih mendominasi terhadap kaum
perempuan karena peraturan bagi perempuan yang begitu lebih kompleks dibanding
laki-laki yang memiliki banyak kebebasan dibanding laki-laki. Para social
movement yang concern dan terfokus dalam gender mainstreaming ini lebih
menjunjung rasa kesetaraan yang harus dimiliki wanita karena hal tersebut
adalah hak asasi yang harus dimiliki wanita, mereka juga menganggap hadirnya
wanita dan penerimaan wanita dalam dunia kerja akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan serta
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
Studi Kasus – Tentara Anak di Sierra Leone (Perang Sipil 1991-2001)
Terkait dengan konsep keamanan kontemporer, kami
mengambil satu kasus yang relevan dengan topik ini dan termasuk ke dalam konsep
human security yaitu mengenai
fenomena tentara anak. Anak
mempunyai hak asasi, sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa. Pemberitaan
yang menyangkut hak anak tidak segencar pemberitaan hak-hak orang dewasa (HAM)
atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Tidak banyak pihak yang turut
memikirkan dan melakukan langkah-langkah konkrit menyangkut perlindungan hak
anak. Termasuk upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar oleh negara,
orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri yang tidak begitu menaruh
perhatian akan kepentingan masa depan anak. [5]
Fenomena ini banyak terjadi pada daerah konflik
benua Afrika, khususnya Afrika Barat. Afrika barat merupakah sebuah
kawasan dimana terdapat banyak negara yang dilanda permasalahan yang kompleks.
Kerawanan konflik kawasan itu tidak bisa maju seperti Asia yang kini sebagai
kawasan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia. Menurut penelitian Ted
Robert Gurr, sepuluh dari enam belas negara di kawasan Afrika Barat mengalami
persoalan konflik internal sejak periode 1980-an; yaitu Ghana, Guinea, Ivory
Coast, Liberia, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal dan Sierra Leone.
Karakteristik dan konflik internal ini umumnya terjadi antara kelompok dalam
masyarakat (communal contender),
kelompok suku (ethnoclass), konflik dengan penduduk asli atau lokal (indigenous
people), atau kelompok separatis etnonasionalis.[6]
Konflik internal di Afrika Barat yang turut menyita
perhatian dunia adalah perang sipil di Sierra Loene. Konflik mulai berkecamuk
pada tahun 1991, akibat munculnya kelompok pemberontak RUF (Revolutionary Unity
Front) yang didukung oleh Liberia. RUF mengaku sebagai gerakan politis yang
akan menjunjung pembebasan dan demokrasi, pada kenyataannya RUF adalah satu
organisasi yang terdiri dari sekelompok pemuda yang merasa tidak puas dan
menimbulkan malapetaka bagi negaranya. Mereka tidak puas akibat sentralisasi
politik, diskriminasi ekonomi, serta penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan
pemerintah selama bertahun-tahun. Puluhan ribu penduduk tewas, lebih dari 2
juta penduduk menjadi pengungsi. Diperkirakan sekitar lebih dari 5000 anak-anak
ambil bagian dalam pertempuran antara RUF dan Pemerintah Sierra Leone.[7]
Sierra Leone adalah negara terpencil di bagian barat Benua Afrika berbatasan
dengan Republik Guinea di wilayah tenggara dan Liberia di wilayah bagian
selatan. Ditemukan oleh seorang penjelajah Portugis Pedro da Cintra tahun 1462
dalam perjalanannya mengarungi Samudera Atlantik.
Perekrutan anak-anak sebagai tentara juga
dilatarbelakangi oleh adanya faktor manusia di daerah tersebut yang semakin
lama semakin berkurang. Karena taraf hidup orang dewasa disana relatif berumur
pendek, dan juga faktor psikologi bahwa anak-anak lebih polos dan mudah
didoktrin. Proses perekrutan tentara anak bermacam-macam bentuknya. Seorang
anak bisa saja dengan sukarela masuk ke dalam kelompok militer karena tuntutan
hidup, dan direkrut secara paksa.[8]
Penggunaan anak dalam konflik bersenjata melanggar
Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Aksi Segera Untuk Mengeliminasi
Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja
Anak (the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of Worst Form
Child Labour) Pasal 3 mencantumkan, pemaksaan anak dalam konflik bersenjata
sebagai salah satu bentuk terburuk pekerja anak. Serdadu anak pun dianggap
sebagai pekerjaan berbahaya yang mengancam kesehatan, keselamatan jiwa, dan
moral anak. Dalam hal ini, batasan usia seorang anak adalah 18 tahun menurut
ketentuan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), yang statusnya lebih tinggi dari
Konvensi ILO No. 138. Sementara, dalam International Criminal Court yang baru,
perekrutan paksa anak di bawah usia 15 tahun dianggap kejahatan perang
sekaligus kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).
Sehubungan dengan itu dengan perhatiannya
organisasi-organisasi internasional khususnya PBB melalui UNICEF (United
Nations Children’s Funs) organisasi yang diberi amanat oleh PBB untuk
mempromosikan dan menjamin dihormatinya hak-hak anak. UNICEF merupakan
satu-satunya organisasi PBB yang secara eksklusif mengangkat tentang
permasalahan anak, dalam ruang lingkup perlindungan anak, pertolongan terhadap
anak, dan menjaga perkembangan anak-anak sesuai dengan kerangka kerja Konvensi
Hak Anak-Anak. Menurut UNICEF, tiap tahunnya berpuluh ribu anak dijadikan
pekerja yang dieksploitasi dan dijadikan komoditas bagi yang memiliki
kepentingan dominan. Hak keselamatan serta pertumbuhan mereka terancam karena
tindak kekerasan yang mereka alami. Untuk itu dalam konteks menjamin dan
melindungi hak-hak anak, realisasinya diwujudkan dalam kebijakan (policy), hukum (law), dan regulasi yang sensitif hak anak-anak. Sedangkan dalam
konteks pemenuhan hak anak, realisasinya diwujudkan dalam program atau
aktifitas atau tindakan. Menurut data UNICEF, sekitas tiga ratus ribu anak
dibawah 18 tahun telah dieksploitasi di 72 pasukan tentara pemerintah maupun
kelompok pemberontak sebagai tentara anak tersebar di 20 negara tiap tahunnya.[9]
Dalam kaitannya dengan human security, fenomena tentara anak ini merupakan pelanggaran hak
manusia yang mengikutsertakan anak di bawah umur ke dalam konflik bersenjata.
Terjadi kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual oleh kelompok pemberontak
(RUF). Anak-anak direkrut bukan hanya menjadi militan tetapi dimanfaatkan
menjadi juru masak, kurir, mata-mata (spies),
dan bunuh diri (suicide bombers). Konflik
membawa dampak negatif, apalagi penggunaan anak sebagai garda depan perang,
merupakan pelanggaran HAM yang harus ditindak lanjuti. Di sini digambarkan
bahwa anak adalah generasi penerus bangsa sehingga patut untuk dilindungi.
Konflik ini diselesaikan dengan adanya perjanjian
damai Abidjan I (Abidjan Peace Accord I) di kota Abidjan, Cote D’ivoire, pada
30 November 1996 setelah terpilihnya Ahmad Tejan kabbah sebagai perdana
menteri. Dalam perjanjian ini RUF mendapatkan banyak keuntungan, selain
mendapat posisi dalam Sierra Leone, RUF sama sekali tidak dikenakan sanksi dan
pertanggung jawaban atas aksinya. Menanggapi hal tersebut, terjadi Perjanjian
Damai Lome (Lome Peace Agreement) yang menegosiasikan tentang pemberian posisi
RUF dalam kursi parlemen pemerintah. Namun, pasca perjanjian ini RUF terus
melancarkan aksi-aksi kekerasan sampai pada aksi penculikan 500 peacekeeper
UNAMSIL (UN Peacekeeping Mission). Pada akhirnya tercapai perjanjian Abidjan II
yang menyeret Charles Taylor, mantan pemimpin negara Afrika pertama, ke
pengadilan penjahat perang.
Dalam kasus perang di Sierra Leone, keterlibatan
anak-anak dibawah umur dalam konflik bersenjata merupakan pola yang dilakukan
oleh RUF untuk merekrut anggota. RUF merekrut sekitar 5000 personil yang
seluruhnya adalah anak-anak yang kisaran umutnya antara 8-14 tahun. Mereka
dipaksa untuk bertarung, dan bagi anak-anak ini kekacauan akibat perang saudara
di negaranya menjadikan mereka berada di posisi sulit. Setelah orang tua dan
tetangganya dibantai, kampung halaman mereka dibumi hanguskan, pilihannya hanya
ada dua: masuk ke dalam salah satu kelompok pasukan atau mati dibunuh oleh
salah satu dari mereka.
Dengan demikian, kasus ini termasuk ke dalam konsep
keamanan kontemporer dimana perlindungan terhadap hak-hak anak perlu untuk
diperhatikan akibat pengeksploitasian anak sebagai tentara. Selain itu, dalam
kasus ini juga sudah mulai melibatkan banyak aktor seperti kelompok dalam
masyarakat, dalam hal ini mereka para pemberontak / RUF, kemudian ada PBB
dengan lembaga lainnya seperti UNICEF. Penyelesaian konflik ini pun tidak
melulu diselesaikan dengan perang tetapi lebih kepada pertemuan yang berisi
kegiatan diplomasi, negosiasi, perjanjian dan lain sebagainya.
Cara apa saja
yang ditempuh dalam konsep keamanan kontemporer?
sebelum perang dingin, negara cenderung
menyelesaikan masalah dan menghadapi ancaman yang ada dengan kemungkinan perang
atau damai saja. Namun, dalam konsep keamanan kontemporer, perang bukan
satu-satunya cara yang ditempuh untuk mencapai suatu keamanan dan stabilitas
nasional maupun internasional. Cara yang ditempuh lebih bersifat soft karena melibatkan proses diplomasi,
perundingan, perjanjian yang mempertemukan berbagai pihak terkait dan cara
halus lainnya. Selain itu, cara yang ditempuh juga dapat melalui
institusi-institusi atau organisasi internasional yang ada di dalam sistem
internasional sehingga saling mempengaruhi
karena dalam menghadapi isu-isu kontemporer actor dalam menyelesaikan sebuah
kasus atau fenomena sudah lebih kompleks di banding sebelum perang dingin.
Banyak aktor yang dapat turut serta dan di akui keberadaannya oleh banyak pihak
dan interaksi seperti negara, lembaga, kelompok individu bahkan individu
sekalipun dalam penyelesainnya. Sehingga dapat dikatakan dalam setiap
penyelesaiannya dapat melalui banyak cara yang memudahkan masing-masing pihak.
Problem Solving
yang lebih soft dapat meminimalisir keadaan yang anarkis sehingga tidak
semakin anakis, dapat mengurangi kontak dan interaksi senjata, dan perpecahan
yang semakin parah dalam keadaan konflik. Cara-cara yang ditempuh seperti
diplomasi dilakukan agar hubungan Negara berkonflik tetap berjalan dengan baik
karena pada era kontemporer ini apabila Negara-negara berkonflik dalam satu
sisi misalnya militer tidak dapat disangkal mereka tetap melakukan kerjasama
ekonomi, budaya maupun social. Sehingga tidak merusak dan mengganggu kestabilan
dalam aspek lain negra. Diplomasi dan negosiasi pun dipermudah dengan adanya
diplomat atau perwakilan tiap Negara di masing-masing Negara sehingga interaksi
dan mediasi tidak sulit dilaksanakan.
Konflik kontemporer juga lebih sering menghasilkan
perrjanjian, konfensi, traktat atau pun kesepakatan tertulis lainnya yang
dilaksanakan dengan musyawarah tanpa melakukan perang dan kekerasan terlebih
dahulu dalam penyelesaiannya yang jauh berbeda sebelum masa perang dingin.
Selain itu, hadirnya win win solution dalam penyelesain setiap kasus, artinya
ka nada solusi yang menghadirkan keuntungan pada kedua pelah pihak. Keuntungan
yang didapat tidak melulu masalah penyatuan teteapi adakalanya dalam
penyelesainya terdapat perpecahan yang akan menghasilkan perdamaian. Seperti
pada saat jerman barat dan jerman timur.
Cara lain dalam penyelesaian isu kontemporer adalah
dengan melakukan penangkaran atau deterrence dalam setiap kasusnya. Penangkaran
disini dilakukan sebagai gertakan dan ancaman yang lebih halus agar pihak lawan
tidak melakukan tindakan kekerasan, perang ataupun sebagai balasan yang tidak
dimulai dengan kekerasan. karena pada masa kontemporer ini kekuatan
Negara-negara yang ada cenderung lebih seimbang, seimbang dalam power di intern
nya dan seimbang dalam power yang berasal dari kerjasama , aliansi dan
club-club yang diikuti.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum perang dingin,
isu keamanan didominasi oleh keamanan militer sehingga banyak menimbulkan
kemungkinan terjadinya perang dalam dunia internasional. Dalam hal ini, aktor
yang sangat mendominasi adalah negara (state
centric). Namun pasca perang dingin
isu keamanan lebih kompleks dan menuju pada isu yang lebih kontemporer yang
membahas tentang aspek yang lebih menyentuh segala kehidupan dan actor yang
terlibat pun lebih kompleks juga meliputi institusi baik internasional maupun
local, transnastional actor, bahkan individu.
Konsep
keamanan sebelum perang dingin lebih terfokus pada milter yang dianggap sebagai
keamanan dan kestabilan utama. Karena jika keamanan militernya dianggap telah
aman dan dapat dikuasai maka kestabilan dalam aspek lain seperti ekonomi,
sosial, budaya dan lainnya akan stabil juga. Berbeda dengan keamanan
kontemporer atau konsep keamanan yang sekarang, konsep keamanan lebih luas dan
meliputi hampir segala aspek kehidupan, seperti human security, transnational
crime, gender mainstreaming, technology, nuclear, environment, dan lain sebagainya
yang diikuti dengan institusi dan lembaga yang turut memperjuangkannya dan
berusaha membawa isu isu dan konsep kemanan tersebut dalam agenda yang dibahas
dalam pemerintahan maupun internasional.
Dalam
penyelesaiannya, konsep keamanan kontemporer lebih menghasilkan penyelesaian
yang lebih soft dan mengurangi hadirnya kekerasan dalam setiap penyelesaiannya
seperti negoisasi, mediasi, diplomasi dan hadirnya musyawarah dan menghasilkan
kebijakan dan perjanjian. Lain dengan isu kemanan sebelum perang dingin yang
lebih mengarah military power dalam penyelesain setiap masalah. Diplomasi dan
musyawarah yang berjalan pun menghasilkan kebijakan win-win solution bagi kedua
belah pihak yang berkonflik sehingga konflik mereda dan memulihkan kestabilan.
[1] Buzan Barry, An
Introduction to Strategic Studies
[2] Jurnal Isu-Isu Global
Kontemporer, Henk Dan, Human Security: Relevance and Implication.
[3] Jurnal Isu-Isu Global
Kontemporer, Zabyelina Yuliya, Transnational Organized Crime in International
Relations, CE JISS
[4] Transnational Crime and
Corruption Center 2000 Annual Conference, Transnational Crime, Corrupotion, and
Information Technology, November 30-December 1 2000
[5] Absori, Sh.,Mhum, Perlindungan Hukum dan Hak Anak-anak dan
Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol.
2. No. 1, Maret 2005, hlm 78.
[6] Basic Data on Minorities
at Risk, Ted Robert Gurr, Minorities at
Risk; A global view of Ethnopolitical Conflicts (Washington DC : USIP
Press, 1993) hlm 326-329, lihat juga skripsi Artanti Wardhani, “Dinamika
Keamanan Regional di Kawasan Afrika Barat : Peran ECOWAS dalam Menyelesaikan
Konflik Internal di Sierra Leone”, FISIP UI, 2003, hlm 2
[7] “What’s Going On : Child
Soldiers in Sierra Leone”, diakses dari situs http://www.un.org/works/goingon/soldiers/goingon_soldiers.html tanggal 27 April 2013
p\pukul 20:32 WIB
[8] Sebagian besar tentara
anak terdiri dari accompanied child (anak
tak bertuan) yaitu seseorang yang berumur di bawah 18 tahun terpisah dari kedua
orangtuanya, tidak ada perlindungan orang dewasa, dan tidak ada perlindungan
hukum terhadapnya.
[9] UNICEF, Adult Wars,
Child Soldiers (Bangkok: UNICEF, 2002), http://www.unicef.org/emerg/AdultWarsChildSoldiers.pdf, p.8 diakses tanggal 27
April 2013 pukul 20:50 WIB