الأربعاء، 15 يناير 2014

Makalah Keamanan Kontemporer

Pengkajian Stratejik
Konsep-Konsep Keamanan Kontemporer
I.              Pendahuluan

I.I.     Latar Belakang
“security, in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked” (Buzan, 1991:4).

Menurut Barry Buzan, Keamanan merupakan ketiadaan ancaman dari nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya.[1] Sebelum perang dingin, isu keamanan didominasi oleh keamanan militer sehingga banyak menimbulkan kemungkinan terjadinya perang dalam dunia internasional. Dalam hal ini, aktor yang sangat mendominasi adalah negara (state centric). Negara memiliki kapabilitas dalam menentukan kekuatan militer nasional dan strategi yang digunakannya.

Iklim internasional pada saat perang dingin mulai memasuki struktur bipolar. Sistem ini ditunjukan dengan adanya balance of power antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sedangkan, memasuki era pasca perang dingin struktur internasional menjadi multipolar. Aktor-aktor yang bermain dalam sistem internasional lebih kompleks atau mulai menyentuh non-state actors seperti oganisasi internasional, mutinational coorporation, transnational actor, bahkan individu. Semakin banyak aktor yang terlibat, semakin besar pengaruhnya terhadap stabilitas keamanan dan isu-isu yang muncul semakin kompleks tidak hanya terfokus pada keamanan militer, perang dan damai, tetapi isu kemanusiaan, gender meanstreaing, transnational organized crime dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, konsep keamanan kontemporer perlu untuk dikaji untuk mengetahui ancaman apa saja yang muncul dan bagaimana solusi menghadapinya.

II.               Isi

Ancaman apa saja yang masuk dalam kategori keamanan kontemporer?
Konsep keamanan kontemporer muncul akibat ancaman-ancaman yang tidak lagi berfokus pada pandangan milteristik. Ancaman tersebut antara lain terkait dengan keamanan terhadap manusia (human security), keamanan terhadap transnational organized crime, isu gender dan lain sebagainya. Masing-masing konsep keamanan kontemporer tersebut memiliki ancaman yang lebih spesifik lagi terhadap stabilitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya negara.

Human Security
Menurut UNDP, human security adalah “keamanan dari berbagai ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit dan represi. Selain itu juga merupakan perlindungan dari gangguan atas pola kehidupan sehari-hari baik di rumah, tempat kerja atau komunitas. Jadi, secara umum, definisi human security menurut UNDP mencakup “freedom from fear and freedom from want”. Human security muncul sebagai kritik terhadap konsep keamanan tradisional yang mengabaikan jaminan terhadap keamanan individu. Dengan demikian human security memandang individu sebagai objek utama. UNDP mengklasifikasikan ancaman terhadap manusia ke dalam tujuh kategori[2], yaitu:

1.        Keamanan Ekonomi (Economic Security)
Ekonomi mengancam kehidupan manusia karena dengan keterbatasan ekonomi dapat melemahkan taraf hidup seseorang. Individu sulit untuk mengakses pangan, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya tanpa ekonomi yang baik. Begitu pula dengan komunitas, komunitas sulit untuk menjaga lingkungan tanpa ekonomi yang menunjang.

2.        Keamanan Pangan (Food Security)
Kategori ini masuk ke dalam ancaman human security karena terdapat fenomena dimana pangan yang tidak memenuhi standar dan kualitas yang menunjang manusia. Selain itu juga perlu untuk menjamin manusia dalam mengakses pangan sebagai kebutuhan pokok.
3.        Keamanan Kesehatan (Health Security)
Kesehatan terancam ketika terdapat banyak penyakit dan gangguan kesehatan yang mengganggu kehidupan banyak orang. Human security bermaksud untuk melindungi manusia dari gaya hidup (lifestyle) yang tidak sehat.
4.        Keamanan Lingkungan (Environment Security)
Lingkungan termasuk hal penting bagi kehidupan manusia karena interaksi manusia terjadi di dalamnya. Namun, dengan adanya degradasi lingkungan banyak hal yang mengancam alam dan manusia. Isu yang terkait salah satunya adalah isu maritim yang termasuk ke dalam keamanan lingkungan. Keamanan lingkungan bertujuan melindungi manusia dari dampak buruk kerusakkan dan atau bencana alam akibat ulah manusia maupun degradasi tersebut. Contoh ancaman lainnya adalah rendahnya akses air bersih, polusi udara, global warming dan sebagainya.
5.        Keamanan Personal (Personal Security)
Individu terancam dari berbagai kemungkinan terjadinya kekerasan baik dari pihak luar maupun pihak dalam. Pihak dalam yang dimaksud adalah ancaman yang berasal dari sendiri yang bermaksud untuk bunuh diri (suicide).
6.        Keamanan Komunitas (Community Security)
Komunitas terdiri dari individu-individu yang mengadopsi berbagai aliran atau perspektif. Kemungkinan muncul konflik dari perbedaan yang ada sehingga dibutuhkan peran human security.
7.        Keamanan Politik (Politics Security)
Human security memastikan setiap individu hidup di dalam masyarakat yang mampu menghargai hak asasi manusia.
Human Security dianut oleh beberapa negara seperti Afrika Selatan dan Kanada. Human Security ini berkontribusi terhadap proses development negara. Dengan menjamin kehidupan manusia atau dimulai dari level yang terendah dipercaya dapat memberikan pengaruh yang baik untuk perkembangan negara. Namun, proses yang menjamin human security tidak serta merta tercapai dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan waktu yang lama dan kerjasama dengan aktor lain untuk menjamin keamanan manusia. 

Transnational Organized Crime
Transnational Organized Crime (TOC) merupakan fenomena yang memiliki dampak pada keamanan internasional, world politics, perdagangan internasional dan hak asasi manusia. Fenomena ini menunjukkan perluasan tindak kejahatan baik dari aktornya, tujuannya, dan cara pengoperasiannya. Kejahatan transnasional dapat berbentuk terorisme, korupsi, money laundring, human trafficking, perdagangan ilegal dan kejahatan transnasional lainnya yang terorganisir dan tersembunyi.[3]

Transnational Organized Crime (TOC) menjadi ancaman kontemporer dimana mereka para pelaku memiliki berbagai cara untuk menjalankan misinya tanpa terdeteksi oleh pihak pemerintah kemudian begitu mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making) dan kebijakan luar negeri (foreign policy) suatu negara. Kemajuan teknologi dan informasi menjadi fasilitas bagi jaringan pelaku tindak kejahatan transnasional untuk berkomunikasi dengan jaringannya di negara lain. Percakapan, interaksi, dan bukti-bukti kejahatan dapat tersembunyi menggunakan bantuan teknologi informasi seperti enkripsi dan steganography yang menggunakan kode-kode khusus.[4]

Gender Mainstreaming
Dalam keamanan kontemporer, seperti yang diketahui memiliki isu-isu yang luas. Bahkan, dalam setiap konsep keamanan kontemporer sudah masuk isu gender yang menuntut kesetaraan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan yang dituntut bukan hanya dalam pengakuan dalam derajat melainkan kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, ke ikut sertaan dalam lembaga dan aktivitas politik, dan dalam setiap penerimaan hak yang sama seperti hak yang diperoleh oleh laki-laki karena yang dirasakan dan fakta konkret nya adalah bahwa wanita selalu menempati level yang rendah disbanding laki-laki.

Kejahatan juga lebih mendominasi terhadap kaum perempuan karena peraturan bagi perempuan yang begitu lebih kompleks dibanding laki-laki yang memiliki banyak kebebasan dibanding laki-laki. Para social movement yang concern dan terfokus dalam gender mainstreaming ini lebih menjunjung rasa kesetaraan yang harus dimiliki wanita karena hal tersebut adalah hak asasi yang harus dimiliki wanita, mereka juga menganggap hadirnya wanita dan penerimaan wanita dalam dunia kerja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

Studi Kasus – Tentara Anak di Sierra Leone (Perang Sipil 1991-2001)

Terkait dengan konsep keamanan kontemporer, kami mengambil satu kasus yang relevan dengan topik ini dan termasuk ke dalam konsep human security yaitu mengenai fenomena tentara anak. Anak mempunyai hak asasi, sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa. Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar pemberitaan hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah konkrit menyangkut perlindungan hak anak. Termasuk upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar oleh negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri yang tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. [5]

Fenomena ini banyak terjadi pada daerah konflik benua Afrika, khususnya Afrika Barat. Afrika barat merupakah sebuah kawasan dimana terdapat banyak negara yang dilanda permasalahan yang kompleks. Kerawanan konflik kawasan itu tidak bisa maju seperti Asia yang kini sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia. Menurut penelitian Ted Robert Gurr, sepuluh dari enam belas negara di kawasan Afrika Barat mengalami persoalan konflik internal sejak periode 1980-an; yaitu Ghana, Guinea, Ivory Coast, Liberia, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal dan Sierra Leone. Karakteristik dan konflik internal ini umumnya terjadi antara kelompok dalam masyarakat (communal contender), kelompok suku (ethnoclass), konflik dengan penduduk asli atau lokal (indigenous people), atau kelompok separatis etnonasionalis.[6]

Konflik internal di Afrika Barat yang turut menyita perhatian dunia adalah perang sipil di Sierra Loene. Konflik mulai berkecamuk pada tahun 1991, akibat munculnya kelompok pemberontak RUF (Revolutionary Unity Front) yang didukung oleh Liberia. RUF mengaku sebagai gerakan politis yang akan menjunjung pembebasan dan demokrasi, pada kenyataannya RUF adalah satu organisasi yang terdiri dari sekelompok pemuda yang merasa tidak puas dan menimbulkan malapetaka bagi negaranya. Mereka tidak puas akibat sentralisasi politik, diskriminasi ekonomi, serta penyalahgunaan kekuasaan yang dijalankan pemerintah selama bertahun-tahun. Puluhan ribu penduduk tewas, lebih dari 2 juta penduduk menjadi pengungsi. Diperkirakan sekitar lebih dari 5000 anak-anak ambil bagian dalam pertempuran antara RUF dan Pemerintah Sierra Leone.[7] Sierra Leone adalah negara terpencil di bagian barat Benua Afrika berbatasan dengan Republik Guinea di wilayah tenggara dan Liberia di wilayah bagian selatan. Ditemukan oleh seorang penjelajah Portugis Pedro da Cintra tahun 1462 dalam perjalanannya mengarungi Samudera Atlantik.

Perekrutan anak-anak sebagai tentara juga dilatarbelakangi oleh adanya faktor manusia di daerah tersebut yang semakin lama semakin berkurang. Karena taraf hidup orang dewasa disana relatif berumur pendek, dan juga faktor psikologi bahwa anak-anak lebih polos dan mudah didoktrin. Proses perekrutan tentara anak bermacam-macam bentuknya. Seorang anak bisa saja dengan sukarela masuk ke dalam kelompok militer karena tuntutan hidup, dan direkrut secara paksa.[8]

Penggunaan anak dalam konflik bersenjata melanggar Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Aksi Segera Untuk Mengeliminasi Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak (the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of Worst Form Child Labour) Pasal 3 mencantumkan, pemaksaan anak dalam konflik bersenjata sebagai salah satu bentuk terburuk pekerja anak. Serdadu anak pun dianggap sebagai pekerjaan berbahaya yang mengancam kesehatan, keselamatan jiwa, dan moral anak. Dalam hal ini, batasan usia seorang anak adalah 18 tahun menurut ketentuan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), yang statusnya lebih tinggi dari Konvensi ILO No. 138. Sementara, dalam International Criminal Court yang baru, perekrutan paksa anak di bawah usia 15 tahun dianggap kejahatan perang sekaligus kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).

Sehubungan dengan itu dengan perhatiannya organisasi-organisasi internasional khususnya PBB melalui UNICEF (United Nations Children’s Funs) organisasi yang diberi amanat oleh PBB untuk mempromosikan dan menjamin dihormatinya hak-hak anak. UNICEF merupakan satu-satunya organisasi PBB yang secara eksklusif mengangkat tentang permasalahan anak, dalam ruang lingkup perlindungan anak, pertolongan terhadap anak, dan menjaga perkembangan anak-anak sesuai dengan kerangka kerja Konvensi Hak Anak-Anak. Menurut UNICEF, tiap tahunnya berpuluh ribu anak dijadikan pekerja yang dieksploitasi dan dijadikan komoditas bagi yang memiliki kepentingan dominan. Hak keselamatan serta pertumbuhan mereka terancam karena tindak kekerasan yang mereka alami. Untuk itu dalam konteks menjamin dan melindungi hak-hak anak, realisasinya diwujudkan dalam kebijakan (policy), hukum (law), dan regulasi yang sensitif hak anak-anak. Sedangkan dalam konteks pemenuhan hak anak, realisasinya diwujudkan dalam program atau aktifitas atau tindakan. Menurut data UNICEF, sekitas tiga ratus ribu anak dibawah 18 tahun telah dieksploitasi di 72 pasukan tentara pemerintah maupun kelompok pemberontak sebagai tentara anak tersebar di 20 negara tiap tahunnya.[9]

Dalam kaitannya dengan human security, fenomena tentara anak ini merupakan pelanggaran hak manusia yang mengikutsertakan anak di bawah umur ke dalam konflik bersenjata. Terjadi kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual oleh kelompok pemberontak (RUF). Anak-anak direkrut bukan hanya menjadi militan tetapi dimanfaatkan menjadi juru masak, kurir, mata-mata (spies), dan bunuh diri (suicide bombers). Konflik membawa dampak negatif, apalagi penggunaan anak sebagai garda depan perang, merupakan pelanggaran HAM yang harus ditindak lanjuti. Di sini digambarkan bahwa anak adalah generasi penerus bangsa sehingga patut untuk dilindungi.

Konflik ini diselesaikan dengan adanya perjanjian damai Abidjan I (Abidjan Peace Accord I) di kota Abidjan, Cote D’ivoire, pada 30 November 1996 setelah terpilihnya Ahmad Tejan kabbah sebagai perdana menteri. Dalam perjanjian ini RUF mendapatkan banyak keuntungan, selain mendapat posisi dalam Sierra Leone, RUF sama sekali tidak dikenakan sanksi dan pertanggung jawaban atas aksinya. Menanggapi hal tersebut, terjadi Perjanjian Damai Lome (Lome Peace Agreement) yang menegosiasikan tentang pemberian posisi RUF dalam kursi parlemen pemerintah. Namun, pasca perjanjian ini RUF terus melancarkan aksi-aksi kekerasan sampai pada aksi penculikan 500 peacekeeper UNAMSIL (UN Peacekeeping Mission). Pada akhirnya tercapai perjanjian Abidjan II yang menyeret Charles Taylor, mantan pemimpin negara Afrika pertama, ke pengadilan penjahat perang.

Dalam kasus perang di Sierra Leone, keterlibatan anak-anak dibawah umur dalam konflik bersenjata merupakan pola yang dilakukan oleh RUF untuk merekrut anggota. RUF merekrut sekitar 5000 personil yang seluruhnya adalah anak-anak yang kisaran umutnya antara 8-14 tahun. Mereka dipaksa untuk bertarung, dan bagi anak-anak ini kekacauan akibat perang saudara di negaranya menjadikan mereka berada di posisi sulit. Setelah orang tua dan tetangganya dibantai, kampung halaman mereka dibumi hanguskan, pilihannya hanya ada dua: masuk ke dalam salah satu kelompok pasukan atau mati dibunuh oleh salah satu dari mereka.

Dengan demikian, kasus ini termasuk ke dalam konsep keamanan kontemporer dimana perlindungan terhadap hak-hak anak perlu untuk diperhatikan akibat pengeksploitasian anak sebagai tentara. Selain itu, dalam kasus ini juga sudah mulai melibatkan banyak aktor seperti kelompok dalam masyarakat, dalam hal ini mereka para pemberontak / RUF, kemudian ada PBB dengan lembaga lainnya seperti UNICEF. Penyelesaian konflik ini pun tidak melulu diselesaikan dengan perang tetapi lebih kepada pertemuan yang berisi kegiatan diplomasi, negosiasi, perjanjian dan lain sebagainya.

Cara apa saja yang ditempuh dalam konsep keamanan kontemporer?
sebelum perang dingin, negara cenderung menyelesaikan masalah dan menghadapi ancaman yang ada dengan kemungkinan perang atau damai saja. Namun, dalam konsep keamanan kontemporer, perang bukan satu-satunya cara yang ditempuh untuk mencapai suatu keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional. Cara yang ditempuh lebih bersifat soft karena melibatkan proses diplomasi, perundingan, perjanjian yang mempertemukan berbagai pihak terkait dan cara halus lainnya. Selain itu, cara yang ditempuh juga dapat melalui institusi-institusi atau organisasi internasional yang ada di dalam sistem internasional sehingga saling mempengaruhi karena dalam menghadapi isu-isu kontemporer actor dalam menyelesaikan sebuah kasus atau fenomena sudah lebih kompleks di banding sebelum perang dingin. Banyak aktor yang dapat turut serta dan di akui keberadaannya oleh banyak pihak dan interaksi seperti negara, lembaga, kelompok individu bahkan individu sekalipun dalam penyelesainnya. Sehingga dapat dikatakan dalam setiap penyelesaiannya dapat melalui banyak cara yang memudahkan masing-masing pihak.

Problem Solving yang lebih soft dapat meminimalisir keadaan yang anarkis sehingga tidak semakin anakis, dapat mengurangi kontak dan interaksi senjata, dan perpecahan yang semakin parah dalam keadaan konflik. Cara-cara yang ditempuh seperti diplomasi dilakukan agar hubungan Negara berkonflik tetap berjalan dengan baik karena pada era kontemporer ini apabila Negara-negara berkonflik dalam satu sisi misalnya militer tidak dapat disangkal mereka tetap melakukan kerjasama ekonomi, budaya maupun social. Sehingga tidak merusak dan mengganggu kestabilan dalam aspek lain negra. Diplomasi dan negosiasi pun dipermudah dengan adanya diplomat atau perwakilan tiap Negara di masing-masing Negara sehingga interaksi dan mediasi tidak sulit dilaksanakan.

Konflik kontemporer juga lebih sering menghasilkan perrjanjian, konfensi, traktat atau pun kesepakatan tertulis lainnya yang dilaksanakan dengan musyawarah tanpa melakukan perang dan kekerasan terlebih dahulu dalam penyelesaiannya yang jauh berbeda sebelum masa perang dingin. Selain itu, hadirnya win win solution dalam penyelesain setiap kasus, artinya ka nada solusi yang menghadirkan keuntungan pada kedua pelah pihak. Keuntungan yang didapat tidak melulu masalah penyatuan teteapi adakalanya dalam penyelesainya terdapat perpecahan yang akan menghasilkan perdamaian. Seperti pada saat jerman barat dan jerman timur.

Cara lain dalam penyelesaian isu kontemporer adalah dengan melakukan penangkaran atau deterrence dalam setiap kasusnya. Penangkaran disini dilakukan sebagai gertakan dan ancaman yang lebih halus agar pihak lawan tidak melakukan tindakan kekerasan, perang ataupun sebagai balasan yang tidak dimulai dengan kekerasan. karena pada masa kontemporer ini kekuatan Negara-negara yang ada cenderung lebih seimbang, seimbang dalam power di intern nya dan seimbang dalam power yang berasal dari kerjasama , aliansi dan club-club yang diikuti.

III.             PENUTUP

Kesimpulan

Sebelum perang dingin, isu keamanan didominasi oleh keamanan militer sehingga banyak menimbulkan kemungkinan terjadinya perang dalam dunia internasional. Dalam hal ini, aktor yang sangat mendominasi adalah negara (state centric). Namun pasca perang dingin isu keamanan lebih kompleks dan menuju pada isu yang lebih kontemporer yang membahas tentang aspek yang lebih menyentuh segala kehidupan dan actor yang terlibat pun lebih kompleks juga meliputi institusi baik internasional maupun local, transnastional actor, bahkan individu.

Konsep keamanan sebelum perang dingin lebih terfokus pada milter yang dianggap sebagai keamanan dan kestabilan utama. Karena jika keamanan militernya dianggap telah aman dan dapat dikuasai maka kestabilan dalam aspek lain seperti ekonomi, sosial, budaya dan lainnya akan stabil juga. Berbeda dengan keamanan kontemporer atau konsep keamanan yang sekarang, konsep keamanan lebih luas dan meliputi hampir segala aspek kehidupan, seperti human security, transnational crime, gender mainstreaming, technology, nuclear, environment, dan lain sebagainya yang diikuti dengan institusi dan lembaga yang turut memperjuangkannya dan berusaha membawa isu isu dan konsep kemanan tersebut dalam agenda yang dibahas dalam pemerintahan maupun internasional.

Dalam penyelesaiannya, konsep keamanan kontemporer lebih menghasilkan penyelesaian yang lebih soft dan mengurangi hadirnya kekerasan dalam setiap penyelesaiannya seperti negoisasi, mediasi, diplomasi dan hadirnya musyawarah dan menghasilkan kebijakan dan perjanjian. Lain dengan isu kemanan sebelum perang dingin yang lebih mengarah military power dalam penyelesain setiap masalah. Diplomasi dan musyawarah yang berjalan pun menghasilkan kebijakan win-win solution bagi kedua belah pihak yang berkonflik sehingga konflik mereda dan memulihkan kestabilan.



[1] Buzan Barry, An Introduction to Strategic Studies
[2] Jurnal Isu-Isu Global Kontemporer, Henk Dan, Human Security: Relevance and Implication.
[3] Jurnal Isu-Isu Global Kontemporer, Zabyelina Yuliya, Transnational Organized Crime in International Relations, CE JISS
[4] Transnational Crime and Corruption Center 2000 Annual Conference, Transnational Crime, Corrupotion, and Information Technology, November 30-December 1 2000
[5] Absori, Sh.,Mhum, Perlindungan Hukum dan Hak Anak-anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol. 2. No. 1, Maret 2005, hlm 78.
[6] Basic Data on Minorities at Risk, Ted Robert Gurr, Minorities at Risk; A global view of Ethnopolitical Conflicts (Washington DC : USIP Press, 1993) hlm 326-329, lihat juga skripsi Artanti Wardhani, “Dinamika Keamanan Regional di Kawasan Afrika Barat : Peran ECOWAS dalam Menyelesaikan Konflik Internal di Sierra Leone”, FISIP UI, 2003, hlm 2
[7] “What’s Going On : Child Soldiers in Sierra Leone”, diakses dari situs http://www.un.org/works/goingon/soldiers/goingon_soldiers.html tanggal 27 April 2013 p\pukul 20:32 WIB
[8] Sebagian besar tentara anak terdiri dari accompanied child (anak tak bertuan) yaitu seseorang yang berumur di bawah 18 tahun terpisah dari kedua orangtuanya, tidak ada perlindungan orang dewasa, dan tidak ada perlindungan hukum terhadapnya.
[9] UNICEF, Adult Wars, Child Soldiers (Bangkok: UNICEF, 2002), http://www.unicef.org/emerg/AdultWarsChildSoldiers.pdf, p.8 diakses tanggal 27 April 2013 pukul 20:50 WIB