الأربعاء، 22 يناير 2014

Peranan ASEAN Dalam Upaya Mendorong Pencabutan Sanksi AS Dan EROPA Bagi MAYANMAR Pada Tahun 2012

Kumpulan Makalah-Kali ini penulis ingin menyampaikan beberapa peranan ASEAN dalam negara-negara lain. untuk itu maka penulis ingin memberikan judul Makalah ini dengan "Peranan ASEAN Dalam Upaya Mendorong Pencabutan Sanksi AS Dan EROPA Bagi MAYANMAR Pada Tahun 2012". Semoga Kumpulan makalah ini dapat membantu bagi para pembaca, khususnya para pelajar/mahasiswa dengan fakultasnya masing-masing.

Mayanmar merupakan negara kesatuan dengan nama resmi Republic of the Union  of Mayanmar  yang sebelumnya bernama Union of Myanmar. Sejak tahun 19962, Myanmar, atau yang pada saat itu masih disebut Burma, telah dikuasai pemerintah Junta Militer setelah yang dilakukan oleh Jendral Ne Win. Sejak saat itu kepemimpinan nasional Myanmar dikuasai oleh rezim militer yang menjalankan sistem pemerintah secara represif. Myanmar sebagai negara dengan Pemerintahan Junta Militer, kerap  kali menjadi pusat perhatian dunia  dan masyarakat Internasional atas berbagai isu global dan pelangaran, seperti: pelangaran Hak Asasi Manusia  (HAM), Perdagangan Narkotika, Kerja Paksa, dan pelangaran Demokrasi.
Sebagai negara yang dikuasai rezim mmiliter, semakin besar pergerakan yang mendukung demokrasi, semakin besar pula usaha pemerintah militer Myanmar dalam membendungnya, contoh adalah penolakan militer terhadap hasil pemilu tahun 1990 yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi bersama partainya National League for Democratic (NLD). Berkuasanya kembali pemerintah militer pada tahun 1990 merupakan kelanjutan dari pemerintahan militer sebelumnya yang telah berkuasa sejak tahun 1962.(M. Adian Firnas, 2003. Hal.129)
Mayanmar merupakan salah satu negara angota Assocciation of South East Asia Nations (ASEAN ) yang mulai bergabung 23 Juli tahun 1997. ASEAN atau perhimpunan bangsa-bangsa kawasan Asia Tenggara adalah sebuah organisasi geopolitik dan ekonomi untuk Negara-negara AsiaTenggara berdiri pada 8 agustus 1967 di Bangkok, Thailand dimana pada saat itu di hadiri oleh 5 negara pendiri ASEAN, yaitu indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah organisasi yang berujuan untuk meningkatkan kerjasama multilateral antar negara dikawasan Asia Tenggara. Baru pada 1 Janari 1984 Burnei bergabung dan pada 1997, Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos pada 23 Juli 1997, Kamboja pada 30 April  1999. Dengan prinsip dasar sebagai berikuut pada awalnya: Menghormati kemerdekaan, kesamaan, integritas dan identitas nasional semua negara. Setiap negara memiliki hak untuk menyelesaikan permasalahan nasionalnya tanpa ada campur tangan dari luar. Penyelesaian perbedaan atau perdebatan antar negara dengan aman. Menolak penggunaan kekuatan dan kekerasan. Meningkatkan kerjasama yang efektif antara anggota.
Sebagai salah satu organisasi internasional–regional, ASEAN tentu tidak mendukung pemerintahan yang militeristik di negara tersebut terus berlangsung, hanya saja ASEAN melakukan pendekatan soft diplomacy dalam mengantarkan Myanmar menuju negara yang nantinya dapat menjunjung tinggi Hak Asasi Mnusia dan dapat diterapkan demokrasi. Pendekatan sof diplomacy yang diterapkan ASEAN secara organisatoris terhadap Myanmar tersebut yaitu pendekatan constructive engagement (keterlibatan konstruktif) yang intinya adalah upaya untuk membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan cara-cara ASEAN (ASEAN’s Way) tanpa harus mengunakan kekerasan, yaitu menyelesaikan permasalahan secara persuasif dengan melakukan promosi demokrasi dan tidak mengunakan kekuatan militer ataupun embargo untuk megisolasi Myanmar. (Bambang Cipto 2007, Hal. 71)
Terlepas dari keterbatasan peranannya karena adanya prinsip non-intervensi ASEAN yang telah dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dengan menyebutkan tidak adanya campur tangan (non-interference) dalam urusan domestik negara yang berdaulat. Kebijakan constructive engagement yang dikembangkan sejak tahun 1992 ini  merupakan implementasi dari nilai-nilai yang dianut para pembuat kebijakan ASEAN, yang menekankan pada konsensus dan menghindari konfrontasi dengan dasar semangat perdamaian, kerja keras dan solidaritas. Kebijakan keterlibatan konstruktif ASEAN ini juga menolak seruan dan usulan tentang sanksi militer ataupun ekonomi seperti yang ditekankan oleh PBB atau pun AS dan Uni Eropa dalam mempercepat proses demokratisasi di suatu negara. Dalam impelementasinya, ASEAN lebih memfokuskan perhatian pada tindakan saling membangun kepercayaan (confidence building measures) dengan tujuan mendorong pemerintah Myanmar menyadari manfaat mengintegrasikan diri ke dalam sistem regional dan arus utama masyarakat internasional.
Politik yang terjadi di Myanmar, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi di atas, telah menarik perhatian maysarakat internasional. Hal ini terlihat dalam berbagi pertemuan internasional, seperti dalam kerangka pertemuan Uni Eropa, APEC, ASEAN, dan juga dalam kerangka sidang PBB, dimana persoalan yang terjadi di Myanmar tersebut kerap menjadi salah satu isu yang dibahas. Bahkan dalam pertemuan-pertemuan bilateral antarnegara, khususnya dalam pertemuan antara salah satu negara Barat (khususnya Amerikat) dengan salah satu nengara anggota ASEAN (di luar Myanmar), isu Myanmar kerap juga menjadi salah satu agenda penting yang dibahas. Dalam berbagai pertemuan tersebut, semua pihak berharap prinsip-prinsip demokrasi dapat segera diterapkan di Myanmar. Prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri meliputi, antara lain, adanya pembagian kekuasaan, pemilu yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang konstitusional, pers yang bebas, beberapa partai politik, dan perlindungan hak asasi manusia. (James W. Prothro dan Charles M 2009, Hal. 276-294) Berbagai tindakan ataupun kebijakan junta militer yang selama ini dipandang tidak mendorong berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan warga harus segera dihentikan. Mereka berharap pemerintahan junta militer Myanmar tidak lagi menerapkan praktek-praktek politik kotor dalam mengelola sistem politik domestiknya.
Sebagaimana diketahui, intrik kotor junta ini mengundang reaksi keras dunia, setidaknya Presiden AS Barack Obama meminta agar Suu kyi dibebaskkan segera dan tanpa  syarat. Pemerinta AS juga memperpanjang sanksi tegas terhadap Myanmar. Uni Eropa melarang perjalanan bagi pejabat tinggi Myanmar, menerapkan embargo senjata, membekukan aset Myanmar di Eropa, seta melarang ekspor kayu, logam, dan batu mulia ke Eropa. PBB meminta pemerintah Myanmar membebaskan semua tahanan politik dari penahanan dan memperbolehkan semua kelompok oposisi berpatisipasi dalam pemilu.
Melihat pengaru ASEAN terhadap upaya mendorong pencabutan sanksi AS dan Uni Eropa  bagi Myanmar Neo – liberal institusionalisme memiliki beberapa argumen pokok pertama neo- liberal institusionalisme sangatlah state sentris. Dalam hal ini, negara dipandang sebagai aktor yang dominan dalam memainkan peran sebagai pembuat keputusan. Meski negara dipandang sebagai aktor yang egois rasional, tetapi negara tetap bisa diarahkan untuk bekerja sama terkait dengan kalkulasi untung rugi. Tujuanya adalah untuk menganalisis dan memisahkan kumpulan-kumpulan tertentu dari kekuasaan, kepentingan dan pilihan-pilihan yang munngkin untuk menjelaskan sumber-sumber dan batasan-batasan dari tingkah laku kooperatif (Nuraeni, Deasy Silvya, dan Afin Sudirman 2010, hal.55 ).
Dalam perkembangan politik yang terjadi di Myanmar belakangan ini menunjukan perkembangan yang positif, Myanmar dipandang sebagai aktor negara yang dominan untuk membuat keputusan sendiri menjadikan negara yang demokrai. setelah pemilu yang digelar di Myanmar pada Minggu 1 April 2012 lalu  di klaim telah berjalan dengan sukses, dimana oposisi memenangkan banyak kursi di parlemen. Klaim itu diungkapkan Presiden Myanmar Thein Sein di sela menghadiri pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penh, Kamboja. Partai pimpinan tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang besar dalam pemilu itu. Kemenangan itu disebut peraih Hadiah Nobel Perdamaian tersebut sebagai kemenangan rakyat setelah lepas dari ke diktatoran militter selama puluhan tahun. Menurut komisi pemilu Myanmar, NLD memenangkan 40 dari 45 kursi yang diperebutkan . Angka itu masih jauh di bawah kursi yang diduduki partai berkuasa, Partai Persatuan Pembangunan dan Solidaritas (USDP) yang dibentuk mantan junta militer.( Seputar Indonesia 4 April 2012, hal.11)
Kedua, dengan semakin tinggi interdependensi, semakin tinggi pula ‘tuntutan’ untuk melakan kerja sama. Institusi- institusi diangap mampu memberikan solosi terhadap berbagai jenis permasalahan secara kolektif. Karenanya, norma, aturan dan institusi-institusi di bentuk dan diputtuskan karena hal tersebut mampu membantu negara- negara menghadapi permasalahan bersama.
Ketiga, institusi – institusi itu mempunyai arti atau penting eksistensinya, karena ada keuntungan yang mampu mereka berikan, serta pengaruh mereka terhadap para aktor lain.

Perhimpuanan bangsa-bangsa Asia Tengara (ASEAN) secara resmi menyeru agar barat meringankan sanksi terhadap Mayanmar pascasuksesnya pemilu 1-4 April 2012 (Seputar Indonesia 5 April 2012).
Suksesnya gelaran pemilu sela di Myanmar pada minggu 1-4 April mendapatkan respon positif dari Amerika Serikat yang kemarin menyatakan bakal mengurangi sanksi kenegara itu.Respon cepat itu bersamaan dengan penunjukan duta besar AS untuk Myanmar.Hillary juga mengumumkan pencabutan larangan ekspor layanan keuangan dan investasi AS untuk Myanmar. (Seputar Indonesia 6 April 2012)
PM Inggeris David Cameron bertemu dengan Presiden Myanmar Thein Sein di kediaman resminya di ibu kota Myanmar, Napypyidaw .Cameron juga bertemu dengan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.Pertemuan antara Cameron dengan Thein dan Suu Kyi menjadi acuan para pemimpin dunia lain dalam memperlongar sanksi terhadap Myanmar. (Seputar Indonesia 14 April 2012 )
Daftar Pustaka
-M. Adian Firnas, 2003, ‘Proses Demokrasi di Myanmar’,Jurnal Universitas Paramadina ,Vol. 2 No. 2, Januari ,Hal. 129
-Bambang Sucipto, 2009, Hubungan Internasional di Asia Tenggara,Pustaka Pelajar, Yogyakarta Indonesia.
-James W. Prothro dan Charles M. Grigg, ‘Fundamental Principles of Democracy’, The Journal of Politics of Democracy, no. 22, hal. 276-294
-Seputar Indonesia, 4 April, 2012, hal.11.
-Nuraeni S, Deasy Silvya dan Arfin Sudirman 2010, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.