Makalah pendidikan – Makalah Pendidikan Sejarah. Berikut ini saya mempunyai makalah yang berjudul “Identitas Etnis Arab Di Indonesia Dan
Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia”.
Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk kalian para pembaca.
Abstrak
Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
merupakan hasil jerih payah seluruh komponen bangsa. Tidak hanya masyarakat
pribumi yang memberikan andil dalam perjuangan ini. Peran etnis lain pun juga
tak kalah penting, termasuk etnis Arab didalamnya.
Identifikasi masyarakat Arab
di Indonesia dalam menyatakan identitasnya mengalami dinamika yang sangat
dinamis. Mulai dari identitas ke-Islam-an, ke-Arab-an, dan sampai pada
pelabuhan terakhir, identitas ke-Indonesia-an. Walaupun demikian, perjuangan
untuk meraih identitas ke-Indonesia-an tidaklah berjalan mulus. Banyak
rintangan dan hambatan, yang dialami. Sedemikian sehingga ketika identitas itu
tertanam dalam benak mereka, maka konsekwensi atas pilihan mereka laksanakan
sebaik mungkin. Peranan mereka dalam upaya meraih kemerdekaan ditempuh dengan
pengorbanan yang tidak mudah.
PENDAHULUAN
Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia merupakan mozaik panjang yang sarat akan makna dan
kisah teladan. Banyak kisah yang dapat kita pelajari dari buku-buku sejarah
yang dengan mudah dapat ditemui, baik di perpustakaan-perpustakaan maupun yang
terhampar di toko buku. Sartono Kartodirjo (1988) sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Turmuzi[1]
mengatakan bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah memiliki
peran tidak hanya berfungsi untuk memberikan informasi dan sekumpulan fakta
tentang apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga berfungsi untuk menyadarkan
atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Oleh karena itu wajar jika
pembelajaran sejarah bangsa Indonesia telah dimulai sejak tingkat awal
pendidikan di bangku sekolah dasar. Dan berkat peran pembelajaran sejarah di
sekolah-lah kita mengenal nama-nama pahlawan nasional seperti Ki Hajar
Dewantara, Pangeran Diponegoro, KH. Agus Salim, sampai dengan nama dwi tunggal
Ir. Soekarno dan M. Hatta sebagai bapak Proklamasi Indonesia.
Namun
demikian, entah karena kelalaian penulisan sejarah atau sebuah kesengajaan
dengan tujuan-tujuan tertentu, ternyata kita secara tidak sadar digiring pada
sebuah pemahaman bahwa perjuangan kemerdekaan adalah jerih payah masyarakat
pribumi. Mungkin ada benarnya bahwa masyarakat pribumi telah mengeluarkan
segenap tenaga untuk mengusir penjajah. Masyarakat pribumi pulalah yang pertama
kali menggelorakan semangat nasionalisme sebagai amunisi untuk melawan tirani
penjajahan Belanda. Kita mengenal (dikenalkan) Boedi Oetomo sebagai organisasi
perjuangan pertama sehingga tanggal kelahirannyapun yaitu tanggal 20 Mei kita
peringati sebagai hari kebangkitan Nasional[2].
Kitapun tidak asing dengan Sumpah Pemuda yang digelorakan tanggal 28 Oktober
1928 di Jakarta sebagai bentuk komitmen pemuda Indonesia.
Secara sadar
dan berkaca pada sejarah, klaim perjuangan kemerdekaan adalah jerih payah kaum
pribumi sudah selayaknya kita tinggalkan. Ternyata jika kita runut peranan
etnis selain bangsa pribumi, terlalu banyak peranan mereka untuk kita ingkari.
Setidaknya dua kelompok peranakan yang ada di Indonesia juga memiliki andil
yang besar dalam upaya perjuangan kemerdekaan. Kita dapat melihat peranan
peranakan etnis Tiong Hoa dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan
organisasi Tiong Hoa Hoek Kian (THHK)-nya mereka mengaktualisasikan diri
sebagai warga Indonesia dan berjuang bersama-sama mengusir penjajah Belanda.
Kita juga dapat melihat bagaimana peranan etnis Arab di Indonesia didalamnya.
Tulisan ini
berusaha secara jujur mengungkapkan peranan etnis Arab di Indonesia dari masa
ke masa. Namun demikian, penulis mencoba untuk lebih fokus dalam pembahasan
peranan etnis arab pada periode awal abad ke 20 sampai dengan kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga berusaha mengungkap faktor-faktor yang
menyebabkan transformasi identitas etnis arab pada periode tersebut.
SEJARAH SINGKAT ETNIS ARAB DI INDONESIA
Membahas masuk
dan berkembangnya etnis Arab di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara. Terdapat beragam versi
tentang kapan sebenarnya Islam masuk ke nusantara. Setidaknya, tiga versi dapat
dikemukakan disini[3].
Yaitu teori Gujarat, dimana Islam masuk ke Indonesia melalui perantara para
pedagang Gujarat India [ada abad 13 Masehi, teori Persia, yaitu teori yang
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui peran pedagang asal Persia
pada abad 13, dan teori Arab yang menyatakan bahwa Islam dibawa oleh orang Arab
pada abad 7 Masehi.
Pandangan
yang menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas lebih banyak
dikemukakan oleh ahli sejarah Eropa. Diantaranya menurut Azra yang dikutip oleh
Cholis[4],
adalah Snouk Hurgronje, Fatimi, Vleke, Gonda, dan Schrieke. Sedangkan teori
Persia dikemukakan oleh PA Hoesein
Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, JC van Leur, M Dahlan Mansur, dan Haji
Abubakar Atjeh. Dan teori Arab dikemukakan oleh beberapa ahli sejarah kontemporer
terutama yang beragama Islam. Diantara mereka adalah Alwi Shihab dan Abdullah
Ali[5].
Selain itu juga terdapat beberapa sejarawan diantaranya adalah Zainal Arifin
Abbas, Dr. Hamka dan Drs. Junaidi Parinduri[6].
Sementara
itu, jika waktu serta asal muasal Islam masuk di Indonesia memunculkan berbagai
versi, maka ketika membahas etnis Arab berasal dari mana, maka sebagian besar
ahli sejarah meyepakati bahwa sebagian etnis Arab yang berada di nusantara
berasal dari Hadramaut, Yaman. LWC Van den Berg mengungkapkan bahwa terdapat
dua kelompok Arab yang berada di Nusantara. Kelompok kecil berasal dari Mekkah[7].
Mereka memanfaatkan momen Ibadah HAji untuk mengais rezeki. Dengan kesadaran
bahwa musim haji serta besarnya animo orang Nusantara untuk melakukan ibadah
haji dapat memberikan keuntungan, mereka berbondong-bondong masuk ke Nusantara.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa minimal setiap tahun terdapat 30 orang Mekkah
yang bermigrasi ke Singapura[8].
Namun demikian, ia menyatakan bahwa komunitas Mekkah di Nusantara tidak
memiliki pengaruh yang kuat baik dari segi etnologis maupun kebahasaan kecuali
pada pengaruh perpolitikan[9].
Sementara, kelompok besar dan yang mendominasi etnis Arab di Indonesia adalah
etnis yang berasal dari Hadramaut. Pemahaman ini akan sangat membantu
menganalisis pengaruh identtitas masyarakat Arab di Indonesia.
Tentang
gelombang kedatangan masyarakat Hadrami ke Indonesia terdapat beberapa versi.
Diantaranya yang disampaikan oleh Ismail Fajrie Alatas dalam pengantar edisi
kedua buku Orang Arab di Nusantara karya LWC Van den Berg, ia mengatakan bahwa
kedatangan masyarakat Hadrami ke Nusantara terjadi pada abad ke 16[10].
Sementara itu, van den Berg sendiri memperkirakan kedatangan masyarakat Hadrami
ke Indonesia bermula pada akhir tahun abad ke 18[11],
dimana pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Natalie Mobini
Kesheh bahwa masyarakat Hadramaut melakukan migrasi ke Indonesia pada akhir
pertengahan abad 18[12].
Pendapat lain dikemukakan oleh Dr. H.A. Madjid Hasan Bahafdullah menyampaikan
bahwa masyarakat Hadrami mulai datang ke Indonesia pada abad ke 12[13].
IDENTITAS ETNIS ARAB DI INDONESIA
Pembahasan
identitas etnis Arab di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari peranan mereka
serta tujuan mereka datang ke Nusantara (sebelum kata Indonesia muncul di awal
abad ke 20, negeri ini lebih dikenal dengan sebutan Nusantara). Beberapa ahli
menyatakan bahwa kedatangan mereka ke Nusantara kebanyakan adalah berdagang dan
mencari keuntungan semata. Namun ada diantara para ahli yang lain,
mengungkapkan bahwa beberapa komponen masyarakat Arab, terutama dari kalangan
Ulama, kedatangan mereka adalah secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada
masyarakat Nusantara. Bahkan terdapat beberapa ulama yang sengaja secara khusus
didatangkan dari tanah Arab untuk memenuhi undangan dan permintaan para raja
yang tertarik mendalami Islam.
Oleh karena
itu, berbicara identitas warga Arab di Indonesia akan berkutat pada identitas
ke-Arab-an, ke-Islam-an, dan ke-Indonesia-an. Namun demikian, terdapat sebuah
perbedaan yang begitu nyata antara masa sebelum abad ke-20 dengan masa awal
abad ke-20 dimana, situasi dan kondisi perpolitikan global juga mengalami
perubahan yang drastis.
Identitas masyarakat Arab sebelum Abad ke 20 (1)
Identitas
etnis Arab pada masa sebelum abad 20 mencirikan identitas ke-Islam-an sekaligus
ke tanah air-an. Dalam artian, pembelaan atas tanah air yang mereka tempati
sekaligus merupakan manifestasi pembelaan atas Islam itu sendiri. Terutama pada
zaman kerajaan-kerajaan Islam[14]
yang mulai tumbuh pada abad ke 12 Masehi. Kondisi ini bertahan selama
berabad-abad sampai pada akhir abad 19.
Kesatuan
identitas antara Islam dan pembelaan tanah air dapat terwujud karena dalam
doktrin ajaran Islam, pembelaan terhadap Islam dan pembelaan terhadap
eksistensi tanah air merupakan sebuah kewajiban. Terutama jika tanah air
mendapatkan ancaman dan penjajahan dari kelompok asing yang beragama bukan
Islam. Oleh karena itu, dapat dengan mudah dimengerti ketika
kesultanan-kesultanan Islam mendapatkan ancaman dan penjajahan dari masyarakat
Eropa, maka entitas Arab di nusantara mengambil bagian bersama-sama masyarakat
setempat berusaha skuat tenaga untuk mengusir penjajah.
Selain itu,
identitas ganda mendapatkan habitatnya ketika Daulah Islam yang pada saat itu
beribukota di Turki, yang dikenal dengan Daulah Turki Utsmani masih berdiri
dengan kokoh. Bahkan pada masa kemunculannya pada awal abad 15 sampai dengan
abad ke 19, Negara global ini bahkan menjadi salah satu kekuatan dunia yang
diperhitungkan. Dengan posisi itulah, Negara yang berfungsi untuk melindungi
umat Islam di dunia termasuk yang terdapat di Nusantara juga memiliki andil
akan keberadaa etnis Arab di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan di awal,
keberadaan Walisongo di tanah Jawa merupakan prakarsa langsung dari seorang
Muhammad I yang pada sat itu menjabat sebagai Khalifah[15].
Bukti lain
adalah hubungan yang erat antara Aceh dengan turki Utsmani pada awal tahun
1516. Hubungan yang terjalin diantaranya adalah hubungan politik dan
perdagangan. Bukti dari eratnya hubungan perdagangan yang erat adalah adanya
armada perdagangan aceh yang merapat ke Jeddah[16]. Selain
itu Nurullah yang dikemudian hari dikenaln dengan gelar Sultan Syarif
Hidayatullah, juga pernah melakukan perjalanan ke Mekah sebagai diplomat
meminta bantuan Negara Turki Utsmani guna mengusir Portugis dari Pasai[17].
Hubungan
yang terjalin antara Daulah Turki Utsmani dengan Nusantara tidak hanya terjadi
dalam bidang politik maupun perdagangan. Perkembangan ajaran Islam di Nusantara
juga tak lepas dari hubungan baik antara nusantara dan Turki Utsmani. Kehadiran
ajaran tassawuf ke Indonesiapun ditengarai merupakan bentuk kerjasaman antara
kedua wilayah. Salah satu bukti yang dapat dihadirkan adalah perkembangan
Tarekat Syaththariyah ke Nusantara merupakan peran dan andil besar ulama dari
Turki Utsmani[18].
Identitas Etnis Arab abad ke-20(a)
Identitas
masyarakat Arab di Indonesia mulai mengalami dinamika yang cepat terutama pada
awal abad 20 seiring dengan melemahnya kekuatan Daulah Turki Utsmani. Natalie
mengemukakan setidaknya masyarakat Arab mengalami transformasi identitas pada
akhir abad 19 sampai dengan pertengahan abad 20[19].
Identitas tersebut diantaranya adalah identitas ke-Islam-an, kemudian berbah
menjadi identitas ke-Arab-an dan terakhir mentransformasi diri menjadi
identitas ke-Indonesia-an.
Identitas
ke-Islam-an merupakan identitas awal masyarakat Arab di Indonesia. Meskipun
beberapa orientalis mengemukakan bahwa sesungguhnya maksud utama mereka ke
Indonesia hanyalah untuk mencari keuntungan dengan bergelut di dunia
perdagangan[20],
namun fakta sejarah menjelaskan peran sentral mereka dalam menyebarkan ajaran
Islam. Bahkan keberhasilan Islam yang mampu mendominasi agama penduduknya di Indonesia
merupakan bukti yang tak terbantahkan peran masyarakat Arab di Indonesia.
Identitas ke-Islaman juga dapat ditelusuri dari keterlibatan mereka dalam
organisasi baik yang didirikan oleh komunitas Arab seperti Jami’at Kheir dan
Al-Irsyad, maupun organisasi yang dibentuk oleh masyarakat pribumi seperti
Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi yang pada akhirnya bertransformasi
menjadi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirtoadisuryo
di solo pada tahun 1911[21] sebagai respon atas meningkatnya dominasi
Cina dalam dunia perdagangan. organisasi ini bertujuan untuk memajukan
perdagangan melawan monopoli perdagangan Cina dan memajukan agama Islam.
Keterlibatan etnis Arab dalam organisasi ini[22]
menjadikan bukti bahwa sebenarnya etnis Arab telah menjadikan Indonesia sebagai
identitasnya. Bahkan mereka memiliki semangat untuk memajukan masyarakat
pribumi dengan menolak segala bentuk kolonialisme.
Sementara
itu, identitas ke-Arab-an muncul di kalangan etnis Arab di Indonesia ketika
mereka mengalami kebimbangan serta kenyataan penerimaan masyarakat pribumi
terhadap eksistensi mereka. Ditengah gejolak politik global yang menyeret dunia
Islam menuju kehancuran, memberikan dampak atas identitas bangsa Arab, yang
notabene Islam, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu,
ikatan Islam yang semula mereka jadikan identitas tunggal, mulai tercerabut dan
memudar. Di sisi lain, penerimaan bangsa pribumi terhadap keberadaan etnis
Arab, juga menyebabkan kegamangan mereka untuk mengidentifikasi sebagai seorang
Indonesia. Oleh karena itu, ide Nasionalisme Arab yang berkembang di dunia Arab
dengan Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani memberikan opsi
yang realitistis untuk mengaktualisasikan identitas mereka.
Menariknya, identitas
ke-Arab-an yang dipeluk oleh mayarakat Arab di Indonesia, ternyata diawali
dengan keberadaan identitas ganda pada diri mereka[23].
Di satu sisi mempertahankan identitas ke Islam-an, dan disisi lain secara
bersamaan memunculkan identitas ke-Arab-an. Kondisi ini merupakan sebuah bukti
kerancuan dan kebimbangan masyarakat Arab di Indonesia, Pada periode ini, tak
sulit kita memperoleh bukti bagaimana etnis Arab di Indonesia mulai memalingkan
perhatian ke tanah leluhurnya, Hadramaut. Bahkan Nathalie memberikan penjelasan
yang terperinci tentang kondisi ini. Dimana identitas ke-Arab-an ternyata
membawa dampak perpecahan di kalangan Arab itu sendiri. Antara kaum sayyid
dengan kaum non sayyid[24].
Walaupun
demikian, sebenarnya semangat identitas ganda tersebut tetaplah sama yaitu anti
penjajahan. Hal ini dimungkinkan karena pada faktanya, dunia Islam, dunia Arab
dan tanah air Indonesia sendiri dalam waktu yang bersamaan menghadapi musuh
bersama. Musuh itu adalah Negara-negara Eropa yang beragama Kristen. Dan inilah
yang menjadi alas an utama semangat identifikasi bangsa Arab dan masyarakat
Arab di Indonesia.
Identitas
ke-Indonesia-an dalam artian semangat nasionalisme Indonesia yang
dimanifestasikan dalam perjuangan pengusiran penjajahan dan perjuangan
kemerdekaan sebuah bangsa yang berdaulat bernama Indonesia. Dalam konteks
inilah pergolakan serta dinamika pro dan kontra begitu menguat, tidak hanya
pada tataran individu tetapi juga dalam tataran komunal.
Tokoh
sentral dalam mengembangkan paham nasionalisme Indonesia (identitas
ke-Indonesia-an) masyarakat Arab adalah Abdurrahma Baswedan[25]. Melalui
perjuanganyalah nasionalisme Indonesia di kalangan etnis Arab diperkenalkan.
Walaupun tidak berjalan secara mulus, namun demikian, pada akhirnya
perjuanganya membuahkan hasil dengan diterimanya ide yang dibawanya di
tengah-tengah masyoritas etnis Arab.
Baswedan menggunakan perjuangan politik dalam menanamkan nasionalisme
Indonesia. Dengan mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), ia memulai
mengkampanyekan idenya. Ia mendirikan PAI pada 4 Oktober 1934. Pada awalnya,
organisasi ini bergerak di bidang sosial dan agama. Setelah kongres yang
dilakukan pada tahun 1937, organisasi ini mengalihkan perjuangannya dalam
kancah perpolitikan. Bekerja bersama dengan kaum nasionalis lainnya untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebenarnya,
sebelum Baswedan menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dalam wadah
PAI, di Indonesia telah tumbuh
organisasi muwallad yang bernama Indo-Arabisch Verbond (IAV). Organisasi ini
didirikan di Ambon pada tahun 1930 oleh seorang keturunan Arab yang bernama
M.B.A. Alamudi. Namun saying, organisasi ini yang telah mendapat banyak
dukungan di kalangan masyarakat Arab di Jawa setelah Alamudi melakukan
kunjungan di Jawa, tidak mampu bertahan lama. Ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap orang kaya dan masih diterapkannya system sosial di Tanah Arab
ditengarai sebagai penyebab runtuhnya organisasi ini[26].
Ciri
nasionalisme Indonesia dalam tubuh PAI juga dapat dilihat dari prinsip-prinsip
PAI yang disusun oleh para pimpinannya[27],
yaitu:
Persatoean
Arab Indonesia mennjadikan Islam sebagai dasar organisasi ini :
- Menetapkan dan mengakui bahwa tanah air orang Arab peranakan adalah Indonesia;
- Hadramaut diakui sebagai tanah air nenek moyang;
- Bahasa Arab harus digunakan sebagai bahasa Islam sehingga bahasa ini harus diperhatikan seperti bahasa Indonesia;
- Sejalan dengan pernyataan (a) di atas, orang-orang Arab harus memenuhi kewajiban mereka terhadap tanah air Indonesia dan masyarakatnya, sepanjang mereka dapat melaksanakannya;
- Mengingat pernyataan (d) di atas, supaya mereka dapat memenuhi kewajiban mereka, orang-orang Arab peranakan harus meningkatkan kedudukan dan kemampuan mereka dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik di dalam wilayah hukum Negara itu;
- Kebudayaan orang Arab adalah kebudayaan orang Indonesia, sepanjang kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan Islam;
- Mengingat pernyataan (f) di atas, untuk melestraikan kebudayaan Indonesia, orang Arab peranakan harus berusaha untuk menyebarkan agama Islam seluas-luasnya;
- Untuk mencapai semua yang disebutkan di atas, perlukiranyamemiliki organisasi persatuan yang baik.
Selain itu,
ia juga menggunakan media surat kabar serta tulisan-tuliasn yang
dipublikasikan. Dalam berbagai tulisannya, ia mengemukakan pendapat bahwa
seoran muwallad sama sekali tidak termasuk kedalam wathan Hadrami. Ia
berargumentasi bahwa orang muwallad lebih memiiki kesamaan dengan masyarakat
Indonesia daripadai hadrami. Melalui pendapatnya ini, ia ingin mengungkapkan bahwa
para muwallad adalah orang Indonesia asli.Tulisan-tulisan yang ia publikasikan
mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat Arab di Indonesia, terutama para
muwallad[28].
Identitas
ke-Indonesia-an etnis Arab telah mengantarkan mereka pada upaya yang serius dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka berjuang bahu membahu bersama para
pahlawan bangsa untuk membebaskan belenggu penjajah asing. Bahkan dalam misi
meraih dukungan diplomatic, peranan AR Baswedan, yang merupakan seorang
peranakan Arab, sangatlah penting[29].
Melalui peran yang dilakukannyalah negara-negara Timur Tengah mengakui
Kemerdekaan Indonesia. Dengan pengakuan tersebut, misi Negara baru bernama
Indonesia mendapatkan pengakuan internasional mulai terbuka lebar.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IDENTITAS
MASYARAKAT ARAB DI INDONESIA.
Sebagaimana
disinggung di atas, transformasi yang begitu cepat dalam indentitas masyarakat
Arab di Indonesia membawa dinamika tersendiri. Baik dinamika internal antar
etnis Arab di Indonesia, maupun dinamika eksternal yang melibatkan masyarakat
secara luas. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi transformasi
Identitas masyarakat Arab di Indonesia. Ebberapa faktor itu antara lain adalah:
Pengaruh Perubahan Politik Dunia (1)
Identitas
masyarakat Arab di Indonesia sebelum abad 20 sangat mudah ditentukan. Walaupun
terdapat ebberapa individu yang “melenceng” dari peran dasarnya, namun demikian
Keislaman dan semangat pembelaan terhadap tanah air merupakan identitas utama
mereka. Semangat menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing
dan melindungi “saudara seiman” melekat kuat dalam benak mereka. Kondisi ini
terjadi lantaran pada masa tersebut, Negara turki utsmani, institusi yang
menjadi symbol pemersatu umat Islam masih tegak dan memainkan peranannya.
Disamping itu, peran eropa yang mulai menguat pada abad tersebut belum
sepenuhnya mendominasi dunia. Oleh karena itu, tak jarang ditemui
fragmen-fragmen perjuangan masyarakat pribumi dengan bantuan “saudara” mereka
etnis Arab, melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah.
Namun
demikian, identitas masyarakat Arab mulai mengalami keguncangan ketika Negara
Turki Utsmani mengalami kelemahan dan kegoncangan. Bagaikan anak ayam
kehilangan induknya. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan etnis
Arab di Indonesia. Disatu sisi, ketika Negara Turki Utsmani berkuasa dan
mewarnai dunia, mereka telah mengidentifikasi sebagai penjaga Islam dan kaum muslimin,
sementara disisi lain, pembauran terhadap masyarakat pribumi mengalami kendala
dan hambatan akibat diterapkannya kebijakan politik pemerintah colonial
Belanda. Oleh karena itu, ketika peran “penjaga Islam dan Kaum Muslimin” lenyap
seiring dengan lenyapnya Negara Turki Utsmani, sementara itu, identitas
ke-Indonesia-an belumlah mereka persiapkan, terjadi pergolakan identitas dalam
benak mereka. Dan untunglah ide pan Islamisme Jamaludin Al Afghani dapat
menampung keresahan mereka.
Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda(1)
Politik kolonial belanda yang diberlakukan di Hindia (Indonesia)
pada masa itu, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam pergolakan kebangkitan
masyarakat Hadrami di Indonesia. Politik pembagian kelas yang diberlakukan, membawa pengaruh bagi transisi identitas masyarakat Hadrami.
Pembagian masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu kelas atas yang terdiri dari
orang-orang Belandan dan Eropa, kelas kedua terdiri dari etnis Arab dan Cina
serta orang asing lainnya selaian Eropa dan kelas ketiga adalah masyarakat pribumi
baik orang jawa, sumatra dan lainya.
Kebijakan
yang bermula pada tahun 1884 ini dituangkan dalam seperangkat aturan hokum pada
Indische Staatsregeling[30].
Dalam peraturan hokum ini, masyarakat Hindia dibagi ke dalam tiga stratifikasi.
Strata pertama ditempati oleh golongan eropa dan kelomok yang dipersamakan
dengannya. Strata ini merupakan kelas atas yang menikmati berbagai
keistimewaan. Kelas kedua adalah strata yang dihuni oleh golongan timur asing.
Dan golongan ketiga yaitu strata paling rendah ditempati oleh masyarakat
pribumi. Konsekwensi pemisahan kelas ini terletak pada perakuan hokum diantara
kelas masyarakat. Masyarakat kelas pertama dan kedua, sengketa permasalahan
diselesaikan dengan hokum eropa, sementara kelas pribumi menggunakan hukum
adat. Selain itu, stratifikasi ini juga berdampak pada akses pendidikan yang
dapat dinikmati. Bagi masyarakat kelas pribumi, merupakan sebuah mimpi besar
untuk dapat menikmati pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Kebijakan politik tersebut melahirkan
“pemisahan” yang nyata antara masyarakat pribumi dan masyarakat lainnya terutama
etnis Arab. Salah satu bukti dari kebijakan pemisahan masyarakat Arab yang notabene
Islam dengan masyarakat pribumi adalah keterlibatan
mereka dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh pribumi dibatasi bahkan
dilarang. Ini dapat dilihat ketika pihak kolonial menolak untuk mengesahkkan
Sarekat Dagang Islam (SDI) dikarenakan keterlibatan orang Arab dalam
kepengurusan organisasi. Larangan ini menjadi kendala yang sangat berarti bagi
SDI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat Islam (SI). Karena
sebagaimana diketahu bahwa penyandang dana pergerakan ini sebagian besar adalah
dari golongan Hadrami (Arab).
Sistem politik koonial Belanda juga berdampak pada kegamangan
masyarakah Hadrami dimana ketika mereka ingin mengekspresikan sikap
ke-Islam-an, ke-Arab-an dan ke-Indonesia-an secara bersama-sama terhalang
tembok besar kebijakan penguasa kolonial. Sehingga mereka terpaksa harus
merumuskan kembali secara tepat identitas mereka.
Pengaruh Entitas Masyarakat China di Indonesia (1)
Transisi identifikasi masyarakat Hadrami tidak dapat dilepaskan
dari transformasi yang ada pada masyarakat Cina. Pendirian Jamiat Kheir
merupakan sebuah respon atas didirikannya organisasi modern oleh masyarakat
Cina yang bertujuan untuk menegaskan identitas ke-Cina-an mereka. Organisasi
tersebut adalah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang bergerak dalam bidang pendidikan
dengan mendirikan sekolah-sekolah modern.
Pengaruh ini, oleh Natalie dibuktikan dengan adanya kemiripan
tujuan dibentuknya organisasi Jamiat Kheir, yang tertuang dalam
konstitusinya,dengan tujuan THHK. Pengaruh ini semakin menguat ketika pendirian
Al Irsyad, yang merupakan pecahan dari Jamiat Kheir< juga mengadopsi tujuan
THHK dengan sedikit mengganti kata Cina dengan Arab dalam konstitusinya.
Pengaruh masyarakat Cina juga dapat dilihat ketika terjadinya
transformasi idengtitas masyarakat Hadrami dari ke-Arab-an menjadi
ke-Indonesiaan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang AR. Baswedan
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Liem Koen Hian. Liem Koek Hian adalah
keturunan Cina yang lahir di Kalimantan Selatan pada tahun 1896. Pertemuan
Baswedan dan Liem terjadi pada akhir tahun 1920 ketika mereka sama-sama menjadi
jurnalis pada surat kabar Sin Tit Po.
Bukti terpengaruhnya Baswedan dengan pemikiran Cina diantaranya adalah: pertama, ia menggunakan istilah “totok”
dan “peranakan” yang pada waktu itu merupakan istilah khas yang digunakan oleh
masyarakat Cina untuk membedakan Cina asli dan Cina keturunan. Istilah ini ia
gunaka dalam artikelnya untuk mengganti istilah “aqha” dan “muwallad” yang pada
waktu itu kedua istilah ini memiliki kesan provokatif dan identik dengan
perpecahan di kalangan masyarakat Hadrami.
Kedua,
adanya perubahan pola pikir Baswedan dalam memandang identifikasi
masyarakat Hadrami. Pada tahun 1929, dia menulis artikel yang mendukung
persatuan Arab diseluruh dunia. Ia menyarankan keanggotaan Al-Irsyad tidak
boleh dikhususkan hanya bagi orang Arab di Indonesia saja. Karena itu akan
menyebabkan perpecahan dikalangan bangsa Arab. Namun demikian, perubahan itu
terjadi ketika dia bergaul bersama Liem Koen Hian pada tahun 1930-an, dimana
kalangan Cina telah merumuskan nasionalisme ke-Indonesia-an sejak tahun
1920-an.
Selain itu, pengaruh dalam perpolitikan juga dapat dilihat dari
respon Baswedan setelah pada tahun 1932 Liem terpilih sebagai presiden Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) yang mengakui Indonesia sebagai tanah air Cina
peranakan[31],
dua tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1934 Baswedan mendirikan
organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI) yang
salah satu prinsipnya adalah menetapkan dan mengakui bahwa tanah air orang Arab
peranakan adalah Indonesia. Tentang perjuangan Liem Koen Hian dan AR Baswedan
dalam perjuangan menkamanyekan identitas ke-Indonesia-an dikalangan masyarakat
Cina dan Arab sangat membekas dalam ingatan Ahmad Syafi’i Maarif sampai-sampai
beliau mengunkapkan bahwa kedua tokoh ini merupakan patriot dan nasionalis
Indonesia yang sejati dan autentik sehingga patut diberikan penghargaan sebagai
pahlawan[32].
Pengaruh Stratifikasi Masyarakat Hadramaut(1)
Dalam konteks perubahan identitas masyarakat Hadrami, stratifikasi
ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar. Perbedaan status antara Sayyid
dan non Sayyid (terutama Masha’ikh) serta konflik yang
terjadi diantara keduanya baik di Indonesia maupun di Hadramaut memberikan
dinamika yang cukup menarik.
Mulai dari persaingan dan perseteruan antara golongan Sayyid dan
non Sayyid yang direpresentasikan oleh Sayyid ‘Abdullah bin ‘Alwi al-‘Attas
dengan Syaikh Umar bin Yusuf Manqus. Sampai dengan intrik dan friksi antara
Jami’at Khair yang merupakan representasi organisasi golongan Sayyid dengan
Al-Irsyad yang merupakan perkumpulan orang Hadrami non Sayyid.
Persaingan antara Jami’at Khair dengan Al-Irsyad telah membawa
dampak yang baik maupun
buruk bagi perkembangan masyarakat Hadrami itu sendiri. Dampak baiknya adalah
dengan adanya persaingan tersebut, mereka saling berlomba-lomba untuk
mendirikan lembaga pendidikan terbaik untuk menarik simpati masyarakat Hadrami
di Indonesia. Namun demikian, ternyata dampak buruk jauh lebih banyak dibanding
dengan dampak baiknya. Adanya persaingan diantara mereka sampai meni mbulkan
perpecahan dan permusuhan yang serius. Tidak hanya mengemuka di kalangan mereka
sendiri, perpecahan dan permusuhan ini juga mereka publikasikan secara
terang-terangan dalam surat kabar-surat kabar yang mereka kelola.
Bahkan, intrik internal kaum Hadrami ini juga berimbas pada
perebutan “kewenangan” siapakah yang lebih berhak untuk memimpin reformasi
masyarakat Hadramaut. Disatu sisi, kaum Sayyid merasa paling berhak untuk
memimpin reformasi dengan alasan bahwa merekalah kasta tertinggi. Sehingga
mereka merasa lebih mulia dan lebih bertanggungjawab dalam membangun masyarakat
Hadramaut. disisi lain, bagi kalangan non Sayyid, kaum Sayyid sebenarnya hanyalah pendatang
yang membawa pengaruh buruk bagi masyarakat Hadramaut. Kehadiran mereka telah
memecahbelah persatuan masyarakat asli Hadramaut. Sehingga mereka tidak berhak
dalam mengelola dan membangun masyarakat Hadramaut.
Persaingan
antara kaum sayyid dan non sayyid juga terjadi ketika sebagian kalangan Arab di
Indonesia berusaha mengidentifikasi diri dengan identitas ke-Indonesia-an.
Pengaruh Muwallad dan Aqha(1)
Perseteruan antara muwalllad dan aqha mencapai
puncaknya ketika kegundahan masyarakat hadrami untuk mengidentifikasi diri
antara identitas ke-Arab-an ataukah identitas ke-Indonesia-an. Sebelum
memaparkan fakta dan kronologi perseteruan diantara keduanya, dirasa penting untuk merunut sejarah dan pola masuknya bangsa Hadramaut ke
Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman awal atas perbedaan antara aqha dan muwallad.
Sebagian besar orang Hadramaut yang berhijrah (selanjutnya disebut
sebagai aqha/muhajir) adalah kaum laki-laki tanpa
disertai dengan perempuan di kalangan mereka. Ini terjadi dikarenakan pengaruh
tradisi yang berkembang pada waktu itu. Sehingga, banyak para muhajir yang
akhirnya menikahi masyarakat lokal. Termasuk apa yang terjadi pada kasus
muhajir yang datang ke Indonesia. Dari pernikahan dengan perempuan lokal inilah
lahir anak keturunan yang selanjutnya disebut sebagai muwallad.
Melihat kronologi sejarah yang demikian, maka tidak mengherankan
jika terjadi tarik ulur kepentingan diantara mereka ketika muncul kebimbangan
dalam pemilihan identitas mereka. Bagi sebagian besar aqha,
Hadramaut merupakan tanah air mereka yang tidak dapat diganti dengan lainnya.
Sehingga mereka menolak upaya-upaya untuk mengganti identitas mereka menjadi
ke-Indonesia-an. Namun demikian, bagi Muwallad yang memang lahir dan besar di
Indonesia, maka identitas ke-Indonesia-an merupaka identitas yang rasional bagi
mereka.
Pengaruh Sikap Masyarakat Pribumi terhadap Etnis Arab di Indonesia
Tampaknya sikap pribumi sangat terpengaruh atas kebijakan pemerintah
kolonial Belanda yang sengaja berusaha memisahkan setiap komponen masyarakat
yang ada di Indonesia. Baik antara kaum Eropa sebagai kelas atas dengan kaum
lainnya, maupun antara pribum dengan etnis “asing”.
Beberapa bukti diantaranya adalah bagaimana sikap pribumi terhadap
masyarakat Hadrami yang mereka anggap sebagai orang jahat yang tidak pantas
menikah dengan anak-anak mereka. Selain itu, praktek keberagamaan mereka yang
seolah “berbeda” juga mereka anggap sebagai sesuatu yang harus dihindari dan
diwaspadai. Penolakan itupu juga terjadi bahkan pada awal-awal Baswedan
berusaha menanamkan paham nasionalisme ke-Indonesia-an kepada masyarkat Hadrami
di Indonesia, justru terdapat penentangan dari kaum nasionalis pribumi. PAI yang ia dirikan pada awalnya tidak
mendapatkan respon yang positif dari masyarakat pribumi, terutama kaum
nasionalis. Mereka mengambil sikap wait dan
see atas pergerakan PAI yang masih mereka curigai sebagai agenda, dalam
bahasa sekarang dikenal dengan Arabisasi.
KESIMPULAN
Dinamika
perkembangan identitas etnis Arab di Indonesia menjadi sangat dinamis tatkala
terjadi konstelasi percaturan politik dunia. Abad ke 20 merupakan abad yang
sulit bagi masyarakat Arab di Indonesia untuk mengidentifikasi diri. Pada
akhirnya, mereka menjadikan Indonesia sebagai identitas bagi mereka. Identitas
ini tidaklah mudah beradaptasi dalam dunia ke-Arab-an mereka. Banyak faktor
yang menjadi penghambat maupun pendorong terinternalisasinya identitas
ke-Indonesia-an bangsa Arab.
Walaupun
demikian, konsistensi masyarakat Arab dalam membantu perjuangan Bangsa
Indonesia tidaklah diragukan. Perasaan dan pikiran mereka telah menjadi satu
dengan perasaan dan pemikiran masyarakat pribumi dan elemen bangsa lainnya
termasuk etnis Cina. Perjuangan mereka yang penuh dedikasi dan pengorbanan
turut mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaan dan pengakuan dunia
Internasional.
[1] Ahmad
Turmuzi, Peranan Pembelajaran Sejarah dalam
Pembangunan Bangsa, (Komunitaspendidikan.com, 8 Nopember 2011), http://komunitaspendidikan.com/index.php/forum/peranan-pembelajaran-sejarah-dalam-pembangunan-bangsa/146 (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[2] Namun
demikian, dewasa ini terdapat upaya dari beberapa komponen bangsa yang berusaha
meluruskan tentang sejarah kebangkitan nasional. Mereka menganggap bahwa
tonggak kebangkitan yang dinisbatkan pada lahirnya organisasi Boedi Oetomo
merupakan sebuah kekeliruan sejarah. Setidaknya dua alas an yang dikemukakan
yaitu: organisasi perjuangan pertama sesungguhnya lahir tiga tahun sebelum
berdirinya Boedi Oetomo. Tepatnya pada tahun 1905, organisasi Sarekat Dagang
Islam (SDI) telah dilahirkan dengan membawa semangat perlawanan terhadap
penjajah. Kedua, sebagaimana dikutip oleh VOA-Islam, peneliti Robert van Nies
meragukan Boedi Oetomo sebagai organisasi yang memiliki semangat perlawanan
terhadap penjajah Belanda. Bahkan menurutnya, organisasi ini ebih memiliki
corak Barat dengan segala kepentingannya dibandingkan corak perjuangan pribumi
dengan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Lihat voa-Islam, Meluruskan
Boedi Oetomo dan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/05/20/14815/meluruskan-boedi-oetomo-dan-hari-kebangkitan-nasional-20-mei/ (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[3] Chairul
Akhmad, Mempertanyakan Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 1, (Republika
Online, 21 Juli 2012), http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/21/m7ihrr-mempertanyakan-sejarah-masuknya-islam-di-indonesia-1, (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[5] Chairul
Akhmad, Mempertanyakan Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 3, (Republika
Online, 21 Juli 2012), http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/21/m7ihrr-mempertanyakan-sejarah-masuknya-islam-di-indonesia-3, (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[6] VOA
Islam, Sejarah Asia Tenggara (3), Awal Mula Masuknya Peradaban Islam, (Voa
Islam, 9 Juli 2009), http://m.voa-islam.com/news/world-world/2009/07/09/175/sejarah-asia-tenggara-%283awal-mula-masuknya-peradaban-islam/ (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[7] LWC Van
den Berg, Orang Arab di Nusantara, penerjemah Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas
Bambu, April 2010), 1.
[12] Natalie
Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia. Penerjemah
Ita Mutiara & Andri, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Agustus 2007), 14.
[13] Dr.
Madjid Hasan Bafadhullah, MM, Dari Nabi Nuh sampai Orang Hadramaut di
Indonesia, Menelusuri Asal Usul Hadarim. (Jakarta: Bania Publishing, Juni
2010), 167
[14] Ahmad
Mansyur Suryabnegara dalam wawancara dengan Radio Silaturahmi AM 720 khzp
menyatakan bahwa ungkapan yang tepat bukanlah kerajaan namun kesultanan. Hal
ini karena kesultanan tersebut mempunyai hubungan dengan kesultanan Islam yang
ada di Turki. (Radio Silaturahmi AM 720 Khz, Minggu, pukul 17.00-18.00)
[15] Dalam
beberapa literature disebutkan bahwa walisongo merupakan utusan khalifah
Muhammad I (khalifah pada dinasti Utsmaniyah). Lihat Global Muslim, Hubungan
Khilafah dengan Nusantara: Wali Songo adalah utusan Khilafah, (global Muslim), http://www.globalmuslim.web.id/2012/10/hubungan-khilafah-dengan-nusantara-wali.html, (diakses tanggal 31 Desember 2012)
[16] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
(Jakarta: Mizan, 1994), 50-51
[20] LWC van
den Berg bahkan dengan nada sedikit stereotip mengatakan bahwa pandangan
sebagian orang yang menyatakan bahwa tujuan masyarakat Arab ke Indonesia adalah
untuk mengajarkan Islam dan Al-Qur’an merupakan pendapat yang salah. Bahkan
dengan berani ia mengungkapkan hanya 50 orang diantara sekian banyak orang arab
di Indonesia yang ebrprofesi sebagai pengajar agama Islam. Itupun ia
menambhakan bahwa yang berprofesi sebagai pengajar tersebut sebenarnya juga
menjadikan aktifitas mengajar sebagai aktifitas sambilan. Dengan kata lain,
kegiatan utama mereka hanyalah berdagang. Lihat LWC van den Berg, Orang Arab di
Nusantara, 141-153
[21] Tentang
tahun kelahiran SDI terdapat beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa
organisasi ini didirikan pada tahun 1905, sementara sebagian lain menyebutkan
ia berdiri pada tahun 1911. Versi lain menyebutkan bahwa SDI lahir pada tahun
1909di Betawi atas prakarsa Tirtoadisuryo. Lihat Abdul Baqir Zein, Etnis Cina
dalam Potret Pembauran di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia,
Februaru 2000), 125-126. Lihat juga Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen
dan Islam di Indonesia (Jakarta: B{K Gunung Mulia, 2004), 153-154. Lihat juga
Franklin Book Programs, Ensiklopedi Umum, (Jakarta: Kanisius, 1977), 975
[22] Keterlibatan
etnis arab di SDI disampaikan oleh Abdul Baqir Zein dan Natalie Mobini Kesheh.
Bajkan antalie mengungkapkan dengan gambling bahwa peletak dasar berdirinya SDI
adalah relasi antara pedagang Hadrami dengan pedagang pribumi. Lihat Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret
Pembauran di Indonesia, 126. Lihat Juga Natalie Mobini Kesheh, Hadrami
Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia,, 51.
[25] Abdurrahman Baswedan atau lebih
dikenal dengan nama AR. Baswedan adalah peranakan Arab (Muwallad) yang lahir di
Surabaya pada tanggal 9 September tahun 1908. Ia adalah tokoh sentral dalam
menanamkan identitas ke-Indonesia-an bagi warga Hadrami di Indonesia. Ia
menyerukan sistem kewarganegaraan ius solli yang menyatakan dimana saya lahir,
disitiulah tanah airku. Ia juga memegang peranan penting dalam diplomasi
Indonesia untuk mencari dukungan dan pengakuan negara lain. Ketika ia menjabat
sebagai Wakil Menteri Penerangan kabinet Syahrir III., ia menjadi anggota
delegasi pertama yang melobi ke Timur Tengah untuk melobi pengakuan kemerdekaan
Indonesia. Dan hasilnya adalah pengakuan negara Mesir sebagai negara pertama
yang mengakui kemerdekaan negara Indonesia. Lihat Hery H. Winarno, AR. Baswedan
Harus Diprioritaskan Jadi Pahlawan, (Merdeka.com: 7 November 2012), http://www.merdeka.com/peristiwa/ar-baswedan-harus-diprioritaskan-jadi-pahlawan.html (diakses tanggal 14 Nopember
2012). Lihat juga Ramadhian Fadhillah, Kegigihan dan Kesederhanaan Wamen AR.
Baswedan, (Merdeka.com, 6 Juni 2012), http://www.merdeka.com/peristiwa/kegigihan-dan-kesederhanaan-wamen-ar-baswesdan.html diakses tanggal 13 Nopember
2012.
[29] Alfan
Alfian, Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 200-201
[30] Dr. Eman
Suparman, Asal Usul serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (kekuatan
moral hokum progresif sebagai das solen), 3. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1C%20Hukum-Progresif-Jurnal%20Hk-Acara-Pasca%20AKREDITASI.pdf (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[31] Sebenarnya sikap nsionalisme
ke-Indonesiaan Liem Koen Hian dapat dilihat jauh hari sebelum ia menjabat
sebagai presiden PTI. 3 tahun sebelumna, tepatnya tanggal 2 Desember 1929 ia
telah menuliskan pidato politiknya yang dimuat dalam suat kabar Sin Tit Po
dengan judul “Darah Toinghoa” yang mempetegas sikap ke-Indonesia-an dirinya
damn harapanya agar warga Cina peranakan mengikuti langkah dan sikapnya. Lihat
Pidato Politik Liem Koen Hian: Darah Tionghoa (Indonesia Media.com: 12 Agustus
2010), http://www.indonesiamedia.com/2010/08/12/pidato-politik-liem-koen-hian-darah-tionghoa/ (diakses tanggal 13 Nopember
2012)
[32] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Liem
Koen Hian dan AR. Basswedan, (Kompas; 26 April 2011)