Makalah Pendidikan. Ini untuk anda yang sedang menjalani Pasca Sarjana. Semoga Makalah KKN yang berjudul "Peran Masyarakat Madani Mewujudkan
Clean Government (Pemerintahan Yang Bebas Korupsi Kolusi Dan
Nepotisme)". dapat membantu anda dalam mengerjakan makalah. amin!
ABSTRAK
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan penyakit sosial yang sudah lama menjangkit bangsa dan negara Indonesia. Makalah ini ingin menyampaikan pendekatan teori gerakan sosial dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN melalui penguatan peran masyarakat madani. Diagram Jenkins dan Klandermans tentang hubungan gerakan sosial dengan negara dan sistem politik tersebut menggambarkan ada masalah dalam hubungan tiga arah antara gerakan sosial, perwakilan politik dan negara. Masalah itu adalah sejauh mana peluang yang diberikan perwakilan politik pada gerakan sosial, dampak protes sosial pada partai politik dan proses-proses politik resmi, implikasi yang ditimbulkan oleh hubungan-hubungan tersebut dalam demokrasi modern. Dalam hal ini, peluang gerakan sosial melalui reformasi 1998 telah mampu meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru, awal baik bagi terciptanya demokrasi di Indonesia. Namun demikian ternyata penyakit KKN yang sudah mengakar hingga tercipta korupsi yang sistemik (masuk kelembagaan) menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemberantasannya.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan penyakit sosial yang sudah lama menjangkit bangsa dan negara Indonesia. Makalah ini ingin menyampaikan pendekatan teori gerakan sosial dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN melalui penguatan peran masyarakat madani. Diagram Jenkins dan Klandermans tentang hubungan gerakan sosial dengan negara dan sistem politik tersebut menggambarkan ada masalah dalam hubungan tiga arah antara gerakan sosial, perwakilan politik dan negara. Masalah itu adalah sejauh mana peluang yang diberikan perwakilan politik pada gerakan sosial, dampak protes sosial pada partai politik dan proses-proses politik resmi, implikasi yang ditimbulkan oleh hubungan-hubungan tersebut dalam demokrasi modern. Dalam hal ini, peluang gerakan sosial melalui reformasi 1998 telah mampu meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru, awal baik bagi terciptanya demokrasi di Indonesia. Namun demikian ternyata penyakit KKN yang sudah mengakar hingga tercipta korupsi yang sistemik (masuk kelembagaan) menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemberantasannya.
Masyarakat madani sebagai suatu alternatif kekuatan sosial perlu didorong
untuk berperan dalam menyelesaikan carut marut reformasi birokrasi bangsa
Indonesia. Peran masyarakat madani
melalui LSM, para cendekiawan, mahasiswa, buruh, ormas-ormas, pimpinan agama,
media sosial facebook/twitter, pers maupun kekuatan elemen masyarakat lain
diharapkan mampu membuat pemerintah lebih tegas dalam menegakkan hukum dan
menindak pelaku KKN sesuai dengan Tap MPR XI/1998, UU Anti Korupsi, maupun
peraturan pendukung lain yang telah diciptakan. Lembaga-lembaga penegak hukum
baik POLRI, KPK<, Komisi Yudisial diharapkan mampu berperan. Hal ini tentu
dengan peran serta masyarakat madani sebagai kekuatan pengontrol/pengawas yang
mengimbangi kekuatan pemerintah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Harapannya hukum yang telah tercipta tersebut bukan sekedar etalase melainkan
mampu benar-benar berfungsi sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan
menuju pemerintahan yang bersih dari praktik KKN.
Kata Kunci:
masyarakat madani, gerakan sosial,
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), clean government.
1. PENDAHULUAN
Corruption is a cancer that steals from the poor eats away at
governance and moral fiber, and
destroy
trust.” (Robert B. Zoellick).
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit
sosial yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa dalam upaya
mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran, kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak
dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo, dan anak-anak
terlantar. Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan
lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya
modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran
bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cermin dari dampak KKN.
TAP MPR RI NO VIII/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan
dan pencegahan Korupsi Kolusi dan Nepotisme merupakan suatu langkah awal
reformasi pemerintahan yang baik. Hal ini mengingat KKN yang melanda Indonesia
sudah sangat serius, merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasal 2 TAP MPR RI No VIII/2001 berisi tentang arah kebijakan pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme: 1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur
pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga
melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan
tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum, 2. Melakukan penindakan
hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi
yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah
agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, 3. Mendorong partisipasi
masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang
berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh
pegawai negeri, penyelenggara negara, dan anggota masyarakat, 4. Mencabut,
mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta
keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau
memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, 5. Merevisi semua
peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan
konsisten satu dengan yang lainnya, 6. Membentuk undang-undang beserta
peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan
pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: a. komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi, b. perlindungan saksi dan korban, c.
kejahatan terorganisasi, d. kebebasan mendapatkan informasi, e. etika
pemerintahan, f. kejahatan pencucian uang, g. ombudsman. 7. Perlu segera
membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi
atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai salah satu
cita-cita reformasi bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam TAP MPR
11/1998 belum tercapai sepenuhnya. Runtuhnya Orde Baru dan berganti dengan Orde
Reformasi belumlah cukup mampu mengawal reformasi pemerintahan dengan
baik. Hal tersebut ibarat kerangka
bangunan awal yang membutuhkan banyak pembenahan di internalnya, bukan sekedar
bangunan luar yang berubah. Justru pembenahan internal membutuhkan kerja yang
serius, konsisten dan berkelanjutan. Wacana reformasi yang semangat terdengar
di awal runtuhnya Orde Baru semoga tidak hanyut termakan berbagai carut marut
yang mewarnai prosesnya.
Berbagai dinamika sosial mewarnai perjalanan cita-cita reformasi,
termasuk pembaruan TAP MPR 11/1998
menjadi TAP MPR 8/2001. TAP MPR 8/2001 merekomendasikan pemerintah dan DPR
membuat semua payung hukum dalam pemberantasan korupsi. Sekarang sudah ada UU
Tipikor, UU Pencucian Uang, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perlindungan
Sanksi dan Korban.
Menurut Wakil Ketua
MPR, Hajriyanto Y Thohari dalam dialog pilar negara “Masa Depan Pemberantasan
Korupsi” di gedung MPR Jakarta Senin 15 Oktober 2012 “Saya optimis masa depan
pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin baik sehingga Indonesia bersih
dari aksi korupsi. Semangat pemberantasan korupsi
bisa terlihat dengan terbentuknya lembaga negara independen seperti KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan), KIP
(Komisi Informasi Publik) dan lainnya. Infrastruktur pemberantasan korupsi
sudah lengkap. KPK sebagai garda terdepan dalam hal ini, walaupun tidak
mengabaikan dua lembaga penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian.
Di sisi lain, pemberantasan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) perlu peran
pemimpin terutama kesatuan elit politik dalam mengawal prosesnya. Justru yang
menjadikan upaya pemberantasan korupsi menjadi klise justru elit politik tidak
memberikan teladan. Beberapa elit politik menjadi tersangka korupsi dengan
adanya mavia anggaran.
Pandangan yang berseberangan, korupsi bukan
terletak pada mavia anggaran. Semua kasus yang melibatkan elit politik menjadi
sorotan. Wacana terakhir yang marak seputar korupsi yaitu sepuluh anggota DPR
terkena korupsi. Enam diantaranya
dari Partai Demokrat. Perlu kepemimpinan
yang tegas bukan sekedar wacana di pidato melainkan dijalankan di level
bawahan. Presiden menuangkan dalam Inpres tetapi tidak optimal dalam
pelaksanaannya. Problem pemberantasan korupsi lebih pada kepemimpinan.
Problema kepemimpinan ini terlihat salah satunya dalam proses pengangkatan
pejabat/pimpinan. Ketua Komisi II DPR, Agun Gunadjar Sudarsa menegaskan tidak
patutnya kepala daerah mengangkat terpidana kasus korupsi menjadi pejabat di
daerah. Hal ini menyikapi aksi pengangkatan mantan Sekretaris Kepala Daerah
Kabupaten Bintan Azirwan, yang dipenjara dua tahun enam bulan karena menyuap
anggota komisi IV Al Amin Nur Nasution (F-PPP) dalam kasus alih fungsi hutan
lindung di Pulau Bintan tahun 2008 menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kepulauan Riau. Kepala daerah seharusnya mendapat kepercayaan publik, tidak
terkait dengan masalah apapun yaitu dengan mengedepankan ruang etika.
Dalam TAP MPR 1998
tentang pemberantasan dan pencegahan korupsi dalam pasal 2 khususnya point ke-3
menyebutkan pentingnya mendorong masyarakat luas dalam berpartisipasi mengawasi
dan melaporkan praktek-praktek KKN ini merupakan suatu bentuk upaya membangun
suasana demokrasi, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini tentu perlu kerja sama semua pihak yg
memiliki talenta dan kewenangan dibidangnya menjalaninya. Misalnya: polisi,
eksekutif, yudikatif dst. Undang-Undang yang ada untuk penegasan. Inpres hanya
penekanan dan pengingatan pada lembaga dibawahnya.
Perlu harmonisasi untuk menuntaskan KKN di Era Reformasi di masa transisi.
Salah satu bentuk kongkritnya yaitu melalui peran masyarakat madani sebagai
bagian penting proses demokrasi. Bila masyarakat madani berkembang dengan baik
maka mampu sebagai controlling, countervailing power dalam menyembuhkan penyakit kronis sistem
pemerintahan dari penyakit KKN.
2. Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean
Government (Pemerintahan Bebas Korupsi
Kolusi Nepotisme)
1. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Korupsi berasal dari bahasa
latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus |politisi maupun pegawai negeri yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Korupsi dalam arti yang
luas berarti penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua
bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Unsur-unsur tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
1.
Melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2.
Perbuatan melawan hukum;
3.
Merugikan keuangan negara atau
perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang
ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan
secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya
menjadi lancar. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer
mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih
berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena
nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap
nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan
saudara.
2. Upaya Pemberantasan Korupsi di Berbagai Era
Pemerintahan
Masalah korupsi ini sangat
berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak
langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon
Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak
revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak
mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi.
Korupsi merupakan penyakit yang
sudah melanda Indonesia sejak lama. Sejak zaman Pemerintahan Soekarno hingga
kini korupsi belumlah menemukan solusi yang tepat. Namun demikian, setiap era
pemerintahan mempunyai strategi dan upaya untuk menangangi korupsi,
diantaranya:
a.
Era Soekarno (1945-1967)
Pemerintah Soekarno berupaya
melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan asing melalui suatu
Undang-Undang. Pihak militer (AD) telah melakukan aksi sepihak dan merebut
perusahaan-perusahaan asing tersebut sebelum Undang-Undang diberlakukan (1958).
Pada 13 Desember 1957, Mayor
Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) melakukan larangan pengambil alihan
perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan
perusahaan-perusahaan tersebut di bawah pengawasan militer.
Pemerintah Indonesia melakukan
kebijakan politik benteng dengan memberikan bantuan kredit dan
fasilitas-fasilitas kepada pengusaha pribumi. Program ini tidak melahirkan
pribumi yang tangguh melainkan menimbulkan terjadinya praktek Korupsi Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Pengusaha yang mendapat lisensi hanyalah yang dekat dengan
pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan.
Kegagalan demokrasi terpimpin
mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap bergantung
pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tidak bekerja
dengan baik dan korupsi merajalela.
b. Era Soeharto (1965 -1998)
Rezim orde baru menggunakan
pendekatan pembangunan di sektor ekonomi untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang muncul di orde Lama. Pada masa orde baru terjadi 3 fenomena:
- Kerjasama pimpinan militer dengan pengusaha Cina
- Kompetisi pengusaha pribumi dengan keturunan Cina
- Pengaruh perusahaan-perusahaan negara yang dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan intervensi barat.
Beberapa hal yang menjadi
catatan sejarah korupsi semasa Orde Baru diantaranya:
- Pertamina merupakan pendukung utama kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Namun pertamina menjadi sarang korupsi, patronase dan penyedotan sumber dana yang membuat pertamina ambruk di tahun 1975-1976.
- Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa turun ke jalan-jalan untuk memprotes korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan. Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan komisi IV untuk menangani korupsi.
- Diberlakukannya Undang-Undang No 71 tentang pemberantasan korupsi walaupun dalam kenyataannya perangkat hukum tersebut tidak berfungsi dengan baik. Sistem politik Indonesia menerapkan lembaga kontrol pemerintahan seperti DPR, BPK, Kejaksaan Agung, dan Badan Penertiban Aparatur Negara, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
- Tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai ketua BPK telah menyerahkan pemeriksaan hasil tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada DPR. Dalam acara tersebut, M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan.
- Sektor kehutanan menggunakan sector migas setelah redupnya masa kejayaan “Oil Boom”. Di awal tahun 1980 terkenal dengan istilah “green gold” atau emas hijau. Hasil hutan Indonesia yang dieksport menjadi penghasil devisa nomer dua setelah minyak dan gas bumi. Dua diantara lima perusahaan swasta terbesar menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pad akeluarga Soeharto.
- Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap kinerja rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang muncul tahun 1997 merupakan wujud nyata kebijakan-kebijakan ekonomi orde Baru yang sarat KKN dan ketergantungannya dengan modal asing dan hutang luar negeri.
c.
Era Habibie (Mei 1998 –
September 1999)
Gerakan reformasi 1998
mempunyai agenda utama pemberantasna Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan ini
bermaksud mengusut praktek KKN di Orde Baru serta menciptakan pemerintahan yang
bersih di era berikutnya. Beberapa perangkat hukum diciptakan oleh Habibie
begitu beliau menjabat sebagai presiden, diantaranya :
1.
TAP MPR no XI/1998 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
2.
UU No.18 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
3.
UU No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasn tindak pidana korupsi (UU Anti Korupsi).
4.
Inpres No. 30 tahun 1998
tentang pembentukan komisi pemeriksa harta
pejabat.
5.
Gagasan pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (Anti Corruption Comission).
Hal lain yang dilakukan semasa
pemerintahan Habibie yaitu:
- Menko Wasbang mengeluarkan siaran pers tentang upaya menghapus KKN dari perekonomian nasional. Dalam siaran pers 15 Juni 1999 dijabarkan kembali pengertian KKN sebagai praktek Korupsi Kolusi Nepotisme antara pejabat dan swasta.
- Mandat dari TAP XI/1998 kepada Habibie untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pengusutan KKN Soeharto sesegera mungkin. Akan tetapi pemerintahan Habibie tidak mampu menyeret Soeharto ke pengadilan, justru mengehentikan penyidikan kasus tersebut.
d. Era Abdurrahman Wahid
Segera setelah dilantik,
Abdurrahman Wahid melakukan beberapa tindakan untuk menangani korupsi
diantaranya
- Melalui Keppress No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman yang mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring/pemeriksaan atas laporan masyarakat atas penyelenggaraan negara.
- Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara pemerintah RI dan IMF serta pasal 27 UU No. 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tim gabungan ini tidak berfungsi dengan baik karena posisinya di bawah Jaksa Agung, tidak diberikan kewenangan luas dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus korupsi.
- Presiden membentuk komisi pemeriksa berdasa pasal 10 Undang Undang No.28 tahun 1999. Komisi yang dibentuk ini kemudian terkenal dengan nama KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Namun dalam pelaksanaannya muncul kontroversi. Pelaksaan seleksi calon anggota KPKPN yang dilakukan komisi II DPR tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memunculkan kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok kepentingan dalam proses seleksi ini. Kontroversi lain yaitu perbedaan jumlah anggota yang ditetapkan presiden dan DPR.
- Persiapan pembentukan komisi anti korupsi berdasar UU No. 31 tahun 1999 dibawah koordinasi dirjen hukum dan perundang-undangan, departemen kehakiman dan HAM.
e.
Era Megawati dan Soesilo
Bambang Yudhoyono
- Pembentukan lembaga anti korupsi oleh pemerintahan SBY, diantaranya : Tahun 1999 membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi, membentuk tim pemberantasan tindak pidana korupsi pada tahun 2005.Namun demikian, banyaknya lembaga anti korupsi di negara ini jelas bukan menghasilkan suatu prestasi melainkan kegagalan-kegagalan lembaga tersebut memberantas korupsi.
- Penerbitan Undang-Undang Anti Korupsi antara lain: UU no 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, PP No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
f.
Era Soesilo Bambang Yudhoyono
dan Boediono
Era reformasi
dengan runtuhnya orde lama bukan berarti korupsi begitu saja terselesaikan.
Dewasa ini korupsi masih merupakan persoalan bangsa dan negara yang belum
benar-benar terselesaikan. Arah perjuangan penyelesaian korupsi memerlukan
upaya keras semua pihak. Dari sejak demokrasi terpimpin penyakit korupsi sudah
ada, bahkan gejala korupsi yang timbul sudah mengarah pada bentuk korupsi yang
sifatnya sistemik. Artikulasi “sistemik” ini bermakna komprehenshif, bahkan
dapat dikatakan sebagai suatu proses yang signifikan. Korupsi sudah menjadi
bagian dari sistem yang ada.[8]
Upaya
pemberantasan korupsi dengan penegakan hukum baik POLRI, KPK ternyata belum
membuahkan hasil yang optimal. Peraturan-peraturan yang diciptakan baik dalam
bentuk TAP MPR maupun Undang-Undang seakan mengalami kelumpuhan fungsi dalam
memberantas korupsi. Korupsi bukan
terletak pada mavia anggaran. Semua kasus yang melibatkan elit politik menjadi
sorotan. Bahkan pada tahun 2012, sepuluh anggota DPR terkena korupsi, enam
diantaranya dari Partai Demokrat. Hal ini wujud nyata bahwa korupsi sudah
menjadi suatu budaya yang mengakar ke dalam sistem kelembagaan.
Dalam pandangan Arvind K.
Jain, korupsi yang dilakukan oleh political leaders dalam penetapan
kebijakan publik termasuk kedalam grand corruption, yakni praktik
korupsi yang berdampak luas dan berkepanjangan bagi masyarakat. Political
leaders menggunakan kekuasaannya
untuk menetapkan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak
saja, mengorbankan jutaan masyarakat, bahkan tak jarang pada akhirnya harus
merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ada. Misalnya kebijakan privatisasi BUMN, bailout kepada
pihak tertentu hingga eksploitasi barang tambang dan gas alam yang
menguntungkan segelintir kelompok atau investor. Tak hanya itu, grand
corruption juga mampu berbentuk kebijakan publik yang memiliki
tujuan-tujuan politis demi pelanggengan kekuasaan, dimana seorang political
leaders menggunakan kekuasaannya dalam menetapkan kebijakan publik untuk
meraup suara di pemilu selanjutnya, atau sebagai investasi bagi suksesi periode
berikutnya, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) hingga rekrutmen
CPNS yang melebihi kuota anggaran negara. Pada titik ini, praktik korupsi dalam
pembuatan kebijakan publik yang tergolong sebagai grand corruption memiliki
tingkat urgensi tinggi untuk dibenahi bahkan dicegah, karena dengan terus
terjadinya praktik tersebut maka demokrasi di Indonesia akan sulit untuk
ditegakan.
TAP MPR Tahun 1998 tentang pemberantasan korupsi, Undang-Undang yang
mendukung juga sudah baik, hanya memerlukan penegakan hukum yang jelas dan
melibatkan kerjasama semua pihak yang memiliki talenta dan wewenang dibidangnya
dalam menjalaninya. Misalnya kerjasama polisi,
eksekutif, yudikatif dan sebagainya. Undang-Undang yang ada sekedar penegasan.
Inpres sekedar penekanan dan pengingatan lembaga di bawahnya. Hukum belum ditegakkan secara tegas bukan
sekedar etalase.
Tahun 1999 merupakan titik anomali dengan lahirnya TAP MPR, lahirnya KPK,
otonomi daerah dsb. Banyak kasus muncul ke pengadilan. Panitera maupun hakim
sudah berhati-hati kalau ingin melakukan praktik kong kalikong. Perlu ada
perubahan budaya abstrak ke kongkrit. Ada sanksi yang ditegakkan. Korupsi yang
kecil seolah-olah mudah sedangkan kasus korupsi yg besar lama-lama,
disembunyikan bukti-bukti dalam proses penegakannya. Sekarang banyak masyarakat
yang mulai mampu mengungkap hakim yang tidak adil dan mengadukannya ke
KY(Komisi Yudisial) melalui rekaman-rekaman, foto-foto dsb. Masalah perbedaan
hukum, perbedaan tafsir itu susah untuk diselesaikan. Kalau ada bukti-bukti
kongkrit maka akan mudah bagi KY untuk melakukan tindak lanjut.
Menurut filsuf Derida, timbulnya differong atau anomali,
membuat pemimpin perlu membuat keputusan
yg berbeda dari yang lain. Keadilan ada diantara hukum dan anarki. Differong
datang dari rakyat, bukan dari kalangan elit. Parpol tidak bisa karena masih
bagian elit politik. Kalau dari kalangan akademis dipandang tidak mampu karena
terjebak pada rutinitas pembelajaran. Demokrasi lahir dari dari kekuatan
rakyat. Media harus hati-hati agar tidak terjebak menjadi corong elit politik.
Di sinilah diperlukan peran rakyat dalam hal ini masyarakat madani yang mampu
mengimbangi kekuatan elit politik/pemerintahan dalam mengatasi korupsi yang
sifatnya sistematik.
Demokrasi Indonesia sifatnya masih fragile karena hasil dari elit
yang belum solid. Konstitusi penegakannya belum jelas. Demokrasi imbas dari
belum bersatunya elit. Diperlukan kekuatan pengimbang dari bawah ke atas untuk
mengatasinya yaitu melalui kekuatan masyarakat madani. Jangan sekedar mengharap
elit politik untuk mampu mengatasinya. Inilah “anomaly” dimana Indonesia belum
memiliki kekuatan politik nyata untuk reformasi politik.
3. Clean Government dan Masyarakat Madani
Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap
memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi,
lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang
diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam
suatu negara.
Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi
dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi
Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira
125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam
literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance”
dalam pengertian yang hendak kita bahas diartikan sebagai tata-pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong - baru
muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga
pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai
persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Para teoritisi dan
praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah
diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan
yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP),
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang
mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak
pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi
dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi
peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas
tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu
bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah
yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung
unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan
kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat
meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society
wield power and authority, and influence and enact policies and decisions
concerning public life, economic and social development.” Terjemahan dalam
bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang
kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan
tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial
Masyarakat madani atau civil
society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi
sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi,
keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan
etika yang disepakati secara bersama-sama.
Prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat
madani tercermin dalam karakteristik
masyarakat madani. Komponen satu dengan
yang lain tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu kesatuan yang
terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun
karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas, antara lain :
- Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mapu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
- Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
- Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghoramti aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
- Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan.
- Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Masyarakat madani sebagai tiang utama kehidupan demokratis. Dengannya
masyarakat mampu menyuarakan aspirasinya dan terlindungi kepentingannya. Civil
society salah satunya diwakili oleh adanya partai politik. Tugas dan
fungsi partai politik melalui pemilu yaitu memperjuangkan kepentingan warga
dalam tatanan kenegaraan, sistem kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah. Dalam realitas sosial, masyarakat madani
mewujudkan dirinya dalam berbagai corak lembaga non pemerintah dan organisasi
sosial yang sifatnya suka rela, lembaga penelitian dan akademis, LSM, berbagai
corak asosiasi bisnis dan sebagainya. Civil society memiliki 3 fungsi
diantaranya: 1. Mitra pemerintah dalam pembangunan (partner in development),
2. Pemberdayaan (empowerment), dan 3. kekuatan pengimbang (countervailing
power).
Peran masyarakat madani sebagai alat gerakan
sosial diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan publik dan negara dalam upayanya
memberantas KKN menuju pemerintahan yang bersih (clean government).
Gerakan sosial sebagai kekuatan penting dalam merubah masyarakat. Gerakan
sosial sebagai salah satu cara utama menata ulang masyarakat modern (Blumer);
sebagai pencipta perubahan sosial (Kilian); sebagai aktor historis
(Eyerman&Jamison). Ada pula yang menyebutkan gerakan masa dan konflik yang
ditimbulkan adalah agen utama perubahan sosial (Adamson& Borgos)
4.
Masyarakat Madani dan Perubahan Sosial Suatu
Tinjauan Teoretis
Gerakan sosial dalam bentuk masyarakat madani diharapkan mampu melakukan
perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia yang sudah lama terjangkit penyakit
kronis KKN hingga mengakar ke sistem pemerintahan. Masyarakat madani ini
diharapkan mampu sebagai kekuatan yang mengawal arah reformasi birokrasi yang
bebas KKN menuju good government.
Della Porta dan Diani menyatakan umumnya gerakan-gerakan sosial bertujuan
menuntut perubahan di dalam suatu sistem politik. Namun sejauh mana gerakan itu memiliki dampak yang nyata,
pertama sekali bisa dilihat dari perubahan kebijakan yang dihasilkan karena
umumnya gerakan sosial dibangun untuk merefleksikan ketidakpuasan terhadap
kebijakan yang sedang berlangsung (exiting policy). Lebih kongkret lagi,
menurut mereka, dampak gerakan sosial in bisa dilihat dari adanya keputusan
baru (production of legislation) dan apakah keputusan itu benar-benar
dilaksanakan.
Menurut Gamson, keberhasilan gerakan sosial dapat dilihat dari dua sisi,
yakni adanya capaian-capaian baru (new gains) dan tingkat akseptasi (level
of acceptance). Yang pertama menyangkut perubahan nyata kebijakan publik
untuk merespon tuntutan dan protes, sedangkan yang kedua bagaimana gerakan
membawa hasil nyata di dalam sistem perwakilan kepentingan. Gamson
mengkombinasikan kedua variabel itu menjadi empat tipologi keberhasilan
gerakan: 1. Full response (pencapaian dan akseptansi sekaligus), 2.Co-optation
(pengakuan tanpa pencapaian), 3. Preemption (pencapaian tanpa
pengakuan), 4. Collapse (tanpa pengakuan dan pencapaian sekaligus
Schumaker dalam Burstein memberikan tipologi yang lebih spesifik dalam
membahas dampak gerakan sosial dalam
mempengaruhi kebijakan: 1. Terbukanya akses yakni mengindikasikan tingkat
dimana pemilik otoritas bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan, 2.
Respon di tingkat agenda yaitu ketika pemilik otoritas rela menempatkan
tuntutan gerakan pada agenda politiknya, 3.Respon kebijakan yaitu ketika
pemilik otoritas secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru, 5. Dampak
yang terjadi yakni tingkat aksi-aksi maupun respon sistem politik berhasil
meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.
Diagram tersebut menggambarkan ada masalah dalam hubungan tiga arah antara
gerakan sosial, perwakilan politik dan negara. Masalah itu adalah sejauh mana
peluang yang diberikan perwakilan politik pada gerakan sosial, dampak protes
sosial pada partai politik dan proses-proses politik resmi, implikasi yang
ditimbulkan oleh hubungan-hubungan tersebut dalam demokrasi modern.
Merujuk Jenkins dan Klandermans, segi empat diamond tersebut
menunjukkan perbedaan hubungan yang perlu ditempatkan dalam mendiskusikan
hubungan negara dan gerakan sosial dalam hal ini masyarakat madani. Sisi kiri
(panah a dan d) berkaitan dengan hubungan warga negara dengan negara melalui
sistem politik perwakilan. Dalam hal ini diasumsikan berlangsungnya sistem
perwakilan politik secara mapan, baik partai-partai politik, asosiasi-asosiasi
resmi, lembaga-lembaga sosial yang mengklaim diri sebagai agregasi
kepentingan-kepentingan publik.
Di sisi lain, hubungan yang ingin diajukan dalam konteks ini adalah pada
sisi tengah dan kanan (panah b, c, dan e) yakni pada upaya-upaya gerakan dan dampak protes sosial pada sistem politik
dan sebaliknya, dampak yang ditimbulkan sistem politik pada gerakan sosial.
Dengan demikian gerakan sosial merupakan saingan potensial (potential rival)
bagi sistem politik perwakilan dan bisa memainkan peran besar dalam
merestrukturisasi hubungan negara dengan warga negara (citizens), baik
di negara-negara demokratis maupun di negara otorian.
Diagram di atas secara sederhana membantu pemahaman dalam melihat adanya
dua pilihan bagi publik atau warga negara dalam memperjuangkan kepentingannya
berhadapan dengan otoritas negara, yakni sistem perwakilan politik dan gerakan
sosial. Diagram tersebut juga menunjukkan adanya kaitan korelasional antara
berfungsi tidaknya lembaga-lembaga perwakilan politik resmi (formal) di satu
sisi dan peran gerakan sosial di sisi lain.
Pertama, semakin sistem dan mekanisme perwakilan politik berfungsi dengan
baik dalam kerangka mewakili dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, maka
peran gerakan sosial sebagai substitusi atau alternatif jalur representasi
politik akan semakin kecil, demikian sebaliknya. Dalam konteks Indonesia misalnya, gerakan sosial
telah berhasil meruntuhkan rezim orde baru yang otoritarian menuju orde
reformasi. Di sisi lain gerakan sosial juga relevan bagi masyarakat dalam
memperjuangkan hak-haknya maupun mendorong perubahan kebijakan publik yang
lebih adil dan demokratis, dalam hal ini pemberantasan korupsi kolusi dan
nepotisme. Kedua, sistem perwakilan politik di negara-negara demokratis
termasuk Indonesia bukannya tidak memiliki problem, salah satu problem utamanya
yaitu KKN yang sistemik di birokrasi dan elitism. Peran gerakan sosial menjadi
penting terutama sebagai agensi untuk
memperbaiki dan melengkapi sistem
perwakilan politik (formal) tersebut. Gerakan sosial berfungsi sebagai kekuatan
untuk pendemokrasian demokrasi (democratizing democrazy) dari
kecenderungan elitisme dan birokratisme. Di sisi lain gerakan sosial berfungsi sebagai challengers
and maintainers of democrazy. Singkatnya, kedua jalur politik yang yang
tersedia bagi warga negara tersebut yaitu gerakan sosial dan mekanisme
perwakilan politik bukan saja saling berkompetisi tetapi juga saling melengkapi
dan relevan di dalam sistem politik baik otoritarian maupun demokratis.
Di dalam konteks tema makalah ini, kerangka teori yang telah diuraikan di
atas dapat memberi penjelasan yang cukup memadai mengapa proses reformasi
birokrasi menuju pemerintahan yang bebas KKN belum juga tercapai dengan
optimal. Dalam pandangan penulis, gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada
tahun 1998 sudah mampu menggulingkan sistem kekuasaan orde baru. Hal ini merupakan
awal yang baik. Namun dalam perjalanannya, upaya perwujudan pemerintahan yang
bebas KKN terkontaminasi karena dari diamond sisi kiri yaitu sistem perwakilan
politik sendiri menodainya yaitu dengan
banyaknya anggota DPR, elit politik maupun lembaga perwakilan rakyat yang masih
juga melakukan parktek KKN. Gerakan sosial mahasiswa 1998 seakan mati suri.
Diamond sisi kiri dan sisi kanan sebagai kekuatan penyeimbang tidak berjalan
dengan baik. Keduanya harusnya saling melengkapi dan mendukung dalam perjuangan
mewujudkan good government. Bila dalam diagram diamond satu saja yang berfungsi
maka akan timpang. Sistem perwakilan politik yang tidak mampu menyampaikan
aspirasi warga negara ke negara dengan
baik menimbulkan ketimpangan. Hal ini bisa di atasi dengan lebih mengedepankan
peran diamond di sisi yang satunya lagi yaitu gerakan sosial. Fokusnya lebih
diarahkan pada subtansi dari perwakilan rakyat yang ada di dalamnya dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang bebas KKN.
Gerakan sosial ini bisa
dihidupkan dengan membangun masyarakat madani yaitu dengan mendorong warga
untuk berpartisipasi aktif baik
individu, lembaga, organisasi-organisasi massa/rakyat, kelompok
cendekiawan, pemimpin umatberagama, pers
maupun kelompok lainnya untuk memobilisasi massa sebagai kekuatan pengimbang
pemerintah yang masih juga korup. Masyarakat di sini lebih sebagai kekuatan kontrol yang mengawasi
pemerintahan dan melaporkan bila ternyata mengetahui adanya penyelewengan.
Peluang-peluang politik bagi masyarakat perlu diperluas termasuk perdebatan
wacana di kalangan cendekiawan dan budayawan dalam mempengaruhi pemerintah
dalam mengambil keputusan kongkrit di lapangan. Tujuannya tidak lain agar UU,
peraturan, hukum yang sudah diciptakan mampu benar-benar menindak pelaku
koruptor. Hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu peran masyarakat secara
aktif dalam ruang publik baik media massa maupun media sosial seperti twitter,
facebook dalam mengawal reformasi birokrasi perlu terus ditingkatkan sehingga
pemerintah yang korup secara sadar terus berbenah dan menindak tegas pelaku
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dari sisi internal sendiri lembaga-lembaga formal pemerintah perlu
melakukan pembenahan di instansinya dengan penegakan hukum yang tegas oleh
aparat hukum, jaksa, POLRI, KPK maupun pimpinan negara baik eksekutif,
legislative maupun yudikatif. Di sisi
lain juga membangun komitmen bersama dalam mewujudkan pejabat publik yang
berintegrasi, laporan keuangan negara yang transparan dan sebagainya.
5.
Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean
Government
Era reformasi di Indonesia yang mengusung
semangat demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, menyebabkan
banyak perubahan pada pola dan praktik korupsi. Dengan berubahnya struktur
pemerintahan serta lingkungan sosial, secara tidak langsung akan merubah
pola-pola korupsi yang telah ada didalam administrasi publik. Perubahan pola
praktik korupsi sangat terlihat dari peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi,
dimana saat era orde baru, praktik korupsi masih bersifat paternalistik dan tersentral
di lingkaran kekuasaan pusat pemerintahan, sementara saat reformasi bergulir,
praktik korupsi menyebar dan tidak hanya terjadi dalam lingkaran kekuasaan di
pusat pemerintahan.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas
merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga
negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama.
Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada
independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun
hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara
dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai
citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus
menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai
pemegang hak kebebasan yang sama.
Dalam pandangan penulis upaya pemberantasan KKN
yang sistemik bisa diminimalisir dengan meningkatkan peran masyarakat madani
sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengawasi berjalannya penegakan hukum
mengingat peran pemerintah dalam penegakan hukum masih lemah dan belum tegas.
PENUTUP
John Keane dalam Democracy and Civil Society
(1988) dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan demokrasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun
teman kental kekuasaan negara. Demokrasi menghendaki pemerintah untuk
memerintah masyarakat sipil secara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit.
Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui
kekuasaan negara, dan juga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara.
Masyarakat madani dapat menjadi sumber input bagi masyarakat politik,
seperti orsospol,birokrasi, dan sebagainya dalam pengambilan setiap keputusan
publik. Pada saat yang sama, political society juga dapat
melakukan rekruitmen politik dari kelompok-kelompok dalam masyarakat
madani sehingga kualitas para politisi dan elite politik akan sangat
tinggi. Hubungan antara masyarakat madani dan political society,
dengan demikian adalah simbiosis mutualisme dan satu sama lain
saling memperkuat bukan menegaskan. Tentu saja diperlukan waktu yang cukup
lama untuk menghasilkan hubungan semacam ini, karena situasi ini
mengandaikan telah terjadinya kesinambungan antara negara dan rakyat.
Proses pengembangan masyarakat madani akan tergantung kesuksesannya kepada
sejauhmana format politik pasca reformasi dibuat. Jika format tersebut hanya
mengulangi yang lama, kendati dengan ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan
masyarakat madani juga hanya berupa angan-angan belaka. Namun demikian, masyarakat madani diharapkan mampu sebagai salah satu
kekuatan sosial yang mengimbangi pemerintah dalam mengawal perjalanan reformasi
bangsa Indonesia menuju pemerintahan yang bebas KKN. Hal ini bisa berjalan bila masyarakat madani
sebagai suatu alternatif kekuatan sosial mampu berperan nyata dalam
menyelesaikan carut marut reformasi birokrasi bangsa Indonesia. Peran masyarakat madani melalui LSM, para
cendekiawan, mahasiswa, buruh, ormas-ormas, pimpinan agama, media sosial
facebook/twitter, pers maupun kekuatan elemen masyarakat lain diharapkan mampu
membuat pemerintah lebih tegas dalam menegakkan hukum dan menindak pelaku KKN
sesuai dengan Tap MPR XI/1998, UU Anti Korupsi, maupun peraturan pendukung lain
yang telah diciptakan. Lembaga-lembaga penegak hukum baik POLRI, KPK<,
Komisi Yudisial diharapkan mampu berperan optimal. Harapannya hukum yang telah
tercipta tersebut bukan sekedar etalase melainkan mampu benar-benar berfungsi
sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan menuju pemerintahan yang bersih
dari praktik KKN.