Terima kasih dari penulis kepada pembaca untuk waktunya membaca
artikel atau makalah ini.
Pendahuluan
Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan
waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan
Barat di sekitar abad keduabelas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan
tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia.
Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza
Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai
“pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras
dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin
menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan.
Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini
Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan
kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan
sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan
konfrensi tersebut.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami
korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan
serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya
sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin
melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan
Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut.
Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah
menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah
Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya
korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir
benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat
muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati
masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi
meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi
kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman
bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta
obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan.
Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada
korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam.
Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina,
beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya
sebagai “pasukan jihad”.
Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina
berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa
agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina
diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang
berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah
“jihad” sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung
pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah, sehingga jika jihad dapat
ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di
tengah masyarakat Islam tentang adanya “fakta lain“ di balik situasi konflik
yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.
Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga
demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya
ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada
Israel. Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari
puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap
“dimentahkan“ Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya
sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal
dianggap sebagai “kampung halaman Islam”, dan berteman dekat dengan Amerika)
semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.
Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan
sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek:
politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall
mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values or claims to status,
power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only
to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.
Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar
dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar
kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts),
konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas
(communal conflict), dan lain sebagainya.
Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya
dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut,
demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak
ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik
Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain
memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam
konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma
perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan”
sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini.
Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang
dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena
sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Pertanyaan
yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan
mewarnai konflik? dan atau, aspek mana yang lebih dulu memicu konfli. Tulisan
yang dituangkan pada makalah ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari
pertanyaan tersebut.
Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis
Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap
dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi
itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana
konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti
yang dituliskan Ralph Schoenman, ketika seseorang berusaha untuk menguji asal
usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk
menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan
ancaman. Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah
korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel).
Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman
adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi
tentang Yahudi.
Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan
informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan
Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam
bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias
bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang
menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan
fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan
kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi
tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang
tak pernah akur.
Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi
dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada
umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai
kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk
melihat problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini
harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan
memaparkan: pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas
masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak
tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di
negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima
eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam
atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967
mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan
wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian
menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih
luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.
Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa
Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis
untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan
Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan
Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan
oleh Law of Return Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi
berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara
Israel. Alih-alih, al Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah
“bani Israel” kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.
Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan
suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap, sebagai salah satu
kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh
jadi terambil dari kata Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab
Suci Yahudi. Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk
membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap
modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya. Oleh
karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara
Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja
Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti
yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis
dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.
Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan
Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan
dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus
diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena
berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun
demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang
dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.
Mengurai Konflik Israel-Palestina
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina
seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil
mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam
“derivasinya”. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam
bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga
institusi pendidikann Islam. Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak
jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian
istilah “Yahudi” dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang
“bersifat jelek”.
Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan
sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina
misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan
sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak:
apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh
kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam
dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi
perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang
melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.
Hampir mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik
untuk membenci Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan
keduanya cukup baik sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode
pertengahan. Dalam literatur Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai
orang yang pernah menjadi sekretaris nabi khususnya untuk keperluan
korespondensi luar negeri, bahkan nabi juga menunjukkan toleransinya kepada
Yahudi dengan berpuasa pada saat mereka berpuasa. Pada periode Islam di
Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen bersama-sama membangun dan
menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada Renaisance Eropa.
Memang kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan
berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau
agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama
Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam.
Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah
bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya
untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan
mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah
pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan
resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan
seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu
persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak
Makkah. Kondisi ini – sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan
pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik.
Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal
dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik
sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini
misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina
dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu
mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat
Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga
menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka
di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di
kota itu. Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab
klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah
dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua
pihak.
Pembagian Jerusalem – menjadi bagian Israel dan bagian Palestina –
sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta
politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni
orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem
akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang
letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya
Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat
Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami
perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul
Munthaha.
Yahudi menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan
mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel
sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini
tertindas. Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang
mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang
kerap dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: “bangsa
tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa”. Streotipe tentang Yahudi sebagai “bangsa
yang terusir dari tanahnya” ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang
Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai penciptaan
dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh
para makhluknya. Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami
Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga.
Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil
selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.
Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu
penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan
akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte
yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama
Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang
tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap
bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah.
Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan:
Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos
penciptaan Luria
Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina
merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi
Meliter Israel terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya
merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya.
D. Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis
Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana
dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi
teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat
dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan
memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari
persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat
dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul
disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang
agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam
adalah persoalan politik yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi,
akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut. Selain itu, sulitnya memisahkan
antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh
pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana
yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi
juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk “bertarung”
melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik
teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu
terhadap yang lainnya.
Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik
Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas,
tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah
politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar
pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai
persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari
pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang
mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang
bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun
demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel
Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada
kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.
Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa
Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk
intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas.
Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara
agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan “kolektif” hampir seluruh umat
Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan
yang keliru. Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama
agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah
berlangsung sejak enam puluh tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama
justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella
menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan
Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama
Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium
Utsmaniyah).
Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina,
analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari
jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah
interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak
selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif
(cooperation), akan tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun
pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri.
Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan
adanya sifat konflik. Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai
interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial
mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang
membentuk interaksi antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi
tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.
Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik
teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari
latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama
yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis
tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa
terpilih; maupun “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”; menjadi
kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap
argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa
Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan “tanah
yang dijanjikan”, sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan
bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh
permasalahan politik.
Penutup
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci
penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah
pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai
manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang
telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan
adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk
mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing
kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan
langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek
teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam
sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa
sentuhan “tangan-tangan politik”.
Abdul Fatah,Rohadi. Sosiologi Agama. Jakarta: Titian Kencana
Mandiri, 2004.
al Fandi ,Safuan. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang
Islam. Solo:
Sendang Ilmu.
Basayib,Hamid. Perspektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi.Jakarta:
Gramedia
Pustaka Utama, 1998.
Holsti,K. J. Politik Nasional, Kerangka untuk Analisis.
Jakarta: Rajawali Perss,1988.
Husein Haekal,Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta:
Tintamas, 1982.
K.
Hitti.,Philips.History of the Arabs. (terjemah: R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi. S.
Riyadi.
Jakarta: Serambi, 2002.
Kuncahyono,Trias. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan
Akhir. Jakarta: Kompas,2008.
Irwansyah. Perkembangan Pemikiran tentang Kerukunan Hidup Umat
Beragama: Suatu Analisis. Medan: LPKUB Perwakilan Sumut,2004.
Nasution,Harun. Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan
Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Oberschall,A. “Theories of Social Conflict”. Annual Review of Sociology.
Vol. 4. 1978.
Obert Voll ,John. Islam Continuity and Change in the Modern
World.Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1997.
Soekanto,Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Perss, 1996.
Scoenman, Ralph. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi.Jakarta:
Sajadah Perss, 2007.
Shihab,Alwi. Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama. Bandung: Mizan,
1999.
Prince, Derk. “The Last World on the Midle East”. Malang:
Gandum Mas,1982.
Permata Sari,Herlina. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat
Islam Saat Ini.
Jakarta: Nun Publisher,2008.
Raliby,Osman. Kamus Internasional. Jakarta: Bulan Bintang,1982.
Turner Johnson,James.Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi
Barat dan Islam.
Bandung: Mizan, 1997.
Timur Funky, Kusnaendy. Islam: A Short History.Yogyakarta:
Jendela, 2003.
Wahono, Satrio. dkk. Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam
Islam, Kristen
dan Yahudi. Jakarta:
Serambi,2008.