Rabu, 05 Juni 2013

Identitas Etnis Arab Di Indonesia Dan Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

Makalah pendidikanMakalah Pendidikan Sejarah. Berikut ini saya mempunyai makalah yang berjudul Identitas Etnis Arab Di Indonesia Dan Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia”. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk kalian para pembaca.
Abstrak
Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh komponen bangsa. Tidak hanya masyarakat pribumi yang memberikan andil dalam perjuangan ini. Peran etnis lain pun juga tak kalah penting, termasuk etnis Arab didalamnya.
Identifikasi masyarakat Arab di Indonesia dalam menyatakan identitasnya mengalami dinamika yang sangat dinamis. Mulai dari identitas ke-Islam-an, ke-Arab-an, dan sampai pada pelabuhan terakhir, identitas ke-Indonesia-an. Walaupun demikian, perjuangan untuk meraih identitas ke-Indonesia-an tidaklah berjalan mulus. Banyak rintangan dan hambatan, yang dialami. Sedemikian sehingga ketika identitas itu tertanam dalam benak mereka, maka konsekwensi atas pilihan mereka laksanakan sebaik mungkin. Peranan mereka dalam upaya meraih kemerdekaan ditempuh dengan pengorbanan yang tidak mudah.
PENDAHULUAN
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan mozaik panjang yang sarat akan makna dan kisah teladan. Banyak kisah yang dapat kita pelajari dari buku-buku sejarah yang dengan mudah dapat ditemui, baik di perpustakaan-perpustakaan maupun yang terhampar di toko buku. Sartono Kartodirjo (1988) sebagaimana dikutip oleh Ahmad Turmuzi[1] mengatakan bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah memiliki peran tidak hanya berfungsi untuk memberikan informasi dan sekumpulan fakta tentang apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga berfungsi untuk menyadarkan atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Oleh karena itu wajar jika pembelajaran sejarah bangsa Indonesia telah dimulai sejak tingkat awal pendidikan di bangku sekolah dasar. Dan berkat peran pembelajaran sejarah di sekolah-lah kita mengenal nama-nama pahlawan nasional seperti Ki Hajar Dewantara, Pangeran Diponegoro, KH. Agus Salim, sampai dengan nama dwi tunggal Ir. Soekarno dan M. Hatta sebagai bapak Proklamasi Indonesia.
Namun demikian, entah karena kelalaian penulisan sejarah atau sebuah kesengajaan dengan tujuan-tujuan tertentu, ternyata kita secara tidak sadar digiring pada sebuah pemahaman bahwa perjuangan kemerdekaan adalah jerih payah masyarakat pribumi. Mungkin ada benarnya bahwa masyarakat pribumi telah mengeluarkan segenap tenaga untuk mengusir penjajah. Masyarakat pribumi pulalah yang pertama kali menggelorakan semangat nasionalisme sebagai amunisi untuk melawan tirani penjajahan Belanda. Kita mengenal (dikenalkan) Boedi Oetomo sebagai organisasi perjuangan pertama sehingga tanggal kelahirannyapun yaitu tanggal 20 Mei kita peringati sebagai hari kebangkitan Nasional[2]. Kitapun tidak asing dengan Sumpah Pemuda yang digelorakan tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta sebagai bentuk komitmen pemuda Indonesia.
Secara sadar dan berkaca pada sejarah, klaim perjuangan kemerdekaan adalah jerih payah kaum pribumi sudah selayaknya kita tinggalkan. Ternyata jika kita runut peranan etnis selain bangsa pribumi, terlalu banyak peranan mereka untuk kita ingkari. Setidaknya dua kelompok peranakan yang ada di Indonesia juga memiliki andil yang besar dalam upaya perjuangan kemerdekaan. Kita dapat melihat peranan peranakan etnis Tiong Hoa dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan organisasi Tiong Hoa Hoek Kian (THHK)-nya mereka mengaktualisasikan diri sebagai warga Indonesia dan berjuang bersama-sama mengusir penjajah Belanda. Kita juga dapat melihat bagaimana peranan etnis Arab di Indonesia didalamnya.
Tulisan ini berusaha secara jujur mengungkapkan peranan etnis Arab di Indonesia dari masa ke masa. Namun demikian, penulis mencoba untuk lebih fokus dalam pembahasan peranan etnis arab pada periode awal abad ke 20 sampai dengan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga berusaha mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan transformasi identitas etnis arab pada periode tersebut.
SEJARAH SINGKAT ETNIS ARAB DI INDONESIA
Membahas masuk dan berkembangnya etnis Arab di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara. Terdapat beragam versi tentang kapan sebenarnya Islam masuk ke nusantara. Setidaknya, tiga versi dapat dikemukakan disini[3]. Yaitu teori Gujarat, dimana Islam masuk ke Indonesia melalui perantara para pedagang Gujarat India [ada abad 13 Masehi, teori Persia, yaitu teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui peran pedagang asal Persia pada abad 13, dan teori Arab yang menyatakan bahwa Islam dibawa oleh orang Arab pada abad 7 Masehi.
Pandangan yang menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas lebih banyak dikemukakan oleh ahli sejarah Eropa. Diantaranya menurut Azra yang dikutip oleh Cholis[4], adalah Snouk Hurgronje, Fatimi, Vleke, Gonda, dan Schrieke. Sedangkan teori Persia dikemukakan oleh PA Hoesein Djajadiningrat, Haji Muhammad Said, JC van Leur, M Dahlan Mansur, dan Haji Abubakar Atjeh. Dan teori Arab dikemukakan oleh beberapa ahli sejarah kontemporer terutama yang beragama Islam. Diantara mereka adalah Alwi Shihab dan Abdullah Ali[5]. Selain itu juga terdapat beberapa sejarawan diantaranya adalah Zainal Arifin Abbas, Dr. Hamka dan Drs. Junaidi Parinduri[6].
Sementara itu, jika waktu serta asal muasal Islam masuk di Indonesia memunculkan berbagai versi, maka ketika membahas etnis Arab berasal dari mana, maka sebagian besar ahli sejarah meyepakati bahwa sebagian etnis Arab yang berada di nusantara berasal dari Hadramaut, Yaman. LWC Van den Berg mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok Arab yang berada di Nusantara. Kelompok kecil berasal dari Mekkah[7]. Mereka memanfaatkan momen Ibadah HAji untuk mengais rezeki. Dengan kesadaran bahwa musim haji serta besarnya animo orang Nusantara untuk melakukan ibadah haji dapat memberikan keuntungan, mereka berbondong-bondong masuk ke Nusantara. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa minimal setiap tahun terdapat 30 orang Mekkah yang bermigrasi ke Singapura[8]. Namun demikian, ia menyatakan bahwa komunitas Mekkah di Nusantara tidak memiliki pengaruh yang kuat baik dari segi etnologis maupun kebahasaan kecuali pada pengaruh perpolitikan[9]. Sementara, kelompok besar dan yang mendominasi etnis Arab di Indonesia adalah etnis yang berasal dari Hadramaut. Pemahaman ini akan sangat membantu menganalisis pengaruh identtitas masyarakat Arab di Indonesia.
Tentang gelombang kedatangan masyarakat Hadrami ke Indonesia terdapat beberapa versi. Diantaranya yang disampaikan oleh Ismail Fajrie Alatas dalam pengantar edisi kedua buku Orang Arab di Nusantara karya LWC Van den Berg, ia mengatakan bahwa kedatangan masyarakat Hadrami ke Nusantara terjadi pada abad ke 16[10]. Sementara itu, van den Berg sendiri memperkirakan kedatangan masyarakat Hadrami ke Indonesia bermula pada akhir tahun abad ke 18[11], dimana pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Natalie Mobini Kesheh bahwa masyarakat Hadramaut melakukan migrasi ke Indonesia pada akhir pertengahan abad 18[12]. Pendapat lain dikemukakan oleh Dr. H.A. Madjid Hasan Bahafdullah menyampaikan bahwa masyarakat Hadrami mulai datang ke Indonesia pada abad ke 12[13].
IDENTITAS ETNIS ARAB DI INDONESIA
Pembahasan identitas etnis Arab di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari peranan mereka serta tujuan mereka datang ke Nusantara (sebelum kata Indonesia muncul di awal abad ke 20, negeri ini lebih dikenal dengan sebutan Nusantara). Beberapa ahli menyatakan bahwa kedatangan mereka ke Nusantara kebanyakan adalah berdagang dan mencari keuntungan semata. Namun ada diantara para ahli yang lain, mengungkapkan bahwa beberapa komponen masyarakat Arab, terutama dari kalangan Ulama, kedatangan mereka adalah secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat Nusantara. Bahkan terdapat beberapa ulama yang sengaja secara khusus didatangkan dari tanah Arab untuk memenuhi undangan dan permintaan para raja yang tertarik mendalami Islam.
Oleh karena itu, berbicara identitas warga Arab di Indonesia akan berkutat pada identitas ke-Arab-an, ke-Islam-an, dan ke-Indonesia-an. Namun demikian, terdapat sebuah perbedaan yang begitu nyata antara masa sebelum abad ke-20 dengan masa awal abad ke-20 dimana, situasi dan kondisi perpolitikan global juga mengalami perubahan yang drastis.
Identitas masyarakat Arab sebelum Abad ke 20 (1)
Identitas etnis Arab pada masa sebelum abad 20 mencirikan identitas ke-Islam-an sekaligus ke tanah air-an. Dalam artian, pembelaan atas tanah air yang mereka tempati sekaligus merupakan manifestasi pembelaan atas Islam itu sendiri. Terutama pada zaman kerajaan-kerajaan Islam[14] yang mulai tumbuh pada abad ke 12 Masehi. Kondisi ini bertahan selama berabad-abad sampai pada akhir abad 19.
Kesatuan identitas antara Islam dan pembelaan tanah air dapat terwujud karena dalam doktrin ajaran Islam, pembelaan terhadap Islam dan pembelaan terhadap eksistensi tanah air merupakan sebuah kewajiban. Terutama jika tanah air mendapatkan ancaman dan penjajahan dari kelompok asing yang beragama bukan Islam. Oleh karena itu, dapat dengan mudah dimengerti ketika kesultanan-kesultanan Islam mendapatkan ancaman dan penjajahan dari masyarakat Eropa, maka entitas Arab di nusantara mengambil bagian bersama-sama masyarakat setempat berusaha skuat tenaga untuk mengusir penjajah.
Selain itu, identitas ganda mendapatkan habitatnya ketika Daulah Islam yang pada saat itu beribukota di Turki, yang dikenal dengan Daulah Turki Utsmani masih berdiri dengan kokoh. Bahkan pada masa kemunculannya pada awal abad 15 sampai dengan abad ke 19, Negara global ini bahkan menjadi salah satu kekuatan dunia yang diperhitungkan. Dengan posisi itulah, Negara yang berfungsi untuk melindungi umat Islam di dunia termasuk yang terdapat di Nusantara juga memiliki andil akan keberadaa etnis Arab di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan di awal, keberadaan Walisongo di tanah Jawa merupakan prakarsa langsung dari seorang Muhammad I yang pada sat itu menjabat sebagai Khalifah[15].
Bukti lain adalah hubungan yang erat antara Aceh dengan turki Utsmani pada awal tahun 1516. Hubungan yang terjalin diantaranya adalah hubungan politik dan perdagangan. Bukti dari eratnya hubungan perdagangan yang erat adalah adanya armada perdagangan aceh yang merapat ke Jeddah[16]. Selain itu Nurullah yang dikemudian hari dikenaln dengan gelar Sultan Syarif Hidayatullah, juga pernah melakukan perjalanan ke Mekah sebagai diplomat meminta bantuan Negara Turki Utsmani guna mengusir Portugis dari Pasai[17].
Hubungan yang terjalin antara Daulah Turki Utsmani dengan Nusantara tidak hanya terjadi dalam bidang politik maupun perdagangan. Perkembangan ajaran Islam di Nusantara juga tak lepas dari hubungan baik antara nusantara dan Turki Utsmani. Kehadiran ajaran tassawuf ke Indonesiapun ditengarai merupakan bentuk kerjasaman antara kedua wilayah. Salah satu bukti yang dapat dihadirkan adalah perkembangan Tarekat Syaththariyah ke Nusantara merupakan peran dan andil besar ulama dari Turki Utsmani[18].
Identitas Etnis Arab abad ke-20(a)
Identitas masyarakat Arab di Indonesia mulai mengalami dinamika yang cepat terutama pada awal abad 20 seiring dengan melemahnya kekuatan Daulah Turki Utsmani. Natalie mengemukakan setidaknya masyarakat Arab mengalami transformasi identitas pada akhir abad 19 sampai dengan pertengahan abad 20[19]. Identitas tersebut diantaranya adalah identitas ke-Islam-an, kemudian berbah menjadi identitas ke-Arab-an dan terakhir mentransformasi diri menjadi identitas ke-Indonesia-an.
Identitas ke-Islam-an merupakan identitas awal masyarakat Arab di Indonesia. Meskipun beberapa orientalis mengemukakan bahwa sesungguhnya maksud utama mereka ke Indonesia hanyalah untuk mencari keuntungan dengan bergelut di dunia perdagangan[20], namun fakta sejarah menjelaskan peran sentral mereka dalam menyebarkan ajaran Islam. Bahkan keberhasilan Islam yang mampu mendominasi agama penduduknya di Indonesia merupakan bukti yang tak terbantahkan peran masyarakat Arab di Indonesia. Identitas ke-Islaman juga dapat ditelusuri dari keterlibatan mereka dalam organisasi baik yang didirikan oleh komunitas Arab seperti Jami’at Kheir dan Al-Irsyad, maupun organisasi yang dibentuk oleh masyarakat pribumi seperti Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi yang pada akhirnya bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirtoadisuryo di solo pada tahun 1911[21]  sebagai respon atas meningkatnya dominasi Cina dalam dunia perdagangan. organisasi ini bertujuan untuk memajukan perdagangan melawan monopoli perdagangan Cina dan memajukan agama Islam. Keterlibatan etnis Arab dalam organisasi ini[22] menjadikan bukti bahwa sebenarnya etnis Arab telah menjadikan Indonesia sebagai identitasnya. Bahkan mereka memiliki semangat untuk memajukan masyarakat pribumi dengan menolak segala bentuk kolonialisme.
Sementara itu, identitas ke-Arab-an muncul di kalangan etnis Arab di Indonesia ketika mereka mengalami kebimbangan serta kenyataan penerimaan masyarakat pribumi terhadap eksistensi mereka. Ditengah gejolak politik global yang menyeret dunia Islam menuju kehancuran, memberikan dampak atas identitas bangsa Arab, yang notabene Islam, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, ikatan Islam yang semula mereka jadikan identitas tunggal, mulai tercerabut dan memudar. Di sisi lain, penerimaan bangsa pribumi terhadap keberadaan etnis Arab, juga menyebabkan kegamangan mereka untuk mengidentifikasi sebagai seorang Indonesia. Oleh karena itu, ide Nasionalisme Arab yang berkembang di dunia Arab dengan Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani memberikan opsi yang realitistis untuk mengaktualisasikan identitas mereka.
Menariknya, identitas ke-Arab-an yang dipeluk oleh mayarakat Arab di Indonesia, ternyata diawali dengan keberadaan identitas ganda pada diri mereka[23]. Di satu sisi mempertahankan identitas ke Islam-an, dan disisi lain secara bersamaan memunculkan identitas ke-Arab-an. Kondisi ini merupakan sebuah bukti kerancuan dan kebimbangan masyarakat Arab di Indonesia, Pada periode ini, tak sulit kita memperoleh bukti bagaimana etnis Arab di Indonesia mulai memalingkan perhatian ke tanah leluhurnya, Hadramaut. Bahkan Nathalie memberikan penjelasan yang terperinci tentang kondisi ini. Dimana identitas ke-Arab-an ternyata membawa dampak perpecahan di kalangan Arab itu sendiri. Antara kaum sayyid dengan kaum non sayyid[24].
Walaupun demikian, sebenarnya semangat identitas ganda tersebut tetaplah sama yaitu anti penjajahan. Hal ini dimungkinkan karena pada faktanya, dunia Islam, dunia Arab dan tanah air Indonesia sendiri dalam waktu yang bersamaan menghadapi musuh bersama. Musuh itu adalah Negara-negara Eropa yang beragama Kristen. Dan inilah yang menjadi alas an utama semangat identifikasi bangsa Arab dan masyarakat Arab di Indonesia.
Identitas ke-Indonesia-an dalam artian semangat nasionalisme Indonesia yang dimanifestasikan dalam perjuangan pengusiran penjajahan dan perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa yang berdaulat bernama Indonesia. Dalam konteks inilah pergolakan serta dinamika pro dan kontra begitu menguat, tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dalam tataran komunal.
Tokoh sentral dalam mengembangkan paham nasionalisme Indonesia (identitas ke-Indonesia-an) masyarakat Arab adalah Abdurrahma Baswedan[25]. Melalui perjuanganyalah nasionalisme Indonesia di kalangan etnis Arab diperkenalkan. Walaupun tidak berjalan secara mulus, namun demikian, pada akhirnya perjuanganya membuahkan hasil dengan diterimanya ide yang dibawanya di tengah-tengah masyoritas etnis Arab.
Baswedan menggunakan perjuangan politik dalam menanamkan nasionalisme Indonesia. Dengan mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), ia memulai mengkampanyekan idenya. Ia mendirikan PAI pada 4 Oktober 1934. Pada awalnya, organisasi ini bergerak di bidang sosial dan agama. Setelah kongres yang dilakukan pada tahun 1937, organisasi ini mengalihkan perjuangannya dalam kancah perpolitikan. Bekerja bersama dengan kaum nasionalis lainnya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebenarnya, sebelum Baswedan menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dalam wadah PAI,  di Indonesia telah tumbuh organisasi muwallad yang bernama Indo-Arabisch Verbond (IAV). Organisasi ini didirikan di Ambon pada tahun 1930 oleh seorang keturunan Arab yang bernama M.B.A. Alamudi. Namun saying, organisasi ini yang telah mendapat banyak dukungan di kalangan masyarakat Arab di Jawa setelah Alamudi melakukan kunjungan di Jawa, tidak mampu bertahan lama. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap orang kaya dan masih diterapkannya system sosial di Tanah Arab ditengarai sebagai penyebab runtuhnya organisasi ini[26].
Ciri nasionalisme Indonesia dalam tubuh PAI juga dapat dilihat dari prinsip-prinsip PAI yang disusun oleh para pimpinannya[27], yaitu:
Persatoean Arab Indonesia mennjadikan Islam sebagai dasar organisasi ini :

  1. Menetapkan dan mengakui bahwa tanah air orang Arab peranakan adalah Indonesia;
  2. Hadramaut diakui sebagai tanah air nenek moyang;
  3. Bahasa Arab harus digunakan sebagai bahasa Islam sehingga bahasa ini harus diperhatikan seperti bahasa Indonesia;
  4. Sejalan dengan pernyataan (a) di atas, orang-orang Arab harus memenuhi kewajiban mereka terhadap tanah air Indonesia dan masyarakatnya, sepanjang mereka dapat melaksanakannya;
  5. Mengingat pernyataan (d) di atas, supaya mereka dapat memenuhi kewajiban mereka, orang-orang Arab peranakan harus meningkatkan kedudukan dan kemampuan mereka dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik di dalam wilayah hukum Negara itu;
  6. Kebudayaan orang Arab adalah kebudayaan orang Indonesia, sepanjang kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan Islam;
  7. Mengingat pernyataan (f) di atas, untuk melestraikan kebudayaan Indonesia, orang Arab peranakan harus berusaha untuk menyebarkan agama Islam seluas-luasnya;
  8. Untuk mencapai semua yang disebutkan di atas, perlukiranyamemiliki organisasi persatuan yang baik.

Selain itu, ia juga menggunakan media surat kabar serta tulisan-tuliasn yang dipublikasikan. Dalam berbagai tulisannya, ia mengemukakan pendapat bahwa seoran muwallad sama sekali tidak termasuk kedalam wathan Hadrami. Ia berargumentasi bahwa orang muwallad lebih memiiki kesamaan dengan masyarakat Indonesia daripadai hadrami. Melalui pendapatnya ini, ia ingin mengungkapkan bahwa para muwallad adalah orang Indonesia asli.Tulisan-tulisan yang ia publikasikan mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat Arab di Indonesia, terutama para muwallad[28]. 
Identitas ke-Indonesia-an etnis Arab telah mengantarkan mereka pada upaya yang serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka berjuang bahu membahu bersama para pahlawan bangsa untuk membebaskan belenggu penjajah asing. Bahkan dalam misi meraih dukungan diplomatic, peranan AR Baswedan, yang merupakan seorang peranakan Arab, sangatlah penting[29]. Melalui peran yang dilakukannyalah negara-negara Timur Tengah mengakui Kemerdekaan Indonesia. Dengan pengakuan tersebut, misi Negara baru bernama Indonesia mendapatkan pengakuan internasional mulai terbuka lebar.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IDENTITAS MASYARAKAT ARAB  DI INDONESIA.
Sebagaimana disinggung di atas, transformasi yang begitu cepat dalam indentitas masyarakat Arab di Indonesia membawa dinamika tersendiri. Baik dinamika internal antar etnis Arab di Indonesia, maupun dinamika eksternal yang melibatkan masyarakat secara luas. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi transformasi Identitas masyarakat Arab di Indonesia. Ebberapa faktor itu antara lain adalah:
Pengaruh Perubahan Politik Dunia (1)
Identitas masyarakat Arab di Indonesia sebelum abad 20 sangat mudah ditentukan. Walaupun terdapat ebberapa individu yang “melenceng” dari peran dasarnya, namun demikian Keislaman dan semangat pembelaan terhadap tanah air merupakan identitas utama mereka. Semangat menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan melindungi “saudara seiman” melekat kuat dalam benak mereka. Kondisi ini terjadi lantaran pada masa tersebut, Negara turki utsmani, institusi yang menjadi symbol pemersatu umat Islam masih tegak dan memainkan peranannya. Disamping itu, peran eropa yang mulai menguat pada abad tersebut belum sepenuhnya mendominasi dunia. Oleh karena itu, tak jarang ditemui fragmen-fragmen perjuangan masyarakat pribumi dengan bantuan “saudara” mereka etnis Arab, melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah.
Namun demikian, identitas masyarakat Arab mulai mengalami keguncangan ketika Negara Turki Utsmani mengalami kelemahan dan kegoncangan. Bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan etnis Arab di Indonesia. Disatu sisi, ketika Negara Turki Utsmani berkuasa dan mewarnai dunia, mereka telah mengidentifikasi sebagai penjaga Islam dan kaum muslimin, sementara disisi lain, pembauran terhadap masyarakat pribumi mengalami kendala dan hambatan akibat diterapkannya kebijakan politik pemerintah colonial Belanda. Oleh karena itu, ketika peran “penjaga Islam dan Kaum Muslimin” lenyap seiring dengan lenyapnya Negara Turki Utsmani, sementara itu, identitas ke-Indonesia-an belumlah mereka persiapkan, terjadi pergolakan identitas dalam benak mereka. Dan untunglah ide pan Islamisme Jamaludin Al Afghani dapat menampung keresahan mereka.
Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda(1)
Politik kolonial belanda yang diberlakukan di Hindia (Indonesia) pada masa itu, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam pergolakan kebangkitan masyarakat Hadrami di Indonesia. Politik pembagian kelas yang diberlakukan, membawa pengaruh bagi transisi identitas masyarakat Hadrami. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu kelas atas yang terdiri dari orang-orang Belandan dan Eropa, kelas kedua terdiri dari etnis Arab dan Cina serta orang asing lainnya selaian Eropa dan kelas ketiga adalah masyarakat pribumi baik orang jawa, sumatra dan lainya.
Kebijakan yang bermula pada tahun 1884 ini dituangkan dalam seperangkat aturan hokum pada Indische Staatsregeling[30]. Dalam peraturan hokum ini, masyarakat Hindia dibagi ke dalam tiga stratifikasi. Strata pertama ditempati oleh golongan eropa dan kelomok yang dipersamakan dengannya. Strata ini merupakan kelas atas yang menikmati berbagai keistimewaan. Kelas kedua adalah strata yang dihuni oleh golongan timur asing. Dan golongan ketiga yaitu strata paling rendah ditempati oleh masyarakat pribumi. Konsekwensi pemisahan kelas ini terletak pada perakuan hokum diantara kelas masyarakat. Masyarakat kelas pertama dan kedua, sengketa permasalahan diselesaikan dengan hokum eropa, sementara kelas pribumi menggunakan hukum adat. Selain itu, stratifikasi ini juga berdampak pada akses pendidikan yang dapat dinikmati. Bagi masyarakat kelas pribumi, merupakan sebuah mimpi besar untuk dapat menikmati pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Kebijakan politik tersebut melahirkan “pemisahan” yang nyata antara masyarakat pribumi dan masyarakat lainnya terutama etnis Arab. Salah satu bukti dari kebijakan pemisahan masyarakat Arab yang notabene Islam dengan masyarakat pribumi adalah keterlibatan mereka dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh pribumi dibatasi bahkan dilarang. Ini dapat dilihat ketika pihak kolonial menolak untuk mengesahkkan Sarekat Dagang Islam (SDI) dikarenakan keterlibatan orang Arab dalam kepengurusan organisasi. Larangan ini menjadi kendala yang sangat berarti bagi SDI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat Islam (SI). Karena sebagaimana diketahu bahwa penyandang dana pergerakan ini sebagian besar adalah dari golongan Hadrami (Arab).
Sistem politik koonial Belanda juga berdampak pada kegamangan masyarakah Hadrami dimana ketika mereka ingin mengekspresikan sikap ke-Islam-an, ke-Arab-an dan ke-Indonesia-an secara bersama-sama terhalang tembok besar kebijakan penguasa kolonial. Sehingga mereka terpaksa harus merumuskan kembali secara tepat identitas mereka.
Pengaruh Entitas Masyarakat China di Indonesia (1)
Transisi identifikasi masyarakat Hadrami tidak dapat dilepaskan dari transformasi yang ada pada masyarakat Cina. Pendirian Jamiat Kheir merupakan sebuah respon atas didirikannya organisasi modern oleh masyarakat Cina yang bertujuan untuk menegaskan identitas ke-Cina-an mereka. Organisasi tersebut adalah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah modern.
Pengaruh ini, oleh Natalie dibuktikan dengan adanya kemiripan tujuan dibentuknya organisasi Jamiat Kheir, yang tertuang dalam konstitusinya,dengan tujuan THHK. Pengaruh ini semakin menguat ketika pendirian Al Irsyad, yang merupakan pecahan dari Jamiat Kheir< juga mengadopsi tujuan THHK dengan sedikit mengganti kata Cina dengan Arab dalam konstitusinya.
Pengaruh masyarakat Cina juga dapat dilihat ketika terjadinya transformasi idengtitas masyarakat Hadrami dari ke-Arab-an menjadi ke-Indonesiaan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang AR. Baswedan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Liem Koen Hian. Liem Koek Hian adalah keturunan Cina yang lahir di Kalimantan Selatan pada tahun 1896. Pertemuan Baswedan dan Liem terjadi pada akhir tahun 1920 ketika mereka sama-sama menjadi jurnalis pada surat kabar Sin Tit Po. Bukti terpengaruhnya Baswedan dengan pemikiran Cina diantaranya adalah: pertama, ia menggunakan istilah “totok” dan “peranakan” yang pada waktu itu merupakan istilah khas yang digunakan oleh masyarakat Cina untuk membedakan Cina asli dan Cina keturunan. Istilah ini ia gunaka dalam artikelnya untuk mengganti istilah “aqha” dan “muwallad” yang pada waktu itu kedua istilah ini memiliki kesan provokatif dan identik dengan perpecahan di kalangan masyarakat Hadrami.
Kedua, adanya perubahan pola pikir Baswedan dalam memandang identifikasi masyarakat Hadrami. Pada tahun 1929, dia menulis artikel yang mendukung persatuan Arab diseluruh dunia. Ia menyarankan keanggotaan Al-Irsyad tidak boleh dikhususkan hanya bagi orang Arab di Indonesia saja. Karena itu akan menyebabkan perpecahan dikalangan bangsa Arab. Namun demikian, perubahan itu terjadi ketika dia bergaul bersama Liem Koen Hian pada tahun 1930-an, dimana kalangan Cina telah merumuskan nasionalisme ke-Indonesia-an sejak tahun 1920-an.
Selain itu, pengaruh dalam perpolitikan juga dapat dilihat dari respon Baswedan setelah pada tahun 1932 Liem terpilih sebagai presiden Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang mengakui Indonesia sebagai tanah air Cina peranakan[31], dua tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1934 Baswedan mendirikan organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI) yang salah satu prinsipnya adalah menetapkan dan mengakui bahwa tanah air orang Arab peranakan adalah Indonesia. Tentang perjuangan Liem Koen Hian dan AR Baswedan dalam perjuangan menkamanyekan identitas ke-Indonesia-an dikalangan masyarakat Cina dan Arab sangat membekas dalam ingatan Ahmad Syafi’i Maarif sampai-sampai beliau mengunkapkan bahwa kedua tokoh ini merupakan patriot dan nasionalis Indonesia yang sejati dan autentik sehingga patut diberikan penghargaan sebagai pahlawan[32].
Pengaruh Stratifikasi Masyarakat Hadramaut(1)
Dalam konteks perubahan identitas masyarakat Hadrami, stratifikasi ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar. Perbedaan status antara Sayyid dan non Sayyid (terutama Masha’ikh) serta konflik yang terjadi diantara keduanya baik di Indonesia maupun di Hadramaut memberikan dinamika yang cukup menarik.
Mulai dari persaingan dan perseteruan antara golongan Sayyid dan non Sayyid yang direpresentasikan oleh Sayyid ‘Abdullah bin ‘Alwi al-‘Attas dengan Syaikh Umar bin Yusuf Manqus. Sampai dengan intrik dan friksi antara Jami’at Khair yang merupakan representasi organisasi golongan Sayyid dengan Al-Irsyad yang merupakan perkumpulan orang Hadrami non Sayyid.
Persaingan antara Jami’at Khair dengan Al-Irsyad telah membawa dampak yang baik maupun buruk bagi perkembangan masyarakat Hadrami itu sendiri. Dampak baiknya adalah dengan adanya persaingan tersebut, mereka saling berlomba-lomba untuk mendirikan lembaga pendidikan terbaik untuk menarik simpati masyarakat Hadrami di Indonesia. Namun demikian, ternyata dampak buruk jauh lebih banyak dibanding dengan dampak baiknya. Adanya persaingan diantara mereka sampai meni mbulkan perpecahan dan permusuhan yang serius. Tidak hanya mengemuka di kalangan mereka sendiri, perpecahan dan permusuhan ini juga mereka publikasikan secara terang-terangan dalam surat kabar-surat kabar yang mereka kelola.
Bahkan, intrik internal kaum Hadrami ini juga berimbas pada perebutan “kewenangan” siapakah yang lebih berhak untuk memimpin reformasi masyarakat Hadramaut. Disatu sisi, kaum Sayyid merasa paling berhak untuk memimpin reformasi dengan alasan bahwa merekalah kasta tertinggi. Sehingga mereka merasa lebih mulia dan lebih bertanggungjawab dalam membangun masyarakat Hadramaut. disisi lain, bagi kalangan non Sayyid,  kaum Sayyid sebenarnya hanyalah pendatang yang membawa pengaruh buruk bagi masyarakat Hadramaut. Kehadiran mereka telah memecahbelah persatuan masyarakat asli Hadramaut. Sehingga mereka tidak berhak dalam mengelola dan membangun masyarakat Hadramaut.
Persaingan antara kaum sayyid dan non sayyid juga terjadi ketika sebagian kalangan Arab di Indonesia berusaha mengidentifikasi diri dengan identitas ke-Indonesia-an.
Pengaruh Muwallad dan Aqha(1)
Perseteruan antara muwalllad dan aqha mencapai puncaknya ketika kegundahan masyarakat hadrami untuk mengidentifikasi diri antara identitas ke-Arab-an ataukah identitas ke-Indonesia-an. Sebelum memaparkan fakta dan kronologi perseteruan diantara keduanya, dirasa penting untuk merunut sejarah dan pola masuknya bangsa Hadramaut ke Indonesia.  Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman awal atas perbedaan antara aqha dan muwallad.
Sebagian besar orang Hadramaut yang berhijrah (selanjutnya disebut sebagai aqha/muhajir) adalah kaum laki-laki tanpa disertai dengan perempuan di kalangan mereka. Ini terjadi dikarenakan pengaruh tradisi yang berkembang pada waktu itu. Sehingga, banyak para muhajir yang akhirnya menikahi masyarakat lokal. Termasuk apa yang terjadi pada kasus muhajir yang datang ke Indonesia. Dari pernikahan dengan perempuan lokal inilah lahir anak keturunan yang selanjutnya disebut sebagai muwallad.
Melihat kronologi sejarah yang demikian, maka tidak mengherankan jika terjadi tarik ulur kepentingan diantara mereka ketika muncul kebimbangan dalam pemilihan identitas mereka. Bagi sebagian besar aqha, Hadramaut merupakan tanah air mereka yang tidak dapat diganti dengan lainnya. Sehingga mereka menolak upaya-upaya untuk mengganti identitas mereka menjadi ke-Indonesia-an. Namun demikian, bagi Muwallad yang memang lahir dan besar di Indonesia, maka identitas ke-Indonesia-an merupaka identitas yang rasional bagi mereka.
Pengaruh Sikap Masyarakat Pribumi terhadap Etnis Arab di Indonesia
Tampaknya sikap pribumi sangat terpengaruh atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sengaja berusaha memisahkan setiap komponen masyarakat yang ada di Indonesia. Baik antara kaum Eropa sebagai kelas atas dengan kaum lainnya, maupun antara pribum dengan etnis “asing”.
Beberapa bukti diantaranya adalah bagaimana sikap pribumi terhadap masyarakat Hadrami yang mereka anggap sebagai orang jahat yang tidak pantas menikah dengan anak-anak mereka. Selain itu, praktek keberagamaan mereka yang seolah “berbeda” juga mereka anggap sebagai sesuatu yang harus dihindari dan diwaspadai. Penolakan itupu juga terjadi bahkan pada awal-awal Baswedan berusaha menanamkan paham nasionalisme ke-Indonesia-an kepada masyarkat Hadrami di Indonesia, justru terdapat penentangan dari kaum nasionalis pribumi.  PAI yang ia dirikan pada awalnya tidak mendapatkan respon yang positif dari masyarakat pribumi, terutama kaum nasionalis. Mereka mengambil sikap wait dan see atas pergerakan PAI yang masih mereka curigai sebagai agenda, dalam bahasa sekarang dikenal dengan Arabisasi.
KESIMPULAN
Dinamika perkembangan identitas etnis Arab di Indonesia menjadi sangat dinamis tatkala terjadi konstelasi percaturan politik dunia. Abad ke 20 merupakan abad yang sulit bagi masyarakat Arab di Indonesia untuk mengidentifikasi diri. Pada akhirnya, mereka menjadikan Indonesia sebagai identitas bagi mereka. Identitas ini tidaklah mudah beradaptasi dalam dunia ke-Arab-an mereka. Banyak faktor yang menjadi penghambat maupun pendorong terinternalisasinya identitas ke-Indonesia-an bangsa Arab.
Walaupun demikian, konsistensi masyarakat Arab dalam membantu perjuangan Bangsa Indonesia tidaklah diragukan. Perasaan dan pikiran mereka telah menjadi satu dengan perasaan dan pemikiran masyarakat pribumi dan elemen bangsa lainnya termasuk etnis Cina. Perjuangan mereka yang penuh dedikasi dan pengorbanan turut mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaan dan pengakuan dunia Internasional.


[1] Ahmad Turmuzi, Peranan Pembelajaran Sejarah dalam  Pembangunan Bangsa, (Komunitaspendidikan.com, 8 Nopember 2011), http://komunitaspendidikan.com/index.php/forum/peranan-pembelajaran-sejarah-dalam-pembangunan-bangsa/146 (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[2] Namun demikian, dewasa ini terdapat upaya dari beberapa komponen bangsa yang berusaha meluruskan tentang sejarah kebangkitan nasional. Mereka menganggap bahwa tonggak kebangkitan yang dinisbatkan pada lahirnya organisasi Boedi Oetomo merupakan sebuah kekeliruan sejarah. Setidaknya dua alas an yang dikemukakan yaitu: organisasi perjuangan pertama sesungguhnya lahir tiga tahun sebelum berdirinya Boedi Oetomo. Tepatnya pada tahun 1905, organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) telah dilahirkan dengan membawa semangat perlawanan terhadap penjajah. Kedua, sebagaimana dikutip oleh VOA-Islam, peneliti Robert van Nies meragukan Boedi Oetomo sebagai organisasi yang memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Bahkan menurutnya, organisasi ini ebih memiliki corak Barat dengan segala kepentingannya dibandingkan corak perjuangan pribumi dengan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Lihat voa-Islam, Meluruskan Boedi Oetomo dan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/05/20/14815/meluruskan-boedi-oetomo-dan-hari-kebangkitan-nasional-20-mei/ (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[3] Chairul Akhmad, Mempertanyakan Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 1, (Republika Online, 21 Juli 2012), http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/21/m7ihrr-mempertanyakan-sejarah-masuknya-islam-di-indonesia-1, (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[4] Chairul Akhmad, Mempertanyakan Sejarah
[5] Chairul Akhmad, Mempertanyakan Sejarah Masuknya Islam di Indonesia 3, (Republika Online, 21 Juli 2012), http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/21/m7ihrr-mempertanyakan-sejarah-masuknya-islam-di-indonesia-3, (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[6] VOA Islam, Sejarah Asia Tenggara (3), Awal Mula Masuknya Peradaban Islam, (Voa Islam, 9 Juli 2009), http://m.voa-islam.com/news/world-world/2009/07/09/175/sejarah-asia-tenggara-%283awal-mula-masuknya-peradaban-islam/ (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[7] LWC Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, penerjemah Rahayu Hidayat, (Jakarta: Komunitas Bambu, April 2010), 1.
[8] LWC Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, 1
[9] LWC Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, 2-3
[10] LWC van den Berg, Orang Arab di Nusantara, xxx
[11] LWC van den Berg, Orang Arab di Nusantara, 100
[12] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia. Penerjemah Ita Mutiara & Andri, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Agustus 2007), 14.
[13] Dr. Madjid Hasan Bafadhullah, MM, Dari Nabi Nuh sampai Orang Hadramaut di Indonesia, Menelusuri Asal Usul Hadarim. (Jakarta: Bania Publishing, Juni 2010), 167
[14] Ahmad Mansyur Suryabnegara dalam wawancara dengan Radio Silaturahmi AM 720 khzp menyatakan bahwa ungkapan yang tepat bukanlah kerajaan namun kesultanan. Hal ini karena kesultanan tersebut mempunyai hubungan dengan kesultanan Islam yang ada di Turki. (Radio Silaturahmi AM 720 Khz, Minggu, pukul 17.00-18.00)
[15] Dalam beberapa literature disebutkan bahwa walisongo merupakan utusan khalifah Muhammad I (khalifah pada dinasti Utsmaniyah). Lihat Global Muslim, Hubungan Khilafah dengan Nusantara: Wali Songo adalah utusan Khilafah, (global Muslim), http://www.globalmuslim.web.id/2012/10/hubungan-khilafah-dengan-nusantara-wali.html, (diakses tanggal 31 Desember 2012)
[16] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Mizan, 1994), 50-51
[17] Dr. M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2007), 107
[18] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Penerbit erlangga, 2006), 247-248
[19] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia
[20] LWC van den Berg bahkan dengan nada sedikit stereotip mengatakan bahwa pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa tujuan masyarakat Arab ke Indonesia adalah untuk mengajarkan Islam dan Al-Qur’an merupakan pendapat yang salah. Bahkan dengan berani ia mengungkapkan hanya 50 orang diantara sekian banyak orang arab di Indonesia yang ebrprofesi sebagai pengajar agama Islam. Itupun ia menambhakan bahwa yang berprofesi sebagai pengajar tersebut sebenarnya juga menjadikan aktifitas mengajar sebagai aktifitas sambilan. Dengan kata lain, kegiatan utama mereka hanyalah berdagang. Lihat LWC van den Berg, Orang Arab di Nusantara, 141-153
[21] Tentang tahun kelahiran SDI terdapat beberapa versi. Versi pertama menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan pada tahun 1905, sementara sebagian lain menyebutkan ia berdiri pada tahun 1911. Versi lain menyebutkan bahwa SDI lahir pada tahun 1909di Betawi atas prakarsa Tirtoadisuryo. Lihat Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, Februaru 2000), 125-126. Lihat juga Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: B{K Gunung Mulia, 2004), 153-154. Lihat juga Franklin Book Programs, Ensiklopedi Umum, (Jakarta: Kanisius, 1977), 975
[22] Keterlibatan etnis arab di SDI disampaikan oleh Abdul Baqir Zein dan Natalie Mobini Kesheh. Bajkan antalie mengungkapkan dengan gambling bahwa peletak dasar berdirinya SDI adalah relasi antara pedagang Hadrami dengan pedagang pribumi. Lihat  Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, 126. Lihat Juga Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia,, 51.
[23] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia, 34-36
[24] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia, 131-160
[25] Abdurrahman Baswedan atau lebih dikenal dengan nama AR. Baswedan adalah peranakan Arab (Muwallad) yang lahir di Surabaya pada tanggal 9 September tahun 1908. Ia adalah tokoh sentral dalam menanamkan identitas ke-Indonesia-an bagi warga Hadrami di Indonesia. Ia menyerukan sistem kewarganegaraan ius solli yang menyatakan dimana saya lahir, disitiulah tanah airku. Ia juga memegang peranan penting dalam diplomasi Indonesia untuk mencari dukungan dan pengakuan negara lain. Ketika ia menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan kabinet Syahrir III., ia menjadi anggota delegasi pertama yang melobi ke Timur Tengah untuk melobi pengakuan kemerdekaan Indonesia. Dan hasilnya adalah pengakuan negara Mesir sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan negara Indonesia. Lihat Hery H. Winarno, AR. Baswedan Harus Diprioritaskan Jadi Pahlawan, (Merdeka.com: 7 November 2012), http://www.merdeka.com/peristiwa/ar-baswedan-harus-diprioritaskan-jadi-pahlawan.html (diakses tanggal 14 Nopember 2012). Lihat juga Ramadhian Fadhillah, Kegigihan dan Kesederhanaan Wamen AR. Baswedan, (Merdeka.com, 6 Juni 2012), http://www.merdeka.com/peristiwa/kegigihan-dan-kesederhanaan-wamen-ar-baswesdan.html diakses tanggal 13 Nopember 2012.
[26] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 184
[27] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia, 209-210
[28] Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia, 201-207
[29] Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 200-201
[30] Dr. Eman Suparman, Asal Usul serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (kekuatan moral hokum progresif sebagai das solen), 3. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1C%20Hukum-Progresif-Jurnal%20Hk-Acara-Pasca%20AKREDITASI.pdf (diakses tanggal 30 Desember 2012)
[31] Sebenarnya sikap nsionalisme ke-Indonesiaan Liem Koen Hian dapat dilihat jauh hari sebelum ia menjabat sebagai presiden PTI. 3 tahun sebelumna, tepatnya tanggal 2 Desember 1929 ia telah menuliskan pidato politiknya yang dimuat dalam suat kabar Sin Tit Po dengan judul “Darah Toinghoa” yang mempetegas sikap ke-Indonesia-an dirinya damn harapanya agar warga Cina peranakan mengikuti langkah dan sikapnya. Lihat Pidato Politik Liem Koen Hian: Darah Tionghoa (Indonesia Media.com: 12 Agustus 2010), http://www.indonesiamedia.com/2010/08/12/pidato-politik-liem-koen-hian-darah-tionghoa/ (diakses tanggal 13 Nopember 2012)
[32] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Liem Koen Hian dan AR. Basswedan, (Kompas; 26 April 2011)