Selasa, 04 Juni 2013

Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean Government (Pemerintahan Yang Bebas Korupsi Kolusi Dan Nepotisme)

Makalah Pendidikan. Ini untuk anda yang sedang menjalani Pasca Sarjana. Semoga Makalah KKN yang berjudul "Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean Government (Pemerintahan Yang Bebas  Korupsi Kolusi Dan Nepotisme)". dapat membantu anda dalam mengerjakan makalah. amin!
ABSTRAK 
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan penyakit sosial yang sudah lama menjangkit bangsa dan negara Indonesia. Makalah ini ingin menyampaikan pendekatan teori gerakan sosial dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN melalui penguatan peran masyarakat madani. Diagram Jenkins dan Klandermans tentang hubungan gerakan sosial dengan negara dan sistem politik tersebut menggambarkan ada masalah dalam hubungan tiga arah antara gerakan sosial, perwakilan politik dan negara. Masalah itu adalah sejauh mana peluang yang diberikan perwakilan politik pada gerakan sosial, dampak protes sosial pada partai politik dan proses-proses politik resmi, implikasi yang ditimbulkan oleh hubungan-hubungan tersebut dalam demokrasi modern. Dalam hal ini, peluang gerakan sosial melalui reformasi 1998 telah mampu meruntuhkan rezim otoritarian Orde Baru, awal baik bagi terciptanya demokrasi di Indonesia. Namun demikian ternyata penyakit KKN yang sudah mengakar hingga tercipta korupsi yang sistemik (masuk kelembagaan) menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemberantasannya.
Masyarakat madani sebagai suatu alternatif kekuatan sosial perlu didorong untuk berperan dalam menyelesaikan carut marut reformasi birokrasi bangsa Indonesia.  Peran masyarakat madani melalui LSM, para cendekiawan, mahasiswa, buruh, ormas-ormas, pimpinan agama, media sosial facebook/twitter, pers maupun kekuatan elemen masyarakat lain diharapkan mampu membuat pemerintah lebih tegas dalam menegakkan hukum dan menindak pelaku KKN sesuai dengan Tap MPR XI/1998, UU Anti Korupsi, maupun peraturan pendukung lain yang telah diciptakan. Lembaga-lembaga penegak hukum baik POLRI, KPK<, Komisi Yudisial diharapkan mampu berperan. Hal ini tentu dengan peran serta masyarakat madani sebagai kekuatan pengontrol/pengawas yang mengimbangi kekuatan pemerintah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Harapannya hukum yang telah tercipta tersebut bukan sekedar etalase melainkan mampu benar-benar berfungsi sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan menuju pemerintahan yang bersih dari praktik KKN.
Kata Kunci:
masyarakat madani,  gerakan sosial, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), clean government.
1.      PENDAHULUAN 
Corruption is a cancer that steals from the poor eats away at governance and moral fiber,  and 
destroy trust.” (Robert B. Zoellick).
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa dalam upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran, kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo, dan anak-anak terlantar. Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cermin dari dampak KKN.
TAP MPR RI NO VIII/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan Korupsi Kolusi dan Nepotisme merupakan suatu langkah awal reformasi pemerintahan yang baik. Hal ini mengingat KKN yang melanda Indonesia sudah sangat serius, merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasal 2 TAP MPR RI No VIII/2001 berisi tentang arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme: 1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum, 2. Melakukan penindakan hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, 3. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara, dan anggota masyarakat, 4. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, 5. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya, 6. Membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: a. komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, b. perlindungan saksi dan korban, c. kejahatan terorganisasi, d. kebebasan mendapatkan informasi, e. etika pemerintahan, f. kejahatan pencucian uang, g. ombudsman. 7. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai salah satu cita-cita reformasi bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam TAP MPR 11/1998 belum tercapai sepenuhnya. Runtuhnya Orde Baru dan berganti dengan Orde Reformasi belumlah cukup mampu mengawal reformasi pemerintahan dengan baik.  Hal tersebut ibarat kerangka bangunan awal yang membutuhkan banyak pembenahan di internalnya, bukan sekedar bangunan luar yang berubah. Justru pembenahan internal membutuhkan kerja yang serius, konsisten dan berkelanjutan. Wacana reformasi yang semangat terdengar di awal runtuhnya Orde Baru semoga tidak hanyut termakan berbagai carut marut yang mewarnai prosesnya.
Berbagai dinamika sosial mewarnai perjalanan cita-cita reformasi, termasuk  pembaruan TAP MPR 11/1998 menjadi TAP MPR 8/2001. TAP MPR 8/2001 merekomendasikan pemerintah dan DPR membuat semua payung hukum dalam pemberantasan korupsi. Sekarang sudah ada UU Tipikor, UU Pencucian Uang, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perlindungan Sanksi dan Korban.
Menurut Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Thohari dalam dialog pilar negara “Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di gedung MPR Jakarta Senin 15 Oktober 2012 “Saya optimis masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin baik sehingga Indonesia bersih dari aksi korupsi. Semangat pemberantasan korupsi bisa terlihat dengan terbentuknya lembaga negara independen seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan), KIP (Komisi Informasi Publik) dan lainnya. Infrastruktur pemberantasan korupsi sudah lengkap. KPK sebagai garda terdepan dalam hal ini, walaupun tidak mengabaikan dua lembaga penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian.
Di sisi lain, pemberantasan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) perlu peran pemimpin terutama kesatuan elit politik dalam mengawal prosesnya. Justru yang menjadikan upaya pemberantasan korupsi menjadi klise justru elit politik tidak memberikan teladan. Beberapa elit politik menjadi tersangka korupsi dengan adanya mavia anggaran.
Pandangan yang berseberangan, korupsi bukan terletak pada mavia anggaran. Semua kasus yang melibatkan elit politik menjadi sorotan. Wacana terakhir yang marak seputar korupsi yaitu sepuluh anggota DPR terkena korupsi. Enam  diantaranya dari  Partai Demokrat. Perlu kepemimpinan yang tegas bukan sekedar wacana di pidato melainkan dijalankan di level bawahan. Presiden menuangkan dalam Inpres tetapi tidak optimal dalam pelaksanaannya. Problem pemberantasan korupsi lebih pada kepemimpinan.
Problema kepemimpinan ini terlihat salah satunya dalam proses pengangkatan pejabat/pimpinan. Ketua Komisi II DPR, Agun Gunadjar Sudarsa menegaskan tidak patutnya kepala daerah mengangkat terpidana kasus korupsi menjadi pejabat di daerah. Hal ini menyikapi aksi pengangkatan mantan Sekretaris Kepala Daerah Kabupaten Bintan Azirwan, yang dipenjara dua tahun enam bulan karena menyuap anggota komisi IV Al Amin Nur Nasution (F-PPP) dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan tahun 2008 menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau. Kepala daerah seharusnya mendapat kepercayaan publik, tidak terkait dengan masalah apapun yaitu dengan mengedepankan ruang etika.
Dalam TAP MPR 1998 tentang pemberantasan dan pencegahan korupsi dalam pasal 2 khususnya point ke-3 menyebutkan pentingnya mendorong masyarakat luas dalam berpartisipasi mengawasi dan melaporkan praktek-praktek KKN ini merupakan suatu bentuk upaya membangun suasana demokrasi, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini tentu perlu kerja sama semua pihak yg memiliki talenta dan kewenangan dibidangnya menjalaninya. Misalnya: polisi, eksekutif, yudikatif dst. Undang-Undang yang ada untuk penegasan. Inpres hanya penekanan dan pengingatan pada lembaga dibawahnya.
Perlu harmonisasi untuk menuntaskan KKN di Era Reformasi di masa transisi. Salah satu bentuk kongkritnya yaitu melalui peran masyarakat madani sebagai bagian penting proses demokrasi. Bila masyarakat madani berkembang dengan baik maka mampu sebagai controlling, countervailing power dalam  menyembuhkan penyakit kronis sistem pemerintahan dari penyakit KKN.
2.   Peran Masyarakat Madani Mewujudkan  Clean Government (Pemerintahan Bebas Korupsi 
Kolusi Nepotisme)
1.      Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus |politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi dalam arti yang luas berarti penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
1.    Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2.    Perbuatan melawan hukum;
3.    Merugikan keuangan negara atau perekonomian;
4.    Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
2.      Upaya Pemberantasan Korupsi di Berbagai Era Pemerintahan
Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Korupsi merupakan penyakit yang sudah melanda Indonesia sejak lama. Sejak zaman Pemerintahan Soekarno hingga kini korupsi belumlah menemukan solusi yang tepat. Namun demikian, setiap era pemerintahan mempunyai strategi dan upaya untuk menangangi korupsi, diantaranya:
a.    Era Soekarno (1945-1967)
Pemerintah Soekarno berupaya melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan asing melalui suatu Undang-Undang. Pihak militer (AD) telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing tersebut sebelum Undang-Undang diberlakukan (1958).
Pada 13 Desember 1957, Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) melakukan larangan pengambil alihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan tersebut di bawah pengawasan militer.
Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan politik benteng dengan memberikan bantuan kredit dan fasilitas-fasilitas kepada pengusaha pribumi. Program ini tidak melahirkan pribumi yang tangguh melainkan menimbulkan terjadinya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pengusaha yang mendapat lisensi hanyalah yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan.
Kegagalan demokrasi terpimpin mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap bergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tidak bekerja dengan baik dan korupsi merajalela.
b.   Era Soeharto (1965 -1998)
Rezim orde baru menggunakan pendekatan pembangunan di sektor ekonomi untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul di orde Lama. Pada masa orde baru terjadi 3 fenomena:
  1. Kerjasama pimpinan militer dengan pengusaha Cina
  2. Kompetisi pengusaha pribumi dengan keturunan Cina
  3. Pengaruh perusahaan-perusahaan negara yang dikontrol oleh militer melawan teknokrat yang mendukung liberalisasi dan intervensi barat.
Beberapa hal yang menjadi catatan sejarah korupsi semasa Orde Baru diantaranya:
  1. Pertamina merupakan pendukung utama kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Namun pertamina menjadi sarang korupsi, patronase dan penyedotan sumber dana yang membuat pertamina ambruk di tahun 1975-1976.
  2. Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa turun ke jalan-jalan untuk memprotes korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan. Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan komisi IV untuk menangani korupsi.
  3. Diberlakukannya Undang-Undang No 71 tentang pemberantasan korupsi walaupun dalam kenyataannya perangkat hukum tersebut tidak berfungsi dengan baik. Sistem politik Indonesia menerapkan lembaga kontrol pemerintahan seperti DPR, BPK, Kejaksaan Agung, dan Badan Penertiban Aparatur Negara, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
  4. Tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai ketua BPK telah menyerahkan pemeriksaan hasil tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada DPR. Dalam acara tersebut, M Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan.
  5. Sektor kehutanan menggunakan sector migas setelah redupnya masa kejayaan “Oil Boom”. Di awal tahun 1980 terkenal dengan istilah “green gold” atau emas hijau. Hasil hutan Indonesia yang dieksport menjadi penghasil devisa nomer dua setelah minyak dan gas bumi. Dua diantara lima perusahaan swasta terbesar menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pad akeluarga Soeharto.
  6. Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap kinerja rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang muncul tahun 1997 merupakan wujud nyata kebijakan-kebijakan ekonomi orde Baru yang sarat KKN dan ketergantungannya dengan modal asing dan  hutang luar negeri.
c.    Era Habibie (Mei 1998 – September 1999)
Gerakan reformasi 1998 mempunyai agenda utama pemberantasna Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Gerakan ini bermaksud mengusut praktek KKN di Orde Baru serta menciptakan pemerintahan yang bersih di era berikutnya. Beberapa perangkat hukum diciptakan oleh Habibie begitu beliau menjabat sebagai presiden, diantaranya :
1.      TAP MPR no XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
2.      UU No.18 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
3.      UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasn tindak pidana korupsi (UU Anti Korupsi).
4.      Inpres No. 30 tahun 1998 tentang  pembentukan komisi pemeriksa harta pejabat.
5.      Gagasan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Anti Corruption Comission).
Hal lain yang dilakukan semasa pemerintahan Habibie yaitu:
  1. Menko Wasbang mengeluarkan siaran pers tentang upaya menghapus KKN dari perekonomian nasional. Dalam siaran pers 15 Juni 1999 dijabarkan kembali pengertian KKN sebagai praktek Korupsi Kolusi Nepotisme antara pejabat dan swasta.
  2. Mandat dari TAP XI/1998 kepada Habibie untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pengusutan KKN Soeharto sesegera mungkin. Akan tetapi pemerintahan Habibie tidak mampu menyeret Soeharto ke pengadilan, justru mengehentikan penyidikan kasus tersebut.
d.   Era Abdurrahman Wahid
Segera setelah dilantik, Abdurrahman Wahid melakukan beberapa tindakan untuk menangani korupsi diantaranya
  1. Melalui Keppress No 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman yang mempunyai wewenang melakukan klarifikasi, monitoring/pemeriksaan atas laporan masyarakat atas penyelenggaraan negara.
  2. Berdasarkan kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara pemerintah RI dan IMF serta pasal 27 UU No. 31 tahun 1999 maka Kejaksaan Agung membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tim gabungan ini tidak berfungsi dengan baik karena posisinya di bawah Jaksa Agung, tidak diberikan kewenangan luas dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus korupsi.
  3. Presiden membentuk komisi pemeriksa berdasa pasal 10 Undang Undang No.28 tahun 1999. Komisi yang dibentuk ini kemudian terkenal dengan nama KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Namun dalam pelaksanaannya muncul kontroversi. Pelaksaan seleksi calon anggota KPKPN yang dilakukan komisi II DPR tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memunculkan kesan adanya kepentingan parpol atau kelompok kepentingan dalam proses seleksi ini. Kontroversi lain yaitu perbedaan jumlah anggota yang ditetapkan presiden dan DPR.
  4. Persiapan pembentukan komisi anti korupsi berdasar UU No. 31 tahun 1999  dibawah koordinasi dirjen hukum dan perundang-undangan, departemen kehakiman dan HAM.
e.    Era Megawati dan Soesilo Bambang Yudhoyono
  1. Pembentukan lembaga anti korupsi oleh pemerintahan SBY, diantaranya : Tahun 1999 membentuk tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi, membentuk tim pemberantasan tindak pidana korupsi pada tahun 2005.Namun demikian, banyaknya lembaga anti korupsi di negara ini jelas bukan menghasilkan suatu prestasi melainkan kegagalan-kegagalan lembaga tersebut memberantas korupsi.
  2. Penerbitan Undang-Undang Anti Korupsi antara lain: UU no 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, PP No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan  pemberantasan tindak pidana korupsi.
f.     Era Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
Era reformasi dengan runtuhnya orde lama bukan berarti korupsi begitu saja terselesaikan. Dewasa ini korupsi masih merupakan persoalan bangsa dan negara yang belum benar-benar terselesaikan. Arah perjuangan penyelesaian korupsi memerlukan upaya keras semua pihak. Dari sejak demokrasi terpimpin penyakit korupsi sudah ada, bahkan gejala korupsi yang timbul sudah mengarah pada bentuk korupsi yang sifatnya sistemik. Artikulasi “sistemik” ini bermakna komprehenshif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang signifikan. Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem yang ada.[8]
Upaya pemberantasan korupsi dengan penegakan hukum baik POLRI, KPK ternyata belum membuahkan hasil yang optimal. Peraturan-peraturan yang diciptakan baik dalam bentuk TAP MPR maupun Undang-Undang seakan mengalami kelumpuhan fungsi dalam memberantas korupsi. Korupsi  bukan terletak pada mavia anggaran. Semua kasus yang melibatkan elit politik menjadi sorotan. Bahkan pada tahun 2012, sepuluh anggota DPR terkena korupsi, enam diantaranya dari Partai Demokrat. Hal ini wujud nyata bahwa korupsi sudah menjadi suatu budaya yang mengakar ke dalam sistem kelembagaan.
Dalam pandangan Arvind K. Jain, korupsi yang dilakukan oleh political leaders dalam penetapan kebijakan publik termasuk kedalam grand corruption, yakni praktik korupsi yang berdampak luas dan berkepanjangan bagi masyarakat. Political leaders  menggunakan kekuasaannya untuk menetapkan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja, mengorbankan jutaan masyarakat, bahkan tak jarang pada akhirnya harus merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ada. Misalnya  kebijakan privatisasi BUMN, bailout kepada pihak tertentu hingga eksploitasi barang tambang dan gas alam yang menguntungkan segelintir kelompok atau investor. Tak hanya itu, grand corruption juga mampu berbentuk kebijakan publik yang memiliki tujuan-tujuan politis demi pelanggengan kekuasaan, dimana seorang political leaders menggunakan kekuasaannya dalam menetapkan kebijakan publik untuk meraup suara di pemilu selanjutnya, atau sebagai investasi bagi suksesi periode berikutnya, layaknya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) hingga rekrutmen CPNS yang melebihi kuota anggaran negara. Pada titik ini, praktik korupsi dalam pembuatan kebijakan publik yang tergolong sebagai grand corruption memiliki tingkat urgensi tinggi untuk dibenahi bahkan dicegah, karena dengan terus terjadinya praktik tersebut maka demokrasi di Indonesia akan sulit untuk ditegakan.
TAP MPR Tahun 1998 tentang pemberantasan korupsi, Undang-Undang yang mendukung juga sudah baik, hanya memerlukan penegakan hukum yang jelas dan melibatkan kerjasama semua pihak yang memiliki talenta dan wewenang dibidangnya dalam menjalaninya. Misalnya kerjasama polisi, eksekutif, yudikatif dan sebagainya. Undang-Undang yang ada sekedar penegasan. Inpres sekedar penekanan dan pengingatan lembaga di bawahnya.  Hukum belum ditegakkan secara tegas bukan sekedar etalase.
Tahun 1999 merupakan titik anomali dengan lahirnya TAP MPR, lahirnya KPK, otonomi daerah dsb. Banyak kasus muncul ke pengadilan. Panitera maupun hakim sudah berhati-hati kalau ingin melakukan praktik kong kalikong. Perlu ada perubahan budaya abstrak ke kongkrit. Ada sanksi yang ditegakkan. Korupsi yang kecil seolah-olah mudah sedangkan kasus korupsi yg besar lama-lama, disembunyikan bukti-bukti dalam proses penegakannya. Sekarang banyak masyarakat yang mulai mampu mengungkap hakim yang tidak adil dan mengadukannya ke KY(Komisi Yudisial) melalui rekaman-rekaman, foto-foto dsb. Masalah perbedaan hukum, perbedaan tafsir itu susah untuk diselesaikan. Kalau ada bukti-bukti kongkrit maka akan mudah bagi KY untuk melakukan tindak lanjut.
Menurut filsuf Derida, timbulnya differong atau anomali, membuat  pemimpin perlu membuat keputusan yg berbeda dari yang lain. Keadilan ada diantara hukum dan anarki. Differong datang dari rakyat, bukan dari kalangan elit. Parpol tidak bisa karena masih bagian elit politik. Kalau dari kalangan akademis dipandang tidak mampu karena terjebak pada rutinitas pembelajaran. Demokrasi lahir dari dari kekuatan rakyat. Media harus hati-hati agar tidak terjebak menjadi corong elit politik. Di sinilah diperlukan peran rakyat dalam hal ini masyarakat madani yang mampu mengimbangi kekuatan elit politik/pemerintahan dalam mengatasi korupsi yang sifatnya sistematik.
Demokrasi Indonesia sifatnya masih fragile karena hasil dari elit yang belum solid. Konstitusi penegakannya belum jelas. Demokrasi imbas dari belum bersatunya elit. Diperlukan kekuatan pengimbang dari bawah ke atas untuk mengatasinya yaitu melalui kekuatan masyarakat madani. Jangan sekedar mengharap elit politik untuk mampu mengatasinya. Inilah “anomaly” dimana Indonesia belum memiliki kekuatan politik nyata untuk reformasi politik.
3.      Clean Government dan Masyarakat Madani
Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita bahas diartikan sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong - baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.” Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama.
Prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani  tercermin dalam karakteristik masyarakat madani. Komponen  satu dengan yang lain tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas, antara lain :
  • Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mapu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
  • Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
  • Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghoramti aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
  • Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan.
  • Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Masyarakat madani sebagai tiang utama kehidupan demokratis. Dengannya masyarakat mampu menyuarakan aspirasinya dan terlindungi kepentingannya. Civil society salah satunya diwakili oleh adanya partai politik. Tugas dan fungsi partai politik melalui pemilu yaitu memperjuangkan kepentingan warga dalam tatanan kenegaraan, sistem kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah.  Dalam realitas sosial, masyarakat madani mewujudkan dirinya dalam berbagai corak lembaga non pemerintah dan organisasi sosial yang sifatnya suka rela, lembaga penelitian dan akademis, LSM, berbagai corak asosiasi bisnis dan sebagainya. Civil society memiliki 3 fungsi diantaranya: 1. Mitra pemerintah dalam pembangunan (partner in development), 2. Pemberdayaan (empowerment), dan 3. kekuatan pengimbang (countervailing power).
Peran masyarakat madani sebagai alat gerakan sosial diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan publik dan negara dalam upayanya memberantas KKN menuju pemerintahan yang bersih (clean government). Gerakan sosial sebagai kekuatan penting dalam merubah masyarakat. Gerakan sosial sebagai salah satu cara utama menata ulang masyarakat modern (Blumer); sebagai pencipta perubahan sosial (Kilian); sebagai aktor historis (Eyerman&Jamison). Ada pula yang menyebutkan gerakan masa dan konflik yang ditimbulkan adalah agen utama perubahan sosial (Adamson& Borgos)
4.      Masyarakat Madani dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoretis
Gerakan sosial dalam bentuk masyarakat madani diharapkan mampu melakukan perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia yang sudah lama terjangkit penyakit kronis KKN hingga mengakar ke sistem pemerintahan. Masyarakat madani ini diharapkan mampu sebagai kekuatan yang mengawal arah reformasi birokrasi yang bebas KKN menuju good government.
Della Porta dan Diani menyatakan umumnya gerakan-gerakan sosial bertujuan menuntut perubahan di dalam suatu sistem politik. Namun sejauh mana  gerakan itu memiliki dampak yang nyata, pertama sekali bisa dilihat dari perubahan kebijakan yang dihasilkan karena umumnya gerakan sosial dibangun untuk merefleksikan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang sedang berlangsung (exiting policy). Lebih kongkret lagi, menurut mereka, dampak gerakan sosial in bisa dilihat dari adanya keputusan baru (production of legislation) dan apakah keputusan itu benar-benar dilaksanakan.
Menurut Gamson, keberhasilan gerakan sosial dapat dilihat dari dua sisi, yakni adanya capaian-capaian baru (new gains) dan tingkat akseptasi (level of acceptance). Yang pertama menyangkut perubahan nyata kebijakan publik untuk merespon tuntutan dan protes, sedangkan yang kedua bagaimana gerakan membawa hasil nyata di dalam sistem perwakilan kepentingan. Gamson mengkombinasikan kedua variabel itu menjadi empat tipologi keberhasilan gerakan: 1. Full response (pencapaian dan akseptansi sekaligus), 2.Co-optation (pengakuan tanpa pencapaian), 3. Preemption (pencapaian tanpa pengakuan), 4. Collapse (tanpa pengakuan dan pencapaian sekaligus
Schumaker dalam Burstein memberikan tipologi yang lebih spesifik dalam membahas dampak gerakan sosial  dalam mempengaruhi kebijakan: 1. Terbukanya akses yakni mengindikasikan tingkat dimana pemilik otoritas bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan, 2. Respon di tingkat agenda yaitu ketika pemilik otoritas rela menempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya, 3.Respon kebijakan yaitu ketika pemilik otoritas secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru, 5. Dampak yang terjadi yakni tingkat aksi-aksi maupun respon sistem politik berhasil meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.
Diagram tersebut menggambarkan ada masalah dalam hubungan tiga arah antara gerakan sosial, perwakilan politik dan negara. Masalah itu adalah sejauh mana peluang yang diberikan perwakilan politik pada gerakan sosial, dampak protes sosial pada partai politik dan proses-proses politik resmi, implikasi yang ditimbulkan oleh hubungan-hubungan tersebut dalam demokrasi modern.
Merujuk Jenkins dan Klandermans, segi empat diamond tersebut menunjukkan perbedaan hubungan yang perlu ditempatkan dalam mendiskusikan hubungan negara dan gerakan sosial dalam hal ini masyarakat madani. Sisi kiri (panah a dan d) berkaitan dengan hubungan warga negara dengan negara melalui sistem politik perwakilan. Dalam hal ini diasumsikan berlangsungnya sistem perwakilan politik secara mapan, baik partai-partai politik, asosiasi-asosiasi resmi, lembaga-lembaga sosial yang mengklaim diri sebagai agregasi kepentingan-kepentingan publik.
Di sisi lain, hubungan yang ingin diajukan dalam konteks ini adalah pada sisi tengah dan kanan (panah b, c, dan e) yakni pada upaya-upaya gerakan  dan dampak protes sosial pada sistem politik dan sebaliknya, dampak yang ditimbulkan sistem politik pada gerakan sosial. Dengan demikian gerakan sosial merupakan saingan potensial (potential rival) bagi sistem politik perwakilan dan bisa memainkan peran besar dalam merestrukturisasi hubungan negara dengan warga negara (citizens), baik di negara-negara demokratis maupun di negara otorian.
Diagram di atas secara sederhana membantu pemahaman dalam melihat adanya dua pilihan bagi publik atau warga negara dalam memperjuangkan kepentingannya berhadapan dengan otoritas negara, yakni sistem perwakilan politik dan gerakan sosial. Diagram tersebut juga menunjukkan adanya kaitan korelasional antara berfungsi tidaknya lembaga-lembaga perwakilan politik resmi (formal) di satu sisi dan peran gerakan sosial di sisi lain.
Pertama, semakin sistem dan mekanisme perwakilan politik berfungsi dengan baik dalam kerangka mewakili dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, maka peran gerakan sosial sebagai substitusi atau alternatif jalur representasi politik akan semakin kecil, demikian sebaliknya.  Dalam konteks Indonesia misalnya, gerakan sosial telah berhasil meruntuhkan rezim orde baru yang otoritarian menuju orde reformasi. Di sisi lain gerakan sosial juga relevan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya maupun mendorong perubahan kebijakan publik yang lebih adil dan demokratis, dalam hal ini pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme. Kedua, sistem perwakilan politik di negara-negara demokratis termasuk Indonesia bukannya tidak memiliki problem, salah satu problem utamanya yaitu KKN yang sistemik di birokrasi dan elitism. Peran gerakan sosial menjadi penting  terutama sebagai agensi untuk memperbaiki dan melengkapi  sistem perwakilan politik (formal) tersebut. Gerakan sosial berfungsi sebagai kekuatan untuk pendemokrasian demokrasi (democratizing democrazy) dari kecenderungan elitisme dan birokratisme. Di sisi lain gerakan sosial berfungsi sebagai challengers and maintainers of democrazy. Singkatnya, kedua jalur politik yang yang tersedia bagi warga negara tersebut yaitu gerakan sosial dan mekanisme perwakilan politik bukan saja saling berkompetisi tetapi juga saling melengkapi dan relevan di dalam sistem politik baik otoritarian maupun demokratis.
Di dalam konteks tema makalah ini, kerangka teori yang telah diuraikan di atas dapat memberi penjelasan yang cukup memadai mengapa proses reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang bebas KKN belum juga tercapai dengan optimal. Dalam pandangan penulis, gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1998 sudah mampu menggulingkan sistem kekuasaan orde baru. Hal ini merupakan awal yang baik. Namun dalam perjalanannya, upaya perwujudan pemerintahan yang bebas KKN terkontaminasi karena dari diamond sisi kiri yaitu sistem perwakilan politik sendiri   menodainya yaitu dengan banyaknya anggota DPR, elit politik maupun lembaga perwakilan rakyat yang masih juga melakukan parktek KKN. Gerakan sosial mahasiswa 1998 seakan mati suri. Diamond sisi kiri dan sisi kanan sebagai kekuatan penyeimbang tidak berjalan dengan baik. Keduanya harusnya saling melengkapi dan mendukung dalam perjuangan mewujudkan good government. Bila dalam diagram diamond satu saja yang berfungsi maka akan timpang. Sistem perwakilan politik yang tidak mampu menyampaikan aspirasi warga negara  ke negara dengan baik menimbulkan ketimpangan. Hal ini bisa di atasi dengan lebih mengedepankan peran diamond di sisi yang satunya lagi yaitu gerakan sosial. Fokusnya lebih diarahkan pada subtansi dari perwakilan rakyat yang ada di dalamnya dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bebas KKN.
Gerakan sosial ini bisa dihidupkan dengan membangun masyarakat madani yaitu dengan mendorong warga untuk berpartisipasi aktif  baik individu, lembaga, organisasi-organisasi massa/rakyat, kelompok cendekiawan,  pemimpin umatberagama, pers maupun kelompok lainnya untuk memobilisasi massa sebagai kekuatan pengimbang pemerintah yang masih juga korup. Masyarakat di sini lebih sebagai kekuatan kontrol yang mengawasi pemerintahan dan melaporkan bila ternyata mengetahui adanya penyelewengan. Peluang-peluang politik bagi masyarakat perlu diperluas termasuk perdebatan wacana di kalangan cendekiawan dan budayawan dalam mempengaruhi pemerintah dalam mengambil keputusan kongkrit di lapangan. Tujuannya tidak lain agar UU, peraturan, hukum yang sudah diciptakan mampu benar-benar menindak pelaku koruptor. Hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu peran masyarakat secara aktif dalam ruang publik baik media massa maupun media sosial seperti twitter, facebook dalam mengawal reformasi birokrasi perlu terus ditingkatkan sehingga pemerintah yang korup secara sadar terus berbenah dan menindak tegas pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dari sisi internal sendiri lembaga-lembaga formal pemerintah perlu melakukan pembenahan di instansinya dengan penegakan hukum yang tegas oleh aparat hukum, jaksa, POLRI, KPK maupun pimpinan negara baik eksekutif, legislative maupun yudikatif.  Di sisi lain juga membangun komitmen bersama dalam mewujudkan pejabat publik yang berintegrasi, laporan keuangan negara yang transparan dan sebagainya.
5.      Peran Masyarakat Madani Mewujudkan Clean Government
Era reformasi di Indonesia yang mengusung semangat demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, menyebabkan banyak perubahan pada pola dan praktik korupsi. Dengan berubahnya struktur pemerintahan serta lingkungan sosial, secara tidak langsung akan merubah pola-pola korupsi yang telah ada didalam administrasi publik. Perubahan pola praktik korupsi sangat terlihat dari peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, dimana saat era orde baru, praktik korupsi masih bersifat paternalistik dan tersentral di lingkaran kekuasaan pusat pemerintahan, sementara saat reformasi bergulir, praktik korupsi menyebar dan tidak hanya terjadi dalam lingkaran kekuasaan di pusat pemerintahan.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama.
Dalam pandangan penulis upaya pemberantasan KKN yang sistemik bisa diminimalisir dengan meningkatkan peran masyarakat madani sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengawasi berjalannya penegakan hukum mengingat peran pemerintah dalam penegakan hukum masih lemah dan belum tegas.
PENUTUP
John Keane dalam Democracy and Civil Society (1988) dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan  demokrasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun teman kental kekuasaan negara. Demokrasi menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara tidak berlebihan ataupun terlalu sedikit. Sementara itu, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara, dan juga tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara. Masyarakat madani dapat menjadi sumber input bagi masyarakat politik, seperti orsospol,birokrasi, dan sebagainya dalam pengambilan setiap keputusan publik. Pada saat yang sama, political society juga dapat melakukan rekruitmen politik dari kelompok-kelompok dalam masyarakat madani sehingga kualitas para politisi dan elite politik akan sangat tinggi. Hubungan antara masyarakat madani dan political society, dengan demikian adalah simbiosis mutualisme dan satu sama lain saling memperkuat bukan menegaskan. Tentu saja diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan hubungan semacam ini, karena situasi ini mengandaikan telah terjadinya kesinambungan antara negara dan rakyat. Proses pengembangan masyarakat madani akan tergantung kesuksesannya kepada sejauhmana format politik pasca reformasi dibuat. Jika format tersebut hanya mengulangi yang lama, kendati dengan ornamen-ornamen berbeda, maka pengembangan masyarakat madani juga hanya berupa angan-angan belaka. Namun demikian, masyarakat madani diharapkan mampu sebagai salah satu kekuatan sosial yang mengimbangi pemerintah dalam mengawal perjalanan reformasi bangsa Indonesia menuju pemerintahan yang bebas KKN.  Hal ini bisa berjalan bila masyarakat madani sebagai suatu alternatif kekuatan sosial mampu berperan nyata dalam menyelesaikan carut marut reformasi birokrasi bangsa Indonesia.  Peran masyarakat madani melalui LSM, para cendekiawan, mahasiswa, buruh, ormas-ormas, pimpinan agama, media sosial facebook/twitter, pers maupun kekuatan elemen masyarakat lain diharapkan mampu membuat pemerintah lebih tegas dalam menegakkan hukum dan menindak pelaku KKN sesuai dengan Tap MPR XI/1998, UU Anti Korupsi, maupun peraturan pendukung lain yang telah diciptakan. Lembaga-lembaga penegak hukum baik POLRI, KPK<, Komisi Yudisial diharapkan mampu berperan optimal. Harapannya hukum yang telah tercipta tersebut bukan sekedar etalase melainkan mampu benar-benar berfungsi sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan menuju pemerintahan yang bersih dari praktik KKN.